25. Pada Sebuah Bar.

Dewa tiba-tiba bangkit dari kursi. Menyita perhatian ketiga temannya yang sejak awal berniat memuaskan kerinduan menatapi wajah itu setelah lama tak pernah melihatnya lagi.
Lorna berprasangka lain. Menurutnya Dewa bermaksud mau menarik uang dari mesin ATM. Dewa merasa tidak nyaman bila dompetnya tidak cukup uang, meski Lorna sudah menawarkan diri bila dia memerlukannya. Karena itu Lorna memegang pergelangan tangan Dewa saat hendak pergi meninggalkan tempat itu.
“Sori, aku hanya pergi sebentar...”
Lorna menatapnya lembut seakan memohon.
“Mau kemana?” tanya Lorna.
"Hanya sebentar!"
“Boleh kutemani?” tanya Lorna.
“Boleh saja, tapi percuma, keperluanku tak lama, sebentar saja, juga tidak jauh.”
"Dewa, perlu uang?" tanya Lorna perlahan.
Dewa memandang Rahma dan Joy sesaat. Kedua temannya itu tersenyum.
"Bukankah kita sudah sepakat menggunakan uangmu dulu?" Dewa balik bertanya.
"Jadi?"
"Aku bukan mau ke ATM. Percayalah. Tak lebih dari lima menit."
Lorna tersenyum mencoba mempercayainya. Tak ada alasan baginya untuk mencederai hubungan keduanya di saat mulai pulih.
"Hanya sebentar!"
Dewa lalu bergegas diikuti pandangan ketiganya. Ternyata Dewa menuju resepsionis. Berbincang dengan salah seorang petugas di sana. Kemudian nampak menelpon dari tempat itu. Ada yang sedang dihubungi. Tak lama kemudian kembali lagi ke tempatnya duduk di samping Lorna.
“Nggak lama, kan?” katanya kemudian.
Tak ada alasan bagi Lorna untuk tidak mempercayainya setelah itu. Dan itu membuatnya semakin segan kepadanya. Hanya ada kegusaran terhadap pertanyaan yang terbit dalam benaknya. Kenapa Dewa meminjam telepon dari resepsionis hotel? Setidaknya bila bermaksud menelpon kan bisa meminjam miliknya, milik Joy atau milik Rahma. Namun keinginan bertanya tentang hal itu diurungkan. Masih banyak yang tak dipahami kini dari Dewa sebagai akibat perpisahan yang lama. Sekalipun Lorna sudah memahami sikap Dewa yang tak ingin merepotkan, yang tidak ingin bergantung. Membentuknya menjadi seperti sekarang.
Dewa kembali meminum cappuccino-nya. Belum sampai meletakan cangkirnya ke atas meja. Datang dua orang lelaki menghampirinya, satu masih muda, seorang lagi cukup umur.
Nuwun nggih, Mas,” kata lelaki yang cukup umur dalam bahasa Jawa. Membungkuk, menghormat sekali pada Dewa seraya meyalaminya.
Barangkali inikah yang dimaksud keperluan Dewa menelpon tadi, memanggil kedua orang ini untuk menemuinya di tempat ini.
Dalem nyuwun tulung. Mangke dalu sak baripun perhelatan meniko. Gambar-gambar dipun bungkus melih. Kulo sukani catetan gambar ingkang bade dipun pisah lan bade dipun kirim teng Bali.”
Dewa lalu menyerahkan catatan dalam secarik kertas.
Nyuwun tulung, nggih. Pak, Man. Cobi dipun atur sedoyo. Arto damel urusan meniko menapa tasih cekap?” tanya Dewa masih dalam bahasa Jawa.
Tasih, tasih cekap. Menawi mekaten kulo enggal pamit rumiyen.”
Sekedap, pak Man. Tepangaken meniko poro konco.”
Dewa lalu memperkenalkan Lorna, Rahma dan Irvan kepada orang-orang yang membantu Dewa. Setelah itu kedua orang itu Dewa pergi.
“Sori, terganggu ya?” kata Dewa kemudian.
“Ah, nggak!” jawab Rahma dan Irvan hampir bersamaan.
“Kita yang mengganggumu,” kata Lorna.
Dewa cepat meletakkan ujung jari telunjuk ke bibir.
“Aku senang kalian menemuiku,” kata Dewa kemudian seraya memandang wajah Lorna.
Lorna menempatkan wajahnya agar bisa dipandang leluasa Dewa. Dia tahu Dewa masih belum puas memandang wajahnya. Sudah lama sekali Dewa tidak memandang wajahnya lagi. Lorna suka cara Dewa memandangi wajahnya. Pandangannya memancarkan kehangatan. Memberinya kedamaian. Mampu meredakan keletihan hatinya setelah bertahun-tahun terbebani rasa bersalah.
Dewa tak juga teman dan sahabat. Dewa juga selama ini telah dianggapnya sebagai seorang kakak yang selalu memberinya perlindungan, dan sebaliknya. Memang ada alasan keduanya saling menganggap seperti itu karena latar belakang keduanya sebagai anak tunggal. Namun sesuai perkembang waktu, bibit cinta mereka tersemai dan tumbuh seiring jalinan hubungan yang terbina selama ini.
Senyum tak pernah berakhir dari bibir Lorna. Saling memandangi dan seperti tidak ingin menyudahinya. Dewa rindu sapaan Lorna. Maka Dewa pun menggoda dengan sapaan itu.
“Hai!” Dewa menyapa lembut.
Sebuah sapaan khas Lorna, tapi kali ini dia yang menyapanya untuk menunjukkan bahwa sapaan itu selalu terngiang pada membran timpani telinganya.
“Hai, Dewa!” Lorna membalas sapaan itu.
Masih saling berbalas pandang dan senyum. Mata saling menghujam memaknai perjumpaan setelah lama tak pernah terjadi lagi. Pada akhirnya Dewa lalu menghabiskan minumannya. Diam sejenak dengan serius, seakan sedang berdialog dengan cangkir kosong di hadapannya.
Lorna memperhatikan masih dengan wajah ceria diselimuti kebahagiaan. Menunggu dan bertanya dalam hati. Apa yang sedang dipikirkan Dewa?
Akhirnya Dewa berbicara ke Irvan dan Rahma bergantian.
“Kita pergi cari tempat santai. Kalian tak keberatan?”
Rahma memandang Irvan, seolah ingin tahu jawaban Irvan. Tapi Irvan mengangkat bahu yang mengisyaratkan tak keberatan.
“Aturlah, De!” jawab Rahma tegas.
“Kaulah bosnya.” tambah Irvan.
Lorna tersenyum-senyum. Inikah yang dimaksudkan arti tatapan Dewa? Ingin mencari tempat di mana mereka berdua bisa melampiaskan kerinduan yang telah berlangsung bertahun-tahun. Inikah yang diinginkan Dewa agar mereka berdua bisa berbincang tanpa ada yang mengganggu? Ah, Irvan maupun Rahma tak akan mengganggu. Barangkali Dewa hanya butuh privasi lebih.
Beberapa saat kemudian kendaraan mereka sudah melaju di jalan raya.
Dewa dan Lorna masih belum banyak berbicara. Masih dalam suasana terpana akan perjumpaan itu. Seakan masih belum percaya, bahwa mereka bisa bertemu pada hari ini. Bukan lagi mimpi dan bayangan yang selama ini hanya berupa angan-angan dan andai-andai. Bukan lagi bayangan yang kerap dihadirkannya jika hatinya diliputi kegelisahan akibat rindu. Atau bayangan yang ingin dimusnahkan dalam memori ingatannya bila itu kemudian menciptakan sakit hati yang berkepanjangan. Perjumpaan yang belum lama berlangsung ternyata tak seperti yang dipikirkan sebelumnya, yang diliputi kecemasan bila hasilnya tidak seperti yang baru saja terjadi..
Mereka menggunakan mobil Irvan. Kendaran Lorna ditinggalkan di kantor Irvan agar Pak Karyo supirnya bisa beristirahat.
“Ke mana kita?” tanya Rahma.
“Serahkan yang punya Surabaya.” jawab Dewa memandang Lorna.
“Beres!” sahut Irvan di belakang setir.
Lorna mengangguk-angguk tersenyum seraya melemparkan pandangan ke luar jendela mobil, tak tahan tatapan Dewa saat itu.
“Kenapa?” Dewa bertanya.
Lorna hanya menggeleng, tetapi tersenyum.
Dewa duduk di belakang bersama Lorna. Awalnya duduk berjauhan seperti menjaga jarak. Perpisahan yang lama membuat Lorna masih diliputi keraguan dalam bersikap. Namun Dewa berusaha membuat situasinya mencair.
Lorna menangkap tatapan Dewa seakan mengajaknya agar duduk mendekat. Lorna lantas beringsut merapatkan duduknya, di mana Dewa segera menangkap tangan Lorna dan dibawa ke atas pangkuannya. Lantas jemari keduanya beradu. Saling mengait erat. Menyalurkan kehangatan. Mengalirkan kerinduan.
Lorna menikmati jemari tangannya diremas lembut Dewa. Inginnya menatap mata Dewa, namun masih enggan. Seakan tak ada keberanian tak seperti sebelumnya yang berani memberikan wajahnya agar bisa dipandangi Dewa dengan leluasa sesukanya. Tapi entahlah, kenapa kini terasa berat menengadah, terasa sesuatu yang tiba-tiba menyesakkan dalam dadanya.
Dewa membantu menengadahkan wajahnya yang masih tertunduk, sehingga membuat wajah mereka beradu kembali. Menembus dalam ke balik pikiran masing-masing. Mencari apa yang tersembunyi di relung hati mereka.
Sudah berapa lamakah perpisahan itu? Kenapa sampai terjadi perpisahan? Akankah terjadi lagi? Tak sepatah kata pun terucap. Hanya tatapan yang berusaha memahami. Dan berdialog dalam kebisuan.
Rahma mencuri pandang dari kaca spion. Lalu mengerlingkan mata pada Irvan. Seakan mau bilang.
“Biarkanlah kedua merpati itu berlabuh setelah terbang melintasi perjalanan panjang yang melelahkan. Biarkanlah jemari mereka saling meremas agar tak terlepas lagi. Biarkanlah tatapan mereka saling menghujam untuk saling mengenali kembali. Biarkanlah mereka melepas belenggu kerinduannya. Biarkanlah! Biarkanlah!”
Dewa merengkuhnya saat Lorna tanpa keraguan lagi merebahkan wajahnya ke dadanya. Tangannya yang lenyai segera melingkari pinggang Dewa. Kemudian Dewa merasakan kaos dadanya terasa basah yang menembus sampai ke kulit. Itu kebasahan akibat airmata Lorna yang menembus kain hingga menyentuh kulitnya.
Dewa benamkan hidungnya ke dalam ke lebatan rambut Lorna yang coklat. Menghirup aromanya. Dan merasakan isaknya yang berusaha ditahan.
“Aku telah menemukan kembali apa yang selama ini telah hilang,” bisik Dewa lembut.
Lorna mengangguk lemah. Ucapan itu kian meremas relung hatinya yang berusaha ditembus Dewa. Kini Dewa telah berhasil menembusnya. Memahami bahwa kepergiannya adalah perasaan kehilangan itu.
“Selama ini aku meyakini. Apa yang kurasa telah hilang, bila takdir menentukan, bila sesuatu yang hilang itu akan menjadi milikku, maka ia akan kembali padaku dan tetap menjadi milikku.”
Isak Lorna kian mengguncang.
Benar kata Joy. Bicaranya Dewa penuh filosofi, yang membuatnya semakin yakin bahwa dirinya akan menjadi milik Dewa. Tapi masih ada pertanyaan yang masih belum dimengerti. Lantas apakah Nirmala bukan takdirnya?
“Bukan berarti aku tak berusaha menemukan kembali. Hidupku kucurahkan untuk menemukannya kembali.”
Rahma dan Irvan saling memandang saat mendengar Lorna terisak kian kencang. Ucapan Dewa membuat isak Lorna menjadi tumpah.
“Maafkanlah aku, De. Lorna merasa bersalah....”
“Bukan salahmu...”
“Itu takdir kita.”
“Lorna ingin takdir berpihak pada kita.”
“Kita tak bisa melawannya. Hanya bisa berharap.”
Dewa menyeka airmata Lorna dengan saputangannya. Ingat saputangan, teringat ucapan Grace. Karenanya dia biarkan Dewa yang menyeka wajahnya hingga airmatanya tersapu kering, yang tetap mengalir seperti sulit dibendung.
Lorna suka apa yang dilakukan Dewa, tapi tak akan suka bila saputangan akan menjadi sebab perpisahan seperti menuruti ramalan yang disampaikan Grace. Menakutkan.
Dewa merasa heran saat saputangan di tangannya diambil Lorna, kemudian dimasukkan kembali ke saku celananya.
“Lorna lebih suka bila tangan Dewa yang menyekanya,” kata Lorna beralasan. Padahal dia takut akan kutukan saputangan seperti yang pernah dibilang Grace tempo hari.
“Oh!”
Maka Dewa menuruti keinginan Lorna. Gadis itu kembali menunjukkan kemanjaannya. Lalu dengan jarinya Dewa menyeka mata Lorna yang basah. Menyekanya berulang kali, sebab bola matanya masih berlinang. Pipi itu halus, lunak dan lembut.
Dada Dewa terasa bidang dan kekar saat Lorna memeluknya. Lorna merasakkan ada perubahan dalam tubuh itu. Meyakini tubuh itu terjaga dengan selalu berolahraga. Kumis halus mulai tumbuh di atas bibir Dewa, seperti halnya pertumbuhan buah dada yang dimilikinya. Keduanya kini telah dewasa.
Dewa membelai wajah Lorna, menyibakkan rambut coklatnya yang lebat ke belakang, menampilkan kehalusan kulit wajahnya, memperlihatkan mata birunya yang menonjol, yang bersinar bagai lautan biru yang berkilauan ditimpa sinar mentari.