Sejak pagi langit tidak berawan. Angin kering bertiup dari selat Madura membuat kedua pipi Lorna merona. Dewa mengeluarkan saputangannya kembali untuk menyeka butiran keringat yang terbit seputar dinding hidung bangir Lorna.
Dewa tidak menyadari kalau gadis itu kini menjadi trauma pada saputangan setelah Grace mengatakan, bahwa ada kutukan di setiap saputangan. Kutukan yang bisa menyebabkan perpisahan. Sebuah keadaan yang tidak ingin terjadi kembali dalam hidupnya. Sudahlah cukup dirasakan untuk sekali saja. Karena itu dia ingin saputangan Dewa hanya digunakan untuk menyeka airmatanya saja. Lebih dari itu lebih baik Dewa menyembunyikan kembali ke dalam saku celananya.
“Thank you!”
Dewa memandangnya. Pandangan yang membuat Lorna meralat ucapannya, merasa harus meninggalkan kebiasaannya dalam berbahasa, “Terima kasih!”
Dewa tak mempermasalahkan Lorna menggunakan bahasa Inggris. Dewa memaklumi kebiasaan tak bisa dihilangkan begitu saja. Apalagi bila berada di Australia, Lorna akan menggunakannya setiap hari. Dewa melihatnya tak lebih dari spontanitasnya saja.
"Sorry, Dewa!"
"Tak apa!"
"Lorna ada tisu, kok!" kata Lorna seakan ingin menjelaskan bahwa airmatanya bisa disekanya dengan tisu yang dimilikinya. Tapi Dewa menyanggahnya, yang membuat Lorna mengerti kenapa Dewa menggunakan saputangannya.
"Tisumu tisu basah, bukan tisu kering," Dewa menjelaskan.
Rahma dan Irvan tak menemani saat Lorna dan Dewa berkeinginan menelusuri pantai. Keduanya menunggu di sebuah warung penjual minuman es kelapa muda dan kupang lontong di bawah sebuah pohon waru. Mereka sengaja memberi keleluasaan agar Lorna dan Dewa bisa bercengkerama bebas melepaskan kerinduannya.
Butiran pasir di pantai tidak lagi panas karena mentari sudah melewati batas kulminasi. Mereka memutuskan melepaskan alas kaki. Sepatu-sepatu mereka lantas ditinggalkan di dalam mobil. Kemudian bergandengan tangan meniti di atas pasir. Meninggalkan jejak-jejak langkah beriringan panjang di belakangnya.
Keduanya melangkah perlahan tanpa sepatah kata yang terucap. Sesungguhnya banyak yang ingin diungkapkan. Tetapi tidak tahu mana yang akan diungkap terlebih dahulu. Setelah berjalan lama dan menghentikan langkah. Sejenak memperhatikan lidah air laut yang bergerak teratur, sesaat menjauh ke tengah, sesaat kembali lagi menuju daratan.
Dewa memunggungi laut. Memungut sebatang ranting bambu kering yang hanyut terbawa air laut. Menciptakan gambar sebuah hati di atas permukaan pasir. Sementara Lorna berdiri di hadapannya. Memperhatikan seksama hingga Dewa menyelesaikan gambarnya.
Dewa berlutut lalu menengadah. Menatap Lorna yang menunggu dengan senyum penasaran.
“Hayo, mau apa?” tanyanya dengan suara lunak.
Dewa menambahkan sebuah busur anak panah yang menghujam ke gambar hati itu. Lorna yang memperhatikan lantas melepaskan senyum. Lalu berlutut mengikuti Dewa. Kini keduanya berlutut berhadapan. Lorna membiarkan tangannya digenggam Dewa sembari membalas tatapannya. Sudut matanya kembali berkaca-kaca akibat luapan bahagia yang dirasakannya setelah sekian lama kehilangan perasaan itu.
“Aku merindukanmu,” ungkap Dewa lirih seraya menyibakan rambut Lorna yang dikibarkan angin. Ucapan itu menyejukan hati Lorna, “Kerinduan yang bertahun-tahun,” kata Dewa melanjutkan seraya menyeka mata Lorna yang kembali berlinang.
Lorna mengangguk.
“Kamu lelaki yang baik, Dewa.”
Dewa mengelus pipinya.
“Terima kasih telah menerima Lorna kembali,” kata Lorna melanjutkan dengan perasaan haru.
“Aku tidak pernah menolakmu.”
“Lorna telah jahat kepadamu.”
“Hei...hei...”
Dewa merengkuhnya kembali dalam pelukannya.
“Kita tak membicarakan itu lagi, oke? Kita bicara yang lain. Kita nikmati kebahagiaan ini. Kamu merasakan itu?”
Lorna mengangguk.
“Lorna bahagia, De.”
“Bagus! Kita lupakan kesedihan!”
Lorna tertawa geli.
“Bagaimana bisa?” tanyanya.
Dewa berhasil membuatnya tertawa.
“Beri aku pelukan, maka kesedihan itu akan terlupakan.”
“Oh, ya? Benarkah?”
“Coba saja!”
Maka Lorna memberi Dewa pelukan lebih erat. Dewa membalasnya hangat. Mata Lorna terpejam. Ingin merasakan apa yang baru saja dikatakan Dewa. Dan dia merasakan kedamaian itu. Merasakan kenyamanan itu. Merasakan kebahagiaan itu. Tak lagi merasa sedih. Tak lagi merasa gelisah. Beban yang berat selama ini seakan telah lenyap.
“Bagaimana?” bisik Dewa lembut di telinganya.
Lorna merasakan nafas Dewa yang hangat menerpa daun telinganya.
Lorna mengangguk lemah.
“Bagaimana?” Dewa mengulangi.
“Benar...” jawab Lorna lirih.
Dewa tersenyum. Baru kali ini Lorna melihat Dewa tersenyum. Senyum itu kian memberinya kedamaian.
Keduanya tak terusik oleh lidah laut yang datang menghapus gambar hati di lutut mereka. Tak peduli air laut membasahi bawah pakaiannya. Tak peduli pasangan mata yang memperhatikannya. Semua tak dipedulikan. Keduanya hanya merasakan bahwa saat ini dunia seakan menjadi milik mereka.
Kalau Dewa mengungkap perasaannya dengan menggambarkan sebuah hati di atas pasir. Lorna mengungkapkan perasaan dengan mendekapnya erat-erat tubuh Dewa. Dia ingin ungkapkan tanpa kata tentang perasaan yang dimilikinya sama seperti yang dirasakan Dewa.
Itulah bahasa cinta. Tidak harus diucapkan, cukup dipahami. Tak perlu ditanyakan, cukup dirasakan. Apakah kamu mencintaiku, Dewa? Apakah hubungan kita sebatas persahabatan, Dewa? Kenapa tak pernah kau bilang cinta padaku, Dewa? Hal-hal seperti itu yang membikin keraguannya selama ini.
Dalam penantian Dewa mengucapkan kata cinta kepadanya. Membuatnya terhempas di persimpangan jalan hingga menyulitkannya mengambil pilihan, hingga menyesatkannya ke dalam kegelapan rimba harapan.
Apalagi setelah ada gadis lain kemudian masuk dalam kehidupan Dewa. Semakin membuatnya merasa terabaikan dan dipermainkan. Semakin membuatnya tidak mengerti alasan Dewa yang tak berterus terang bahwa ada gadis lain di kehidupannya? Sungguh tak adil setelah apa yang sudah dilaluinya bersama-sama setelah sekian lama.
Lorna mengangkat wajahnya dari atas dada Dewa. Kemudian bangkit berdiri memandang laut lepas. Ada kesunyian di sana. Dewa merengkuh pinggangnya dari belakang. Meski terasa nyaman namun kegundahan yang mengaliri rongga sanubarinya tak bisa dibendung.
Dewa membalikkan perlahan tubuh Lorna hingga saling berhadapan. Lidah laut di atas pasir berdesah iri saat keduanya memadu dahi. Memadu hidung. Memadu pandang. Lama, lama sekali!
Hati Lorna tergerak ingin melihat Dewa tertawa dengan berusaha membalas tawa Dewa. Dilihatnya Dewa terpancing hingga tertawa renyah. Itulah tawa Dewa pertama kali setelah sekian lama tak pernah didengarnya lagi. Seakan hanya dirinya yang bisa menghadirkan kembali tawa Dewa. Keduanya pun lantas tertawa bersama. Seakan menertawai semua peristiwa yang telah mereka lalui. Menertawakan semuanya. Semuanya!
Keduanya lalu menjatuhkan diri ke pasir. Bergulingan. Berpelukan. Tak mempedulikan butiran pasir mengotori pakaian. Lantas terlentang saling berdiam diri menghadap langit sembari merentangkan tangan. Seakan memberitahukan kepada langit, bahwa ada belenggu yang lepas. Benarkah belenggu itu telah lepas?
Sepasang burung bangau putih terbang melintas di atas mereka menuju ke tengah daratan untuk kembali ke sarangnya berkumpul kembali dengan keluarganya.