28. Biarkan Aku Mencintaimu.

Suara burung cipret yang mencari ulat di pohon kersen tak jauh dari jendela kamar membangunkannya dari tidur. Mami yang menemani tidur semalam, sudah bangun terlebih dahulu, dan sudah tak ada di sampingnya. Mami sedang bercengkerama dengan Papi di meja taman menikmati breakfast.
Dilihatnya segelas teh panas sudah ada di atas meja di samping tempat tidurnya. Itu kebiasaan Mami yang selalu menyediakannya minuman hangat setiap pagi. Dia tahu kebiasaan di pagi hari Papi dan Mami, bercengkerama di taman kalau tidak di teras belakang.
Pagi ini Lorna masih enggan bangun. Papi dan Mami sesungguhnya sedang menunggunya. Karena juga kebiasaan mereka bertiga bila mengobrol bersama setiap bangun tidur.
Bangun pagi ini perasaannya terasa lapang. Seperti tak ada beban lagi. Tidurnya pun semalam terasa nyenyak. Mimpi tentang Dewa, dan tidur dalam pelukan Maminya. Inginnya kembali lagi meneruskan tidur. Tapi tidak lama kemudian Mami masuk kembali ke kamarnya untuk mengingatkan bahwa hari ini dirinya punya rencana pergi ke rumah Dewa.
Morning, Mommy!”
Morning, my sweetheart! Wake up! Kekasihmu menunggumu!”
“Aduh iya!” Lorna terperanjat diingatkan.
“Lupa, kan?”
Lorna lantas bangkit. Merentangkan tangan minta pelukan.
“Hm. Anakku yang cantik sekali!” Mami lantas mencium pipi.
“Lorna akan hubungi Rahma dan Grace dulu!”
"Kemari, Mami ingin menciummu dulu!"
Maka Mami mengecup bibir Lorna sesaat dan menghirup dalam-dalam kedua pipi anak gadisnya. Meski belum mandi aromanya segar.
"Telpon Rahma dan Grace dulu!" kata Maminya sebelum pergi meninggalkannya sendiri dalam kamar.
Pagi ini adalah janjinya pergi ke rumah Dewa. Sebuah tempat yang sudah lama tidak dikunjunginya. Menelpon Grace dan Rahma untuk memastikan apakah keduanya ada waktu. Sebab mereka punya kesibukan sendiri, tapi bersedia menemaninya kemana saja bila ada waktu yang bisa disisihkan. Tetapi kali ini keduanya berhalangan.
Alasan mereka, lebih baik Lorna datang sendiri, mengingat hubungannya dengan Dewa sudah terjalin kembali. Itu sesungguhnya kesepakatan Rahma dan Grace dalam telepon semalam, untuk memberi ruang agar Lorna dan Dewa punya keleluasaan.
“Salamku saja padanya!” demikian pesan Rahma dan Grace.
Udara masih terasa lembab. Aroma daun cemara menyertai kelembaban embun pagi. Sinar mentari pagi menerpa wajahnya saat Lorna hendak memasuki kendaraannya.
Mami mendampingi hingga masuk ke dalam mobil. Sementara Papi mengawasi dari teras.
Bye, Daddy!” Lorna melambai dari belakang kemudi.
Bye, Sweety!
"I love you!"
"I love you too!"
Mami mencium kedua belah pipinya. Menatap lembut anak gadisnya yang hendak bertandang menemui pria yang dicintainya.
“Temuilah, kekasihmu!”
Thanks, Mommy!
“Masih mengenali rumahnya?”
“Kucoba, Mom!”
“Tetap tak perlu disupiri pak Karyo?”
“Biarlah Lorna sendiri.”
Mami tersenyum.
“Hati-hati di jalan sayang!”
Thank you, Mom. Bye, Mommy! Bye Daddy!
Papi dan Mami melambaikan tangan.
Lorna memaksa membawa kendaraan sendiri tanpa ditemani. Melintasi jalan raya yang mulai lengang setelah jam-jam masuk kerja dan anak sekolah. Untuk menemukan rumah Dewa bila ingatannya masih baik, tak diperlukan waktu lama. Hanya pandangannya agak bingung dengan perkembangan pembangunan rumah-rumah di sepanjang jalan yang dilaluinya. Terasa berbeda setelah sekian lama tak melalui jalanan yang dulu biasa dilaluinya. Patokan jalur dan arah yang terlihat sudah tidak seperti dulu lagi. Sudah jauh berubah.
Sinar mentari semakin hangat menerpa wajahnya ketika sudah sampai di depan rumah Dewa. Tempat itu pun juga mengalami perubahan. Banyak bagian yang berubah. Pintu masuk halaman sudah dibangun pergola yang menjorok ke dalam. Tersedia areal di depannya, sehingga tak sulit untuk parkir kendaraan. Dirinya nyaris tak mengenali. Tapi sebatang pohon asam di tepi jalan di depan rumahnya yang masih terjaga, memberinya keyakinan. Pagar dan pergola yang mencerminkan estetika membuatnya yakin rumah seorang seniman.
Pintu gerbang yang terbuat dari kayu mahoni tebal, dan tidak terkunci, berderit halus saat didorongnya ke dalam.
Lorna menyelinap masuk. Melihat seorang penjaga, seorang lelaki paruh baya sedang sibuk menyirami tanaman. Begitu melihat dirinya di pintu, lelaki itu bergegas menghampirinya. Keduanya sama-sama saling tidak mengenal.
Good morning, Miss?” lelaki itu mencoba menyapa.
Lorna tersenyum.
Morning!” balas Lorna.
Lorna memberi isyarat telunjuk ke bibirnya.
“Panggil aku, Nonik saja! Nggak usah pakai bahasa Inggris.” kata Lorna yang membuat lelaki itu kebingungan.
“Biarlah aku masuk sendiri. Kalau kamu bertanya, itu artinya, kamu belum mengenaliku. Namaku Lorna. Aku sering kemari sebelum kamu berada di sini. Ini rumah Dewa kan?”
“I iya betul, Non!”
“Siapa namamu?”
“Gino, Non!”
“Oke, Mas Gino. Mobilku kuparkir di situ. Tidak mengganggu bukan?”
“Tidak, Non! Tempat itu disediakan untuk parkir kendaraan.”
“Terima kasih, Mas Gino. Aku boleh masuk, ya?”
“Silahkan, Non! Mas Dewa sudah bangun dan berolahraga. Barangkali di atas. Biasanya membaca buku di teras.”
“Biarlah aku masuk sendiri tidak usah diantar,” kata Lorna.
Lelaki itu mengangguk. Membukakan pintu lebih lebar agar mobil gadis bermata biru itu terlihat olehnya dari dalam.
Lorna melangkah gemulai menuju bangunan utama. Bangunan fisiknya sudah mengalami banyak perubahan. Dua pilar utama yang menyangga atap teras terbuat dari glugu dengan diameter sekitar lima puluh sentimeter. Gebyok selebar empat meter menyekat ruang depan dengan ruang dalam.
Perabotan lama masih mengisi sudut-sudut ruang. Keharmonisan tata ruang memberi kesan damai bila berada di dalamnya. Dinding yang tidak diplester, hanya dilapisi semen putih tebal membiarkan kontur bata tetap menonjol.
Setiap dinding tergantung lukisan yang lebar. Nyaris tak ada ruang kosong. Lukisan-lukisan Dewa. Dua lukisan di atas buffet yang berukuran sama adalah lukisan yang tak asing baginya. Lukisan wajah kedua orangtua Dewa. Ayahnya meninggal sebelum Lorna mengenal Dewa. Lorna akrab sekali dengan ibunya. Kepergian ibunya, Lorna tak pernah tahu, karena saat itu barangkali dirinya sudah berada di Australia, di samping saat itu terjadi masalah antara dirinya dengan Dewa.
Ibunya selalu memanggilnya Dewi Sembodro. Seorang dewi yang cantik jelita dalam kisah di dunia pewayangan.
Meski begitu. Lorna seperti masih merasakan keberadaannya. Dirinya kerap menemaninya saat sibuk membatik di beranda belakang. Bau aroma lilin yang direbus untuk membatik pun seperti masih terasa menyengat ke dalam rongga hidungnya. Seakan aroma lilin yang terbakar meresap ke segenap pori-pori dinding rumah itu.
Pintu masuk ke bagian dalam, keadaannya terbuka. Kehadirannya tiba-tiba disambut seekor anjing yang masih mengenalinya. Karena anjing itu tidak menyalak. Anjing itu akan menyalak bila ada orang yang asing baginya. Ekornya mengibas-ibas. Matanya berbinar-binar berkilat memandanginya. Bersungut-sungut seperti minta disapa.
Lorna bersimpuh, mengelus kepalanya sambil berbisik.
“Hai, apa kabar? Mana bosmu?”
Mata Baba berbinar-binar ketika diajak bicara, hanya mulutnya saja mendengus-dengus. Tubuhnya bergerak berputar minta disentuh.
“Kamu tunggu di sini, ya?”
Anjing itu seperti tahu diajak bicara. Mengingatkannya pada anjingnya di Australia jenis chihuahua yang tak bisa dibawanya ke Indonesia sebab urusan doanenya repot sekali.
Pandangan Lorna menyelidik. Sepi. Seperti tak berpenghuni. Dicobanya mencari ke setiap ruangan yang terbuka. Tak ada siapa pun. Barangkali di lantai atas. Dulu bangunan ini tidak memiliki tingkat. Lalu dia menaiki tangga kayu yang menghubungkan dengan balkon.
Di atas, di selasar. Dilihatnya Dewa berbaring tidur pada sebuah kursi rotan yang beralas busa tipis berwarna merah. Sebuah kitab tebal yang terbuka, tertelungkup di atas dadanya.
Lorna berjingkat menghampiri. Menghindari langkahnya jangan sampai menimbulkan suara berisik. Lantai dilapisi tikar dari anyaman rotan.
Kursi tempat Dewa berbaring tingginya lima puluh senti. Lorna berlutut lalu memungut kitab di atas dada Dewa. Memperhatikan sebentar buku itu. Buku tentang Salvador Dali. Lalu menutupnya kembali. Menyisihkannya ke atas nakas yang berada di sebelah tempat Dewa berbaring.
Lorna bersimpuh memandang wajah Dewa yang tertidur pulas. Tidak ingin membangunkan. Pastilah lelaki itu mengalami kelelahan usai membenahi pamerannya. Dipandanginya wajahnya dengan seksama, wajah yang selama ini selalu terbayang dalam ingatannya.
Kemudian bangkit menuju dapur, hendak menyeduh teh. Didapati thermos dalam keadaan kosong. Segera direbusnya air sebentar. Kompor sudah tidak lagi menggunakan kompor minyak tanah seperti yang biasa dilihatnya dulu. Kini menggunakan kompor gas. Dapurnya rapi dan artistik. Banyak perabot terbuat dari gerabah untuk estetika. Sepanjang yang dilihatnya suasana yang dirasakan adalah sentuhan berestetika. Rumah seniman memang terasa nyaman.
Secangkir teh hangat lalu diletakkannya di atas nakas di dekat buku Salvador Dali. Lorna bersimpuh kembali di samping Dewa terbaring. Kedua tangannya menumpu di atas paha. Cara duduk yang pernah diajarkan ibu Dewa semasa hidup. Dengan duduk seperti ini, dirinya dulu sering menemaninya di saat membatik.
Asap teh yang panas menggelitik penciuman Dewa. Merangsang matanya hingga perlahan terbuka. Kemudian tergagap begitu melihat Lorna sudah bersimpuh di hadapannya.
Dewa bergegas bangun. Lorna menyapa lunak.
“Hai!”
“Hai!”
“Selamat pagi, Dewa!”
“Selamat pagi, Mata biru!”
“Maaf membangunkanmu.”
Dewa menggeleng.
“Sudah lama?”
Lorna mengangguk. Kemudian menyalami tangan Dewa. Mencium punggung tangannya.
“Ya, ya, kamu sudah buatkan aku minum. Terima kasih. Biasanya Gino yang menyiapkan.”
“Mungkin nanti. Kalau dibuatkan sekarang keburu dingin,” Lorna mencoba membela.
Dewa memandang ke luar. Pagi tengah berangkat menuju siang. Melihat sejenak ke teras. Di atas meja ada secangkir minuman dan sebuah piring berisi pisang goreng. Lorna tidak tahu kalau Gino sudah menyiapkan minuman dan makanan kecil yang diletakkan di tempat itu. Kalau tahu tentu tak akan membuatkan.
“Aku ketiduran. Tak keberatan kutinggal mandi sebentar?”
Lorna kembali mengangguk.
“Kamu nampak sudah mandi.”
“Kulit badanku masih terasa lengket, apalagi baru ketiduran.”
Dewa beranjak ke kamar mandi. Dan Lorna sudah merapikan tempat itu ketika Dewa selesai membersihkan diri dan berganti pakaian.
“Kapan kembali ke Jakarta?” tanya Dewa seraya mengeringkan rambut dengan handuk kecil putih.
Pertanyaan itu menyentakkan Lorna. Betapa tidak tersentak, karena kini langsung dihadapkan pada kenyataan yang paling tidak disukainya, yaitu perpisahan. Pertanyaan itu membuatnya tak nyaman, tetapi itu adalah kenyataan sebenarnya. Kembali ke Jakarta adalah sebuah kenyataan yang tidak bisa dihindari. Artinya, dalam waktu dekat perpisahan itu akan terjadi. Sementara dirinya tak tahu bagaimana kelanjutan hubungan mereka. Fase ini membuatnya bingung, tak tahu bagaimana memutuskannya. Kenapa mesti terjadi di saat hubungan mereka mulai pulih? Itu yang membuatnya takut. Lorna merasa kegelisahan kembali bangkit mendera.
Dewa menangkap kegelisahannya.
“Maafkan aku. Maksudku masih berapa lama Lorna di Malang?” tanyanya untuk memperbaiki suasana hatinya.
“Kenapa?”
“Aku tak bisa mencegahmu bila kamu harus kembali.”
Lorna tenggelam dalam pikirannya.
“Kenapa diam?” tanya Dewa.
“Aku takut, De,” jawabnya lirih.
“Apa yang ditakutkan?”
“Keadaan seperti ini.”
“Seperti apa?”
“Berpisah...”
“Tapi Lorna harus kembali,” lanjut Dewa,
Lorna diam. Dewa pun diam.
“Aku mau ke Bali dulu!” kata Dewa memecah kesunyian.
“Aku tahu. Itu janjimu ke Om Robi.”
“Nggh...”
“Jangan pikirkan aku!” kata Lorna dengan suara berat seakan terbebani perpisahan yang bakal terjadi dalam waktu dekat.
“Hei! Tidak bisa begitu, Lorna!”
Keduanya berpandangan.
“Bagaimana kalau Lorna ikut?” tanya Lorna mengusulkan dengan tatapan penuh harap.
Dewa membalas tatapan itu, tak tahu harus menjawab apa.
Lorna mengerenyitkan kening.
“Keberatan?”
Dewa merasa terjebak. Selanjutnya tidak kuasa menolak permintaan itu.
“Lalu ke Jakartanya?”
“Kan bisa Lorna ambil penerbangan dari Bali,” jawab Lorna memastikan.
Dewa membentangkan tangan. Menyerah. Bentangan tangan Dewa seakan mengundang Lorna agar menghambur ke dadanya. Maka Lorna membiarkan Dewa mendekapnya hangat saat tubuhnya sudah berada dalam pelukannya.
“Terima kasih, De.” bisiknya senang.
Saat Dewa meletakkan handuk di luar teras atas. Lorna meneliti kamar atas. Ingin mengetahui keadaan rumah yang sudah lama tak dikunjunginya. Di sebuah kamar dia melihat sebuah pesawat telpon. Ternyata ada pesawat telpon di rumah ini. Lorna memasuki sebuah ruang studio. Daun pintunya berlapis dan tinggi. Aroma terpentin dan linsed oil menyengat hidungnya saat memasukinya. Di dalamnya luas sekali dan bersih. Banyak cahaya masuk karena ada jendela kaca yang selebar dinding.
Banyak lukisan yang tersandar dengan rapi. Sebagian masih di penyangganya karena masih dalam proses pengerjaan. Sebagian bergantung pada dinding yang luas. Lukisannya besar-besar. Perhatiannya kemudian tertumpu pada sebuah lukisan yang tersandar di sudut lantai. Wajah lukisan itu mengusik keingintahuannya. Siapa pemilik wajah itu? Diamatinya lukisan itu dengan seksama.
Lorna tak menyadari bahwa Dewa sudah berada di ambang pintu memperhatikan.
“Itu Nirmala!” kata Dewa dengan suara datar. Lalu membalikkan lukisan itu menghadap dinding.
Lorna keheranan.
“Kenapa dibalik, Dewa?”
“Sudahlah!”
“Biarkanlah. Lorna masih ingin melihat!”
Dewa lekas memotong ucapannya.
“Hatimu akan terluka!”
Lorna memandang Dewa penuh heran.
“Kenapa Dewa berpikir hati Lorna akan terluka?”
Feeling!”
My feel?”
Lorna mengembalikan posisi lukisan itu. Dewa tak kuasa mencegah.
“Tapi kita harus menghormati orang yang sudah meninggal, bukan?”
Dewa tak menimpali. Lalu membuka daun jendela agar cahaya pagi masuk ke dalam ruangan. Berdiri di ambang jendela. Menatap keluar. Menatap ranting pohon flamboyan yang daunnya telah luruh karena musim kemarau.
“Sebenarnya aku tak pantas untukmu,” ucapnya seraya memandang lepas ke kejauhan.
Lorna tersentak dengan ucapan itu.
“Kenapa Dewa berkata begitu?” Lorna bertanya penuh heran.
“Kamu terlalu sempurna bagiku.”
What?” tanya Lorna dengan suara sedikit keras seraya menatap Dewa dengan bola mata berbinar-binar keheranan.
Lalu menghampirinya perlahan.
“Pantas dan tidak, bukankah Lorna yang menentukan? Lorna tidak mau mempersoalkan yang sudah berlalu. Janganlah De. Janganlah begitu. Lorna mohon jangan mengungkit itu lagi.”
“Suatu kali Lorna akan mengerti.”
Pandangan Lorna sayu.
“Kenapa?”
Dewa tak menjawab.
Di lantai bawah tiba-tiba ada yang datang. Suaranya ribut sekali. Baba menyalak terus. Tak lama ada suara langkah yang tergesa-gesa hendak memasuki ruang di mana keduanya berada.
“Mas Dewa! Oh, maaf...”
Seorang gadis menyerobot masuk dan tertahan langkahnya.
Dewa terkejut sebentar.
“Dama kira Mas Dewa sendirian...” kata gadis itu.
“Baru sampai?” tanya Dewa.
“Ya, dengan dua orang teman. Mas. Boleh nginap di sini,ya?”
“Siapa yang melarang, Dama. Naik travel ya?”
“Nggak jadi, Mas. Naik kereta saja!”
“Oke kalau begitu kalian berbenah dulu. Pakai kamar mana saja yang kosong. Atur sendiri. Eh, Dama. Kenalkan...”
Kedua gadis itu bertatapan.
“Saya Damayanti!”
“Lorna!”
“Adiknya Nirmala!” Dewa menjelaskan.
“Oh,ya?”
“Baru datang dari Jogja!”
Dama terpukau akan wajah Lorna.
“Baik, Mas. Dama tak mau mengganggu. Tapi nanti turun ya. Teman Dama ingin berkenalan.”
“Beres!”
“Yuk, Mbak!”
“Yuk!”
Setelah Damayanti turun. Dewa dan Lorna kembali saling berdiam diri. Kehadiran adik Nirmala tiba-tiba menggelisahkan hatinya. Seakan mengalihkan apa yang baru diperbincangkan. Kalau tadi dia bilang tidak ingin mengungkit masa lalu. Kini membuatnya bimbang. Kehadiran gadis itu memaksanya harus mengungkit rasa ingin tahu tentang seberapa jauh hubungan Dewa dengan keluarga Nirmala. Semua itu tiba-tiba menyalakan api kecemburuan tanpa alasan.
“Kenapa diam?” tanya Dewa.
Menyadarkannya dari lamunan.
“Ah, enggak!”
“Karena Dama?”
Lorna menggeleng.
“Lantas apa?” tanya Dewa mendesak.
“Wajahnya mirip lukisan itu.”
“Dia Dama. Bukan Nirmala. Maksud Lorna?”
“Aku percaya.”
“Tapi kenapa seperti melihat hantu?”
“Ih, Dewa!”
“Ya?”
Dewa diam.
“Kenapa menyebut Nirmala hantu?”
“Oh, maaf. Maksudku, kenapa kamu nampak ketakutan? Apakah kita akan membahas Nirmala?”
“Terserah!” Lorna sengit.
“Kamu nanti akan mengerti sendiri,”
“Kenapa harus nanti? Tidak bisakah berikan penjelasan sedikit agar Lorna mengerti?”
“Belum saatnya!”
“Kapan?”
“Entahlah!”
Keduanya diam. Ruangan tiba-tiba terasa sunyi.
“De?”
“Ya!”
“Apakah...” tenggorokan Lorna tercekat tak jadi meneruskan.
Dewa menunggu hingga Lorna menyelesaikan kalimatnya.
“Lorna tidak bisa menahan perasaan selama ini. Lorna bingung. Tapi Lorna tak tahu harus bersikap bagaimana. Sikap Dewa selalu menimbulkan pertanyaan. Membikin Lorna gelisah. Dan itu yang membuat Lorna menjauh. Padahal Lorna tidak bermaksud begitu. Lorna tidak menghendaki perpisahan. Bisakah Dewa mengatakan sejujurnya...” Lorna menunda menyelesaikan kalimatnya.
“Tentang apa?”
“Hubungan kita!”
“Ada apa dengan hubungan kita?”
“Apakah hanya sekedar persahabatan?”
“Hei! Hei! Hei!” tiba-tiba Dewa menyergah.
Lalu menjelaskan seraya memegang kedua bahu Lorna.
“Hubungan kita lebih dari sekedar persahabatan, Lorna! Kenapa Lorna mesti meragukannya? Maafkanlah bila sikapku membuatmu ragu.”
Selanjutnya telapak tangan Dewa menyergap kedua pipi Lorna. Menatap tajam seakan berusaha menembus bola mata biru yang mulai berkaca-kaca itu.
“Apakah kamu tak memahami sikap yang kuperlihatkan kepadamu saat di Surabaya kemarin?”
Lorna diam. Tak ingin menjawab. Matanya terpejam, mendorong airmatanya keluar dari sela-sela pelupuk matanya yang terkatup.
“Aku mencintaimu, Lorna! Aku mencintaimu!” ucap Dewa. Suaranya berdesah, seperti desah angin dingin yang menerpa wajah Lorna, rasanya sejuk sekali.
Ucapan itu adalah sebuah kalimat yang telah ditunggu-tunggunya selama bertahun-tahun. Ucapan itu laiknya siraman air dingin di saat dirinya kepanasan di tengah padang pasir gersang meranggas. Ucapan itu yang melengkapi kebahagiaannya setelah perjumpaan keduanya pertama kali di Surabaya.
Kelopak mata Lorna terkatup lantas terbuka kembali.
“Dewa?!” panggilnya dengan suaranya serak basah.
“Aku mencintaimu, Lorna! Aku mencintaimu!”
“Oh, Dewa!”
Betapa indah yang dirasakannya ketika air matanya dicium bibir Dewa. Betapa lembut rasanya ketika pipinya disentuh lunak bibir Dewa. Betapa indahnya ketika bibirnya tenggelam dalam himpitan bibir Dewa. Oh! Betapa ingin hal ini berlangsung sejuta tahun tanpa berakhir. Ciuman yang diberikan Dewa adalah ciuman pertama kali yang dirasakannya dari seorang lelaki selama hidupnya. Ciuman pertama dari cinta pertamanya. Ah, Lorna. Inikah maumu? Inikah kerinduanmu selama ini? Inikah saat-saat yang kau nantikan sepanjang hidupmu?
“Aku mencintaimu, Lorna! Aku mencintaimu,” bisik Dewa berkali-kali di telinganya.
Lorna membalas memeluknya ketat.
“Lorna juga mencintaimu, Dewa!” suaranya berdesah.
“Pantaskah aku untukmu, Lorna?”
“Dewa!”
“Pantaskah?”
“Pantas, Dewa! Lebih dari pantas, Dewa!”
Lukisan Nirmala yang bisu, tersenyum menyaksikan bagaimana gadis cantik bernama Lorna terisak-isak dalam pelukan suaminya. Menyaksikan bagaimana gadis bermata biru bernama Lorna merengkuh erat tubuh kekar suaminya. Menyaksikan bagaimana suaminya memilin bibir kekasihnya seorang gadis berambut coklat hingga kesulitan bernafas. Namun lukisan itu tidak cemburu, sebab gadis itulah yang pantas buat suaminya. Gadis mata biru itu sesungguhnya yang berhak mendapatkan cinta dari suaminya.
Tenggelamkanlah aku dengan ciumanmu, Dewa. Bunuhlah aku dengan cintamu, Dewa! Itulah irama jeritan hati Lorna saat Dewa mengungkapkan bahasa cintanya dengan ciuman. Seakan ingin melepaskan dan menuntas dahaga yang tertahan selama bertahun-tahun.
Lukisan Nirmala yang tersenyum bisu, menyaksikan bagaimana suaminya membelai rambut kekasihnya yang berwarna coklat gelap, menghirup keharumannya. Memandangi mata birunya yang basah berlinang airmata.
“Aku mencintaimu, Lorna!”
“Aku juga, Dewa!”
“Apa lagi yang harus kulakukan untuk meyakinkanmu bahwa aku mencintaimu?”
Lorna tersenyum dalam keharuan.
“Cukup, Dewa! Ucapanmu itu yang selama ini Lorna nantikan selama bertahun-tahun.”
Dewa mendekap kedua pipi Lorna. Memandanginya tajam dari dekat.
“Itukah yang selama ini kamu nantikan?”
Lorna mengangguk perlahan.
“Ya!.”
“Selama itu?”
Lorna mengangguk kembali.
“Kenapa selama itu harus menunggu?”
“Entahlah. Mungkin aku tak yakin kamu mencintaiku.”
“Kamu tak merasakannya?”
“Merasakan apa?”
“Bahwa aku mencintaimu.”
“Merasakan, De. Tapi...”
“Tapi apa, Lorna?”
“Aku ragu bila kau tak mengatakannya.”
Dewa mendekapnya lagi.
“Maafkanlah aku kalau begitu.”
“Tak ada yang perlu dimaafkan, Dewa.”
“Ya, memang tak ada yang perlu dimaafkan. Tapi aku tak bisa memaafkan diriku yang menggantung cintamu selama itu.”
Lorna tersenyum.
“Oh, Dewa!”
Dewa mengeringkan airmata di wajah Lorna dengan bibirnya.