23. Menggapai Kenyataan.

Surabaya Sebuah tempat dimana seorang jendral sekutu bernama Mallaby, terbunuh dalam pertempuran melawan arek-arek Suroboyo. Itu kisah di tahun empat puluh lima. Kisah heroik para bonek di masa perang kemerdekaan. Senjata mesin water mantel dilawan bambu runcing. Itu dulu dan lain kisah kini, di persepakbolaan nasional juga dibuat runyam ulah para bonek, yang berbekal seadanya, ggluruk ke pertandingan hingga ke tempat jauh, sekedar memberi dukungan kesebelasan kesayangannya.
Udara kota Surabaya terasa kering, bergaram yang berasal dari selat Madura. Meski tidak ditimpa langsung oleh terik mentari, tetap membuat Lorna dan Rahma kerap harus menyeka wajah dan lehernya dengan tisu pelembab. Keduanya tak berani menengadah, apalagi menatap langit, walau langit berwarna biru jernih, tetapi sinarnya menyilaukan.
Mereka membawa kendaraan sendiri ke Surabaya dengan sopir. Siang ini mereka sudah sampai di kantor Irvan, yang sudah berjanji menunggunya.
Irvan memiliki hubungan dekat dengan Dewa sebagaimana Beni. Di tempatnya bekerja, Irvan menduduki posisi sebagai general manager. Perusahaannya menangani proyek bantuan bank dunia. Kantornya bagus.
Seorang satpam menghampiri Rahma dan Lorna yang keluar dari dalam kendaraannya. Pria itu membungkuk menghormat.
“Selamat siang!”
“Selamat siang, pak!”
“Mau bertemu bapak Irvan?” tanyanya.
“Betul, pak!” jawab Rahma.
“Tadi pagi. Bapak Irvan sudah berpesan. Kalau ada tamu dari Malang. Saya disuruh langsung mengantar ke dalam. Bapak sudah menunggu. Mari kami antar.”
“Terima kasih, pak!”
Dalam hati, keduanya merasa geli, Irvan dipanggil bapak. Ah, mungkin belum terbiasa saja. Atau karena jabatannya dia harus dipanggil begitu. Padahal Irvan masih muda sepantaran mereka. Sebagaimana di kantornya sendiri, Lorna sebenarnya juga tidak mau dipanggil ibu.
Begitu pintu ruangan terbuka. Lorna dan Rahma memberi salam bareng.
“Selamat siang, Pak Irvan!”
Irvan melihat ke pintu, lalu tertawa ngakak saat melihat keduanya.
“Masuk! Masuk! Yak opo kabare, rek?”
“Apik, Van!” jawab Rahma.
“Kita duduk dulu. Kalian tentu lelah di perjalanan. Minum apa?”
“Terserah, Pak!” jawab Rahma menggoda.
Irvan tertawa.
“Eh, mana Grace? Kok nggak kelihatan?”
“Ada, urusan nggak bisa ikut.”
Tak lama kemudian minuman sudah diantarkan. Lantaran haus, tanpa menunggu ditawari. Lorna minum air jeruk yang baru disuguhkan. Udara sejuk dari ac dinding, menyesuaikan suhu tubuh Rahma dan Lorna.
“Sori, ya Van. Langsung kuminum.”
Irvan tertawa.
“Memang buat kamu minum.”
“Sudah lama kerja di sini?”
“Ini tahun kedua.”
“Sori, merepotkanmu?” kata Lorna.
“Ah, aku senang kamu kemari. Semalam kucoba pergi ke hotel tempatnya pameran. Tapi belum ketemu,” Irvan menjelaskan.
“Terus?” Rahma penasaran. Takut tak bisa bertemu Dewa.
“Ada informasi. Dia keluar bersama tamunya. Kucoba menunggu lama. Tapi, tak kembali. Kutanyakan, di mana bisa ketemu senimannya? Tak ada yang bisa beri informasi. Tapi jangan kawatir. Kita coba lagi setelah ini.”
Thank’s, Van?” kata Lorna.
Irvan senang dengan kehadiran Lorna dan Grace.
“Lama kita tak bertemu ya?” kata Irvan.
“Ya, sudah lama sekali, Van. Kamu masih sendiri atau sudah married?” tanya Lorna.
Irvan tertawa. Tawanya memberi arti bahwa dia masih bujang.
“Nggak jadi dengan Dini?”
Semasa sekolah dulu. Irvan selalu dikait dengan Dini.
“Masih berat, Na. Aku masih mau selesaikan S2-ku dulu.”
"Bagus itu!" kata Lorna.
“Ah, tapi jodoh kan bisa sambil jalan,” kata Rahma.
“Pondasi ekonomiku masih rapuh.”
“Begitu ya?” kata Lorna.
Irvan tersenyum.
“Bagaimana hubunganmu dengannya? Masih berjalan mulus?” tanya Irvan kepada Lorna.
“Kalau mulus tentu nggak kemari,” Rahma menyela.
“O, sori, sori, aku tak bermaksud...” Irvan meminta maaf kepada Lorna karena diingatkan. Dia tahu ada persoalan Dewa yang membuat hubungan keduanya terganggu.
Lorna tersenyum menghibur diri.
“Tak apa, Ir!”
“Sori, aku tidak bisa datang di reuni kita. Waktu kamu telepon semalam. Aku baru datang dari Lumajang. Biasa, mengurus proyek daerah. Malam itu juga, aku langsung meluncur ke tempat pameran, mencarinya. Sebenarnya, aku tak tahu kalau dia ada exhibition di sini.”
“Beni bilang, pamerannya sudah berlangsung seminggu,” Lorna menambahkan.
"Pasti Beni benar, tapi aku tak tahu, aku tahu saat kamu menelponku menanyakan hal itu."
"Kamu masih sering pulang ke Malang?" tanya Rahma.
Irvan mengangguk.
“Kalian lapar? Bagaimana kalau kita ngobrol sambil cari makan? Lalu ke tempat pamerannya?”
“Nggak usahlah Ir, kita nggak lapar,” Rahma menampik.
“Kalau begitu, biar kusuruh office boy membelikan. Kita makan di sini saja,” kata Irvan seraya menghubungi office boy melalui intercom, “Mas Parto minta tolong ke ruanganku sebentar?”
Sesaat kemudian, office boy yang dimaksud, mendatanginya.
“Minta tolong kita dibelikan makanan.”
“Baik, pak. Pesan apa?”
“Mau makan apa kita? Lorna? Grace?” tanya Irvan.
Rahma memandang Lorna sebentar untuk kompromi.
“Pokoknya pesan saja. Dimakan atau tidak, nggak persoalan,” Irvan menambahkan.
“Aku bingung mau makan apa?”
“Oke...oke..., bagaimana kalau aku usul rujak cingur. Di Australia kan sulit mencarinya.”
“Nggak ada malah, Van,” sela Lorna.
“Benarkan?”
“Setuju, Van!” jawab Rahma.
Irvan memberi uang secukupnya kepada Mas Parto, untuk membelikan enam bungkus. Lelaki itu tahu tempat dijual rujak cingur yang enak.
“Banyak benar, Van?” tanya Rahma.
“Empat bungkus untuk kita di sini, bila kalian mau tambah. Yang dua buat Mas Parto dan Satpam di depan."
Karena mereka tidak jadi makan di luar. Membuat Lorna dan Rahma bisa santai di dalam kantor Irvan.
“Kalian sudah ke rumah Dewa?” tanya Irvan.
“Belum!” jawab Rahma.
“Kudengar dia beli tanah lagi untuk mengembangkan industri batik meneruskan matapencaharian ibunya dulu.”
“Aku nggak tahu, Van!” jawab Rahma.
Lorna diam mendengar seksama.
“ Dia juga kembangkan padepokan kesenian, juga usaha industri kerajinan di tempat itu. Sawahnya juga luas, sebagian untuk budidaya dan perkebunan. Beni dan Joy diberi tempat di sana, untukt kegiatan mereka. Aku lama belum kesana. Rumahnya yang lama sudah mengalami perubahan. Pamerannya selalu sukses,” Irvan memberi penjelasan.
Dalam perjumpaan itu, Lorna lebih banyak mendengar ketimbang Rahma dan Irvan. Lorna senang mendengar cerita Irvan tentang Dewa. Satu persatu cerita tentang Dewa yang didengar dari teman yang lain, dirangkai untuk melengkapi keingintahuannya tentang Dewa kini.
Rahma dan Irvan saling bertukar cerita. Walau dulu Rahma dan Lorna tak pernah dekat dengan Irvan, tapi tak mengurangi keakraban pertemuan itu. Irvan menghormati Dewa.
“Dewa itu baik sekali,” kata Irvan menekankan.
Ucapan itu membuat jiwa Lorna seperti disiram air dingin. Segar.
“Kemiskinan tak membuatnya minder. Bicaranya selalu lekat dengan filosofi Jawa. Apa yang ada padanya sekarang sebagai wujud bahwa hidup selalu berubah. Kita tak bisa menduga perubahan yang bakal terjadi. Itu Dewa yang bilang. Bukan aku.”
Lorna dan Rahma mendengar seksama. Lorna tersenyum. Wajahnya ceria. Cerita Irvan tentang Dewa memberinya kebahagiaan.
“Dewa itu penolong. Saat lamaran kerjaku diterima, dan aku tak punya uang. Dia yang membantu keuanganku, untuk makan dan indekos, sampai aku terima gaji pertama.”
Mata Lorna berkaca-kaca. Cerita Irvan tentang Dewa menciptakan keharuan baginya.
Rahma mengulurkan sehelai tisu padanya.
“Aku memang tak mendalami hubunganmu dengannya, Na,” kata Irvan seraya memandang Lorna.
Lorna mengangguk lemah. Bibirnya berusaha tersenyum. Namun hatinya terasa seperti disayat sembilu, saat menyimak cerita Irvan tentang Dewa yang semakin jauh.
“Aku juga tak tahu. Apakah hubunganmu dengan Dewa dulu sebatas pacaran, atau sebatas bersahabat. Tapi setelah Dewa kawin, aku jadi memastikan hubungan kalian ternyata sebatas bersahabat. Tapi, aku tak mau mencampuri urusan Dewa dalam segala hal. Kecuali kalau dia yang melibatkan. Yang kutahu persis tentang Dewa adalah jiwa penolongnya. Solidaritasnya. Kesetiaannya. Kejujurannya. Kearifannya. Kesopanannya. Tapi, ada hal yang membuatku tak memahami hidup ini. Kenapa orang seperti Dewa yang diberi tragedi.”
Lorna menyeka pelupuk matanya yang basah. Terkesima.
“Apa maksudmu, Van?” tanya Rahma tak mengerti.
“Kalau soal itu. Aku juga tak mau mencampuri. Tanyakan sendiri padanya bila kalian bertemu.”
“Ah, Irvan. Kamu membuatku penasaran,” kata Rahma seraya melihat Lorna yang nampak gusar.
Irvan tersenyum.
“Kamu nampak sedih, Na?”
“Ah, nggak, Van.”
“Kalau aku merasa sedih...”
Lorna dan Rahma saling pandang. Bingung.
“Aku tadinya tak tahu Dewa kawin selulus sekolah. Eh, ternyata, Beni, Joy, Rinto, Dandra, semua teman kita, juga tak satupun tahu, apalagi diundang saat dia menikah. Pernikahannya dirahasiakan.”
Aku pun begitu, Van! Teriak Lorna dalam hati. Untuk itulah ketika kutahu dia kawin. Aku lantas pergi. Pergi jauh, Van! Untuk melupakan semua itu. Melupakan apa yang pernah terjadi antara diriku dengannya. Tapi ternyata tidak bisa, Van! Tidak bisa! Tidak semudah itu melupakan dan menjauhinya! Mungkin benar apa yang kamu bilang. Banyak hal yang masih belum kupahami tentang Dewa.
Cerita Irvan semakin membuat Lorna ingin lekas bertemu Dewa. Dia ingin penjelasan. Ingin menuntaskan. Ingin mengakhiri kemelut yang selama ini terjadi.
Irvan pun lantas mengantarkan Lorna dan Rahma untuk bertemu dengan Dewa.