Senja di kaki langit kian temaram. Angin laut mulai berganti angin darat, tiba saatnya para nelayan menghela perahu ke tengah laut. Dewa pun turut mengajak Lorna beranjak dari atas pasir setelah duduk berdua menikmati laut lepas sambil berbincang.
"Kamu harus pulang." kata Dewa perlahan.
Lorna mengangguk, walau sesungguhnya berat meninggalkan tempat itu sementara dirinya masih menginginkan berlama-lama di tempat ini. Lantaran Dewa yang meminta, dia harus menurutinya.
"Hari sudah menjelang malam. Kamu masih harus banyak istirahat. Perjalananmu masih dua jam lagi ke Malang. Nanti kemalaman."
Lorna kembali mengangguk seraya menatap Dewa lembut.
"Bagaimana kalau kita makan dulu bersama mereka?" tanya Lorna mengusulkan.
"Oke, tak masalah."
"Lorna yang bayar, ya?" Lorna menambahkan.
Dewa tersenyum seraya menjentik dagunya yang oval, membuat Lorna senang.
"Kamu cantik sekali."
"Terimakasih, Dewa." jawab Lorna tersipu.
Dewa kini kerap memuji kecantikannya langsung. Dewa mengatakan itu tanpa berniat menyanjung. Dewa mengatakan apa yang sesungguhnya dirasakan. Semasa sekolah bula Dewa memuji kecantikannya Dewa akan selalu membuat analogi seperti; Bunga ini cantik dan indah, seperti wajahmu. Maka ucapan itu akan membuatnya tersipu. Atau pagi ini udara terasa segar, sesegar wajahmu. Maka ucapan itu akan membuatnya tersipu.
Kemudian mereka meninggalkan pantai. Lalu bersama-sama mencari restoran untuk bersantap. Setelah itu kembali lagi ke kantor Irvan untuk berganti kendaraan karena mobil Lorna ditinggalkan di kantor Irvan.
Sebelum melepaskan Lorna dan Rahma kembali ke Malang. Dari lubang jendela kendaraan, Dewa melongok ke dalam. Memandang Lorna dan Rahma yang sudah berada di dalamnya, dan berpesan pada Lorna.
“Berhati-hati di jalan.”
Lorna mengangguk.
“Thanks berat, Rah. Salamku ke Grace,” ucap Dewa ke Rahma.
“Sudahlah! Itu tugasku, De! Nanti kusampaikan salammu padanya,” balas Rahma.
“Tugas seorang sahabat,” Dewa melengkapi ucapan Rahma.
Rahma tersenyum, mengacungkan jempol.
Dewa menjabat tangan Rahma. Setelah itu mengulurkan tangan ke Lorna, yang disambut Korna dengan mencium punggungnya. Rahma memperhatikan sikap Lorna. Sopan nian Lorna kini, pikirnya. Sepertinya gadis blasteran itu mulai belajar cara menghormat dalam budaya Jawa.
“Banyak istirahat. Pulihkan kesehatanmu?” pesan Dewa kembali kepada Lorna.
Lorna mengangguk.
“Kapan bertemu kembali?” Lorna bertanya.
“Secepatnya!”
“Bagaimana menghubungimu?” tanyanya kembali.
“Sudahlah, Na! Rumahnya masih yang dulu! Kamu ke rumahnya saja. Seperti kemarin,” sela Rahma tiba-tiba.
“Oh, ya?” Dewa bertanya seraya menatap Lorna.
Lorna mengangguk.
“Ketemu siapa di rumah?”
“Ah, tapi nggak jadi, kok!” jawab Rahma pendek, tak berani menjelaskan alasannya kenapa tidak jadi pergi ke rumahnya, sebab Lorna memandangnya, seakan memberitahu agar peristiwa dengan Ronal kemarin jangan sampai diketahui Dewa, bisa mengusik kebersamaannya dengan Dewa yang kini mulai terbangun kembali.
“Besok Lorna saja yang ke rumah Dewa!” Lorna lalu memutuskan.
Dewa mengangguk. Tangannya menyibakkan rambut Lorna ke belakang. Memandang wajahnya dengan teduh. Keduanya bertatapan lama. Rahma memperhatikan dengan perasaan bahagia.
“Kutunggu ya” balas Dewa lunak.
Lorna mengangguk
“Bye Dewa! Bye Irvan! Terima kasih banyak!” kata Rahma dan Lorna dengan melambaikan tangan.
“Bye!”
Satu hal yang mengganggu pikiran Lorna. Betapa sulitnya mendapatkan nomer telepon yang bisa menghubungkan dengan Dewa. Lorna tak ingin mendesak karena belum tahu alasan Dewa yang terkesan memproteksi dirinya sendiri. Sepertinya Dewa bermaksud tidak setiap orang mudah mengaksesnya. Ataukah barangkali hubungan telepon menjadi gangguan baginya?
Tak apalah bila itu memang menjadi gangguan yang harus dihindarinya. Tentu ada alasan kuat kenapa hal itu harus dilakukannya. Bagaimanapun juga situasi yang ada pada diri Dewa dirinya harus memaklumi.
Bertemu dengannya pada hari ini sudah lebih dari cukup dari sekian banyak hal membuatnya masih diliputi rasa penasaran bisa mengenalnya lebih jauh dengan keadaan dewa sekarang. Kalau Joy bilang bahwa Dewa sudah berubah. Barangkali hal ini yang dimaksudkan. Masih perlu adaptasi setelah hubungannya mengalami pasang surut.
Malam hari setelah pertemuan di Surabaya. Lorna merasa terganggu oleh telepon yang masuk. Berbeda sebelumnya yang selalu ditanggapi sebagai pelipur kesepiannya di tengah kehidupannya yang berjalan sendiri tanpa orang dekat selain Mami dan Papinya. Seakan keadaannya kini berbanding terbalik. Setidaknya untuk saat ini di mana dirinya yang baru saja bersua dengan Dewa, masih ingin menikmati dan mengenang saat-saat pertemuan di Surabaya itu.
Sudah lebih belasan kali harus meladeni ponselnya yang tiada henti berdering. Menjadi demikian mengganggu di saat dirinya sedang ingin menenangkan diri dalam kamarnya. Entahlah malam ini ada keengganan menanggapi setiap telepon yang masuk. Sampai-sampai Grace yang biasa menelpon mengirim sms .
“Halo sayang, mentang-mentang do’i sudah kembali, susahnya dihubungi.”
Lorna lantas menelpon Grace.
“Nah, mau ngomong apa. Aku dengerin!” kata Lorna.
Ponselnya disetel ke mode hand free.
“Aku jadi kecewa banget nggak bisa ikut ke Surabaya."
"Kenapa?"
"Apalagi mendengar cerita Rahma pada bagian yang membikinnya menangis,” kata Grace.
“Kamu ngomong apa, Grace?”
“Adegan pertemuanmu.”
"Memangnya kenapa?"
"Hih! Rahma menangis saat melihatmu bertemu Dewa." kata Grace gemas.
"Hah! Terus?"
"Dia merekam kejadian itu."
"Hah! Mengapa Rahma bisa begitu?"
“Ya, bisalah! Aku juga pasti begitu kalau berada di sana,” kata Grace meyakinkan.
“Ah! Apalagi yang mau diomongin?”
“Cuma mau menyampaikan. Selamat malam! Selamat tidur! Selamat bermimpi! Eh, Dewa sudah menelpon belum?”
“Grace! Jangan ngeledek!”
Grace ketawa.
“Kirimi dia ponsel!”
“Dasar!”
“Aku tutup ya?”
“Yo i, Grace! Met malam Grace. I love you, Grace!”
“I love you too, Na! Bye bye!”
Lorna berbaring terlentang memejamkan mata. Memeluk gulingnya erat-erat, seakan guling itu tubuh Dewa yang dipeluknya saat bergulingan di atas pasir di pantai Kenjeran Surabaya. Bibirnya menyungging senyum. Hari ini adalah hari yang memberinya kebahagiaan. Pertemuannya dengan Dewa telah meruntuhkan tembok kuat yang membatasinya selama ini. Reuni walaupun di hari pertama tak dihadiri, ternyata memberinya kebahagiaan tersendiri, meskipun terjadi insiden, namun harapannya bertemu Dewa telah terwujud.
Lorna tak menyadari Maminya sudah masuk ke dalam kamarnya. Berdiri di tepi tempat tidurnya. Memperhatikan dengan senyum menghiasi bibir. Melihat wajah puteri semata-wayangnya telah bersinar kembali.
Lorna membuka kelopak mata saat ada yang membelai wajahnya.
“Mommy!”
“Minum vitaminmu dulu sayang,” katanya seraya menunjukan beberapa butir pil dan segelas air putih.
Lorna bangkit duduk. Melakukan apa yang dimintanya. Seakan menuruti permintaan Dewa agar dirinya memulihkan kesehatan. Setelah selesai kemudian bertanya pada Maminya.
“Mommy bisa bahasa Jawa?”
Maminya tersenyum geli.
“Lha yo iso to, Nduk! La wong Mamimu iki wong jowo tulen!” jawabnya dengan logat Jawa ngoko.
“Ih, itu sih bahasa Jawa kasar, Mommy!”
“Maksudmu yang halus. Ngromo madyo atau ngromo inggil.”
“Yang halus, Mom!”
“Ngromo Inggil?”
“Yang penting halus.”
“Iya, bahasa yang halus itu namanya ngromo inggil, Sayang. Untuk yang ini Mami menyerah. Kalau sekedar menangkap Mami ngerti, tapi kalau bicara Mami kesulitan. Memangnya ada apa kok tumben tanya soal ini?”
“Ah, nggak. Kalau bisa, ajari Lorna sedikit-sedikit.”
Mami menggeleng perlahan sembari tersenyum.
“Bola matamu milik Daddy. Warna kulitmu campuran antara Mami dan Daddy. Hidung dan wajahmu lebih banyak ke Daddy, tapi ada karakter Mami. Kamu bisa private bahasa Jawa kalau mau?”
“Ah, nggak!”
“Peluk Mami sayang,” kata Maminya.
Lorna lalu memeluknya. Maminya balas memeluknya hangat.
“I love you, Mommy!”
“I love you, Sweety!”
Sesaat kamarnya hening.
“Kamu sudah bertemu, Dewa?” kemudian Maminya bertanya.
Lorna mengangguk.
“Bagaimana pertemuanmu dengannya?”
Lorna membenamkan hidungnya ke pipi Mami. Maminya tersenyum. Itu pertanda apa yang diharapkan puterinya terkabul. Perubahan sikapnya sudah dirasakannya sekembali dari Surabaya. Kecemasan akan malam-malam sebelumnya langsung sirna. Tak ada kesedihannya lagi. Tak lagi ada airmata yang berlinang.
“Apa pendapat Mommy tentang, Dewa?” Lorna bertanya perlahan. Wajahnya disandarkan ke dada Maminya.
“Baik!”
“Hanya itu?”
“Ya, selama ini dia nampak baik-baik. Sopan. Tak banyak bicara. Your Dad menyukai sikapnya. Lugas. Apa adanya. Merendah. Gentle. Apalagi ya?”
Maminya mencium pipinya dengan lembut.
“Kamu bisa mengajaknya makan malam di sini sebelum Mommy dan Daddy kembali ke Australia. Sudah lama kita tak bertemu sejak dia menyelesaikan relief dan kolam ikan di belakang.”
“Ah, itu sudah lama sekali.”
“Ya, memang betul sudah lama sekali. Kan Daddy juga ada keperluan mau pesan lukisan. Bisa berdiskusi sambil makan, bukan? Bisa mengenalnya lebih jauh.”
“Tapi, Lorna tak janji, ya?” kata Lorna lalu bangun melepaskan diri dari pelukan Maminya.
Kemudian berjalan ke arah jendela. Melihat ke arah kolam yang diterangi lampu taman yang temaram. Melihat patung relief di dinding kolam. Tempat itu nampak samar-samar.
“Relief itu tidak terawat, Mommy!”
“Bagaimana merawatnya? Dewalah yang tahu cara merawatnya. Dia kan yang membuatnya. Apalagi kita sudah tak menempati rumah ini terus menerus seperti saat kamu masih di es em a.”
Lorna menghela nafas panjang, seakan bersedih melihat hasil karya Dewa yang berada di sudut taman terbengkelai.
Suara katak di kolam melantunkan kidung mencari pasangan. Bayangan pohon flamboyan di dekatnya menggelapi hamparan rumput halaman. Daunnya mulai luruh karena saat ini memasuki musim kemarau. Bulan putih bercahaya di langit.
Lorna melipat tangan di dada menatap keluar jendela. Mencoba memunculkan kembali bayangan saat Dewa sering berkunjung ke rumahnya. Bercengkerama bersamanya di taman belakang rumah.
Maminya memeluknya hangat dari belakang.
“Kamu sedang memikirkannya?” bisiknya.
“Siapa, Mom?”
“Dewa...”
Lorna tak menjawab. Hanya merapatkan pipi ke pipi Maminya. Mami seakan bisa membaca pikirannya.
“Kamu mencintainya?”
“Mom?” Lorna bersuara lirih.
Maminya mencium pipinya.
“Mom!”
“Ya, Bidadariku?”
Mami membelai rambutnya yang lebat.
“Lorna ingin tidur dipelukkan Mommy.”
Mami tersenyum, membelai wajahnya dengan lembut.
“Ayo, Mami temani tidur.”
Kamar itu pun kemudian hening seiring keduanya berbaring. Lorna pun lalu terlelap dalam dekapan Maminya.