24. Sepasang Merpati Kembali Bertemu.

Sebuah mercy hitam berhenti di depan lobi. Menurunkan pria lanjut usia berambut putih, tapi tubuh masih bergas, mengenakan celana pendek warna krim. Bajunya kaos hitam, bersepatu wachtout dengan kaos kaki hitam, perutnya sedikit buncit, diiringi pengawalnya. Pria tersebut pastilah seorang juragan, sesaat menunggu seseorang keluar dari dalam kendaraannya.
Irvan melihat lelaki yang menyusul keluar dari dalam kendaraannya ternyata Dewa.|
“Itu Dewa!”
Irvan menunjukannya pada Lorna dan Rahma.
Kedua gadis itu mengikuti pandangan Irvan, melihat seorang pria usia setengah abad menepuk bahu seseorang yang ternyata memang Dewa. Keduanya melewati gerbang lobi Hotel, menuju ruang pameran yang bertempat di sebelah kanan pintu masuk, keduanya berjalan bersama sambil terlibat pembicaraan serius.
Dewa tidak menyadari, bahwa ada seseorang yang juga sedang menunggunya di tempat itu, Lorna, gadis yang berdiri memperhatikannya dan yang akan dilintasinya, yang turut mendengar lamat-lamat pembicaraan mereka.
“Om Robi yang putuskan!” kata Dewa.
“Tapi saya minta tolong, Dik Dewa yang mengatur penempatannya. Seperti yang sudah kita cek. Beberapa cocok ditempatkan di resort. Ada dinding yang pas untuk lukisan seperti...” katanya menunda kalimatnya, sembari bergegas ke salah satu lukisan, menunjuk sebuah lukisan, lalu menyelesaikan kalimatnya,
“...ini menurutku pas!” katanya seraya memegang bingkai lukisan yang berukuran dua kali luas papan triplek. Lukisan itu besar.
Lorna mendengar jelas apa yang mereka bicarakan, sebab mereka kini berdiri di dekatnya.
Jantung Lorna berdegup kencang. Terkesima melihat Dewa yang kini berada tak jauh di hadapannya. Tak pernah terbayang juga bagi Dewa, bahwa Lorna berada di tempat itu pada saat bersamaan.
Dewa mengangguk-angguk kepada pria bernama Robi.
“Bagaimana menurutmu, Dik?”
“Bisa, Om!” jawab Dewa pendek.
“Tapi dik Dewa perlu ke resort di Bali sekali lagi. Melihat kesesuaiannya yang lain.” lanjutnya.
“Baik, kalau itu maunya Om Robi.”
Sambil melangkah keduanya berdiskusi dari satu lukisan ke lukisan yang terpajang, langkah Dewa semakin dekat dengan keberadaan Lorna berdiri.
Lorna berdiri di depan salah satu lukisan dengan kedua tangannya mengkait di belakang, memegang sebuah katalog pameran lukisan Dewa. Saat itu, perasaannya benar-benar berkecamuk, menciptakan irama jantungnya berdetak bertalu-talu. Lorna berharap jangan lagi pingsan seperti kejadian di pintu gerbang sekolah. Lorna berusaha mengatasi perasaannya.
Hari ini dia benar-benar telah melihat Dewa, lelaki yang selama ini memasuki hatinya, lelaki yang membuatnya jauh-jauh untuk berdiri di tempat ini, lelaki yang selama ini menenggelakamnya kelautan kerinduan, lelaki yang mampu membunuh harapannya, lelaki yang selama ini kerap menguras airmatanya, lelaki ini yang menyiksanya bertahun-tahun dengan kesepian.
Irvan dan Rahma berdiri memperhatikan dari kejauhan, untuk memberi keleluasaan pada Lorna menghadapi Dewa sendiri.
Rahma mengabadikan perjumpaan yang bakal terjadi itu dengan kamera dari kejauhan.
Manakala langkah Dewa sampai di tempat di mana Lorna tengah berdiri. Tanpa sengaja pandangannya bersirobok dengan tatapan Lorna. Dewa langsung terhenyak. Lorna menangkap tatapan Dewa. Dewa menangkap tatapan Lorna. Tatapan keduanya beradu seperti medan magnit. Saling tarik menarik yang demikian kuat. Lama keduanya saling terkesima. Lorna tersenyum berusaha menyapa lembut, tetapi suaranya tercekat di tengah tenggorokkannya. Tercekat seperti saat Dewa yang bermaksud menegurnya di pintu gerbang di awal reuni. Dewa pun terpana, bibirnya seperti terkunci. Sehingga keduanya saling menatap dalam kebisuan.
“Hai...” akhirnya sapaan Lorna keluar dengan suaranya yang lunak. Lunak sekali terasa di pendengaran Dewa.
Dewa tak langsung membalas. Dia masih terpana. Tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Setelah yakin yang berdiri dihadapannya benar-benar Lorna. Lalu membuatnya menjadi salah tingkah. Tidak tahu bagaimana memutuskan siapa yang akan dilayani; Om Robi ataukah Lorna. Om Robi yang memperhatikan kedua anak muda itu, mengambil sikap seakan tidak memperhatikan.
“Hai!” Lorna mengulangi sapaannya. Ingin meyakinkan pada Dewa bahwa dirinya yang berdiri di depannya, seorang gadis bernama Lorna.
“Hai!” akhirnya Dewa mampu membalas sapaan itu.
Lorna menyadari. Dewa masih harus menghadapi tamunya, kemudian berkata.
“Aku tunggu di sini, ya! Urus tamumu dulu!” ucapnya perlahan. Suaranya masih terdengar lunak.
Suara gadis itu bergetar halus ke membran telinganya, demikian menenteramkan, membuat perasaan Dewa seperti tersiram air es, terasa adem sekali.
Dewa mengangguk, tapi mulutnya terkunci, sikapnya jadi terasa kaku. Sejenak berpaling ke arah Pak Robi yang menunggunya.
“Maaf, Om!”
“Oh, tidak apa-apa. Kalau dik Dewa masih ingin melanjutkan. Silahkan! Saya bisa melihat-lihat sendiri. Atau begini. Nanti saya akan pelajari lagi dari katalog, memastikan kecocokan format lukisan dan penempatannya, tapi katalog tertinggal di Bali tadi!”
Lorna yang tanpa sengaja terjebak pembicaraan di antara mereka, langsung mengulurkan sebuah katalog yang dipegangnya sejak tadi, kepada tamu Dewa. Lelaki itu tersenyum, menerima uluran katalog dari tangan Lorna.
“Terima kasih, dik. Oke, ini sudah cukup! Baiklah dik Dewa. Saya tunggu di Bali besok. Kontak saya. Biar kusiapkan semuanya. Oke? Hari ini transfer bisa Dik Dewa terima,” kata Om Robi yang langsung bergegas meninggalkan keduanya.
Keduanya kembali berdiri berhadapan. Saling berdiam. Saling membisu. Tidak tahu bagaimana memulai pembicaraan. Apakah mulai dari saling memandang seperti itu? Mencermati wajah yang telah lama tidak pernah terlihat kembali? Saling memandang seperti itu, mengalirkan getaran perasaan masing-masing yang tiba-tiba berkecamuk.
Keduanya menahan gelora perasaan yang sulit dijelaskan. Saling mengalihkan pandangan. Karena tak kuasa mengatasi kecamuk isi hati masing-masing. Saling menunduk menatap lantai. Lalu kembali saling memandang. Berusaha menangkap makna dari perjumpaan ini. Apakah akan menyelesaikan persoalan mereka berdua selama ini, ataukah tidak?
Kembali saling menatap lama. Berusaha mencari jawaban dari pandangan itu. Dalam diam. Dalam kebisuan. Saling melontarkan senyum, seakan memberi makna ada harapan bahwa keduanya seperti tak pernah memiliki persoalan yang mengganggu. Hanya akibat perpisahan yang terlalu lama, membuat perjumpaan mendadak itu terasa kaku.
“Hai!” Lorna menyapa kembali.
Sapaan itu berusaha mencairkan suasana.
“Hai!” Dewa pun lantas membalas sapaan itu.
Keduanya kembali bertatapan, lurus tak berkedip. Hanya bola mata saja yang bergerak.
Bola mata Lorna berkilatan. Perlahan terbit air mata menggenang di bawah pelupuk matanya. Bola mata itu masih jernih seperti dulu. Mata yang biru itu seperti birunya lautan yang luas. Wajah itu masih cantik seperti dulu. Bibirnya pun masih indah seperti dulu. Pipinya juga masih halus seperti dulu. Wajah itu seperti tidak pernah berubah.
Dewa masih terpana. Bingung mengawali dari mana untuk bahan berbicara. Bahkan dia tak mampu berbuat sesuatu saat melihat air yang menggenang di sudut mata Lorna jatuh bergulir melewati tepi hidung, meninggalkan bekas basah di pipi, melintasi sudut bibir, lalu turun ke bawah dagunya yang oval, akhirnya menitik jatuh ke atas lantai. Tetapi sudut bibir itu menyunggingkan senyum, senyum yang disukainya.
“Apa kabar?” tiba-tiba Lorna menyapa lembut. Seraya meremas jemari yang masih berada di belakang tubuhnya, menyembunyikan kegelisahannya, dan mencoba memberanikan diri membalas tatapan Dewa yang menusuk dalam. Ya, tatapnya dalam sekali, bikin jantungnya berdebaran.
“Baik! Bagaimana denganmu?” Dewa balas bertanya.
Lorna hanya mengangguk lemah.
Airmata yang menyusul terbit dan menggenang di bawah pelupuk matanya kembali berguliran melintasi tepian hidung dan sudut bibirnya sebelum jatuh ke atas lantai.
“Lorna baik-baik!”
Sesaat kebisuan melanda kembali. Keduanya kembali saling menunduk menatap lantai. Dewa memasukan kedua tangannya ke saku celana, menyembunyikan kegelisahan. Di atas lantai, dilihatnya ada bercak-bercak basah, itu bercak yang ditimbulkan air mata Lorna yang jatuh dari sudut matanya.
“Kurasa kamu tidak baik-baik. Maafkanlah aku,” Dewa memaksakan bicara.
Tak tega menatap wajah gadis di depannya, lantas tatapnya dilarikan ke atas lantai.
“Maaf untuk apa, Dewa?” Lorna menggeleng lemah dengan tatapan juga masih ke atas lantai, seperti yang dilakukan Dewa.
Sambil saling menunduk dalam, seakan tidak ada keberanian untuk saling menatap. Setelah lama baru timbul keberanian untuk saling menengadah.
Lorna melihat raut wajah Dewa masih seperti dulu, rambutnya saja lebih panjang, diikat ke belakang, di atas bibir mulai tumbuh kumis tipis. Di bawah dagu ada bekas luka baru, pasti luka itu yang diceritakan Rahma tempo hari, yang berhubungan dengan peristiwa di pintu gerbang sekolah.
“Aku yang membuatmu masuk rumah sakit kemarin.” kata Dewa lagi.
“Hei! bukan salahmu, Dewa!” Lorna menggeleng lemah.
“Aku berusaha menemuimu.”
Lorna mengangguk. Ucapan itu menikam hatinya.
“Aku tahu!” timpalnya. Itu yang membuat luka di dagumu. Lanjutnya dalam hati.
Dewa diam sesaat, menunggu Lorna bicara lagi, tapi Lorna tak juga bicara. Lorna kembali menunduk, memandangi bercak-bercak basah di atas lantai, masih tak sanggup membalas tatapan Dewa. Banyak hal yang ingin dia ungkapkan pada saat itu, namun tak sanggup mengatakannya. Apakah ini yang dinamakan perasaan gundah itu? Tanyanya dalam hati. Ah, Entahlah!
“Kamu masih mengenaliku,” kata Dewa pendek.
Lorna mengangguk perlahan. Ucapan itu menusuk perasaannya. Akibat tak kuasa memikul beban keharuan, lantas dipejamkan matanya. Air mata kembali tumpah. Bibirnya yang gemetar, sulit membalas ucapan itu. Padahal ingin menjawab: Wajahmu tiap hari membayangi hidupku, Dewa. Bagaimana bisa aku tak mengenalimu!
Dewa tahu bagaimana perasaan Lorna saat ini. Matanya terpejam dan bibir terkatub gemetar. Semula ragu untuk memegang telapak tangan Lorna. Namun lega ketika melakukannya, jemari Lorna membalasnya.
Tiba-tiba ada keberanian bagi Lorna menengadahkan wajahnya. Pelupuknya yang terkatup segera dibuka, membalas tatapan Dewa. Jemari tangan keduanya lalu saling meremas lembut. Saling memandang tanpa bicara. Saling. Saling. Ah.
Akhirnya Lorna tak tahan untuk menjatuh dirinya ke dada Dewa yang bidang. Apalagi di saat yang bersamaan, Dewa pun menarik tubuhnya untuk dipeluk.
Dada Lorna lantas berguncang hebat. Isak tangisnya pun pecah, wajahnya kian dibenamkan ke bawah leher Dewa. Dewa mendekapnya erat, memeluknya penuh kehangatan.
“Maafkanlah aku, De! Maafkanlah Lorna!” ucapnya lirih di sela-sela isaknya.
Dewa tak bergeming, larut dalam keharuan dan kebahagiaan yang kini terangkum menjadi satu. Merengkuhnya dalam dekapannya. Memeluknya sebagai cermin ungkapan perasaannya. Didekapnya kedua pipi Lorna, dan menempatkan wajah berhadapan. Ujung hidungnya ditempelkan di ujung hidung Lorna, memandang bola mata Lorna yang digenangi airmata.
“Seharusnya aku yang mencarimu, Lorna! Bukan kamu yang mencariku!” kata Dewa perlahan.
“Aku tahu De! Aku tahu! Kamu pasti mencariku!”
“Ya! Ya! Aku berusaha mencarimu. Selama ini aku kehilangan kamu, Lorna.”
Kemudian Dewa mendekapnya lagi, memeluk tubuhnya erat-erat. Seakan tak ingin melepaskannya lagi.
Banyak pasangan mata memperhatikan peristiwa itu. Tetapi Dewa dan Lorna tidak mempedulikan. Sekalipun dihadapkan pada seribu laras bedil, tetap tak akan mampu membuat keduanya peduli. Sebab ini adalah saat pertama kali keduanya melakukan pelukan kembali. Entahlah kenapa baru kali ini keduanya berani melakukannya. Barangkali ini pelampiasan dari perasaan keduanya yang tersembunyi selama ini.
“Aku melihatmu melintas di hadapanku saat di pintu gerbang sekolah kemarin!”
“Maafkanlah Lorna, Dewa! Lorna tidak tahu!”
“Kamu telah menyapaku saat itu!”
“Oh, Dewa!”
“Tapi saat itu mulutku terkunci!”
“Oh, Dewa!”
“Kemudian aku ragu. Kupikir kamu tak mengenaliku lagi.”
“Oh, Dewa! Maafkanlah aku. Lorna sungguh tidak tahu. Kamu pakai helem berkaca gelap. Lorna sungguh tak tahu. Maafkanlah Lorna, De. Maafkanlah, ya?”
“Ya, sudah. Semua salah paham saja. Kamu semakin cantik!”
“Oh, Dewa!”
Lorna kian terisak. Kain kaos yang dikenakan Dewa bagian atas, basah dibercaki airmatanya.
“Peluklah aku, Dewa!”
“Aku memelukmu, Lorna!”
Dewa kembali memeluknya.
“Jangan pernah lagi kita berpisah, Dewa!”
“Aku tak pernah meninggalkanmu, Lorna!”
Lorna kian terisak, merasa bersalah, sebab selama ini dirinyalah yang pergi meninggalkannya.
“Aku yang meninggalkanmu, Dewa! Lorna yang meninggalkanmu. Maafkanlah Lorna, Dewa. Maafkanlah!”
“Sudahlah! Yang penting kita sudah bertemu kembali!”
“Bila tak bertemu denganmu. Aku selalu merasa bersalah.”
“Sudahlah!”
“Seharusnya tak perlu terjadi seperti ini, Dewa.”
“Sudahlah!”
“Aku takut kamu tak mau menemuiku lagi, Dewa!”
Dewa menggelengkan kepala.
“Aku tak seperti itu, Lorna. Kamu bisa bertemu denganku kapan saja. Selama ini aku berusaha mencarimu. Ingin bicara denganmu. Tapi akhirnya aku harus menunggu. Menunggumu bertahun-tahun.”
“Tapi aku takut, Dewa!”
“Apa yang kau takutkan?”
“Kamu tak memaafkan aku.”
Dewa mendekapnya erat. Dan berbisik lembut ke telinganya.
“Kupikir kamu membenciku.”
“Oh, Dewa. Lorna tak pernah begitu.”
“Aku memahami bila kamu pergi...”
Lorna menutup bibir Dewa dengan jari. Tak ingin kalimat itu dilanjutkan. Karena kelanjutannya pasti akan berkait pernikahannya dengan gadis bernama Nirmala.
Dewa mendekapnya hingga isak tangis Lorna reda. Membelai rambutnya. Membelai wajahnya. Membelainya penuh kelembutan. Andai kata saat itu tidak bersama Rahma dan Irvan, tentu Lorna akan membiarkan wajahnya terbenam terus di bawah leher Dewa, dibelai Dewa seperti itu, betapa menyenangkan.
Setelah lama berpelukan untuk melepaskan kerinduan akibat perpisahan yang lama. Lorna memberitahu bahwa dirinya tidak datang sendiri.
“Aku bersama Rahma dan Irvan.”
Dewa menyeka pipi Lorna yang basah dengan jemarinya. Matanya menatap bola mata yang biru dan jernih itu. Lalu bertanya.
“Di mana mereka?”
“Di sana!”
Dewa berpaling ke arah yang ditunjuk Lorna. Lalu melihat Irvan dan Rahma yang melambaikan tangan kepadanya.
“Kita temui mereka,” ajak Dewa.
Lorna mengangguk.
"Rahma semakin ramping."
Lorna tersenyum seraya melepaskan diri dari pelukan Dewa.
Rahma bernafas lega menyaksikan, Lorna dan Dewa bertemu kembali. Nampaknya sudah kembali akur, semakin menunjukkan hubungan keduanya lebih dari itu, yakni keduanya berpelukan, bertangisan. Hal yang tak pernah dilihatnya selama ini.
Irvan yang merasa keheranan. Ternyata tak seperti apa yang diperkirakannya tentang hubungan Dewa dengan Lorna. Apa yang disaksikan memberinya jawaban kalau hubungan keduanya seperti itu.
Irvan menatap Rahma dan kata.
“Jadi selama ini keduanya berpacaran?”
“Kurasa begitu,” kata Rahma.
“Kamu tidak tahu? Kamu kan dekat dengan mereka.”
“Lorna tak pernah bilang. Kita kan hanya bersahabat. Tapi akhir-akhir ini hubungan keduanya kian terkuak. Buntutnya ya sekarang ini,” Rahma menambahkan.
Rahma dan Irvan menyongsong Dewa dan Lorna yang beranjak ke arahnya. Irvan tahu, Rahma sempat menangis menyaksikan perjumpaan Dewa dengan Lorna. Perasaan Rahma turut larut dalam keharuan, akibat tak kuasa melihat Lorna menangis dan menjatuhkan diri ke dalam pelukan Dewa. Keharuan yang dirasakan keharuan yang bukan kepalang.
Rahma sudah mengingsut bekas tangisnya hingga kering.
“Apa kabar, De?” sapa Rahma seraya menyalaminya.
“Baik, Rah!” Dewa membalas.
Irvan dan Dewa berpelukan sejenak.
“Aku semalam mencarimu. Tapi kamu baru saja pergi.”
“Lama menunggu?”
“Lumayan!”
“Sori. Aku nggak kembali. Untung kalian kemari sekarang. Ini hari terakhir pameranku.”
“Kenapa nggak kasih tahu kalau kamu ada acara di sini?”
“Waktuku sempit, banyak agenda.”
“Hebat! Waktu buat teman sudah tidak ada. Calling, kek!” kata Irvan seraya mengeluarkan ponsel dari saku celananya.
“Wow!”
“Lagakmu, De?”
“Pulsanya bikin mumet”
“Atau ngumpet?”
Lorna dan Rahma tertawa lepas.
“Kalian sudah makan?” Dewa menyela.
“Kamu?” Irvan balik tanya.
“Ayolah. Sudah belum?”
“Sudah, tadi nyobain rujak cingur”
“Oh, ya?”
Dewa memandang Lorna. Lorna mengangguk seraya tersenyum bahagia.
“Dia yang traktir di kantornya.”
“Kalian ke kantornya?”
Lorna dan Rahma mengangguk bersamaan.
Mereka lalu bergeser tempat. Menempati kursi di lobi ruang tamu. Lorna duduk di samping Dewa. Rahma dan Irvan berada di sofa di hadapannya. Dewa meminta mereka menunggu sebentar, bermaksud mencari mesin ATM.
Lorna mencegahnya.
“Kalau tak keberatan. Biar Lorna yang membayar,” pinta Lorna kepada Dewa.
Dewa mengurungkan niat, ingin melegakan perasaan Lorna.
“Terima kasih! Bisa ikut aku pesan minum?” tanyanya seraya memegang lengan Lorna.
Pegangan Dewa dirasakannya lunak sekali. Wajah Lorna ceria. Segera beranjak berdiri dan mengusulkan.
“Kita pindah ke bar saja bagaimana?”
“Begitu lebih baik...”
Mereka lalu pindah duduk ke dalam bar. Memesan minum. Dan Dewa menggeser kursi agar lebih dekat dengan Lorna.
Lorna bahagia saat Dewa mengingsut rambut yang lengket di wajahnya, menyeka keringat di wajahnya. Senyum tak juga berakhir dari bibirnya. Sesekali masih saling memandang. Lama. Seakan belum terpuaskan melihat wajah masing-masing.
“Sori, Van.” kata Dewa.
“Silahkan. Nggak apa. Puaskan kerinduan kalian.”
“Irvan!” kata Lorna memanggil namanya manja.
Irvan tersenyum seraya mempersilahkan dengan tangannya.
“Itu kekasihmu...”
"Ah, Irvan!"
Dewa lantas merentangkan tangan. Lorna tahu, Dewa ingin memeluknya. Lantas Lorna menjatuhkan tubuhnya ke pelukkan Dewa lagi. Tak peduli tatapan Rahma yang menyeka pelupuk matanya yang basah. Tak peduli pandangan Irvan yang tersenyum-senyum mengerti bahwa hubungan Lorna dan Dewa ternyata seperti itu, tak sekedar bersahabat.
Irvan dan Rahma merasa damai melihat keduanya. Bola mata Rahma kembali berkaca-kaca.
“Jangan pulang dulu.” bisik Dewa ke telinga Lorna.
Lorna mengangguk.
“Lorna akan pulang bila Dewa yang bilang,” jawab Lorna dengan suara perlahan yang manja.
“Bagaimana kesehatanmu?”
“Sudah baikkan.”
“Masih ada obat yang harus diminum?”
“Tinggal suplemen dan vitamin. Masih kontrol jalan.”
Dewa diam. Tapi hati Lorna yang bicara. Tanyakan lagi Dewa. Apa saja. Aku suka dengan perhatianmu, masih seperti dulu. Tak berubah. Bicaralah Dewa. Bicaralah. Aku akan dengarkan. Aku rindu suaramu. Rindu sekali.
Wajah keduanya saling berhadapan. Dekat sekali. Selebar telapak tangan. Banyak hal yang ingin ditanyakan Dewa. Perpisahan selama ini meninggalkan banyak pertanyaan yang belum terjawab. Tetapi, perjumpaan ini seperti merubah hubungan mereka selama ini. Perjumpaan ini menghilangkan rasa malu berhadapan apalagi berpelukkan. Perjumpaan ini menggambarkan hubungan mereka sesungguhnya demikian dekat tanpa sekat. Perjumpaan ini membuat Lorna merasakan kalau mereka berdua saling mencintai, walau tak pernah saling mengungkapkan dengan kata-kata.
Beberapa saat kemudian keduanya melepaskan pelukan.
“Sori...” kata Dewa.
“Ah, nggak apa, De!” sergah Rahma.
“Jangan pedulikan kita berdua,” tambah Irvan.
“Ah, ya peduli. Hanya kuabaikan kalian sebentar. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Lorna.”
“Kita semua tahu kok!” potong Irvan dan Rahma nyaris bersamaan yang membuat keduanya saling memandang lalu tertawa bersama.
Lorna tersipu.
“Ah, kalian!” kata Lorna.
“Iya, kita berdua ngerti kok,” Rahma menambahkan.
Irvan tertawa.
“Tak ada hujan tak ada badai. Kedatangan kalian bagaikan sambaran petir!” kata Dewa. Lalu melanjutkan, “Pasti ada yang kasih tahu...”
“Jangan marahi yang kasih tahu, De!” kata Rahma seraya memandang sekilas pada Lorna.
“Ah, enggak! Alasannya paling, apa bedanya kuberitahu, toh beritanya ada di koran.”
“Oh, ya?”
Mata Rahma membeliak.
“Ah! Nanti dibilang narsis!” Dewa lekas menambahkan.
Memang kalau baca koran hari ini, pada lembar kronik seni dan budaya, bisa dijumpai tulisan yang mengupas perihal Dewa dan pamerannya termuat di dalamnya.