Sketsa yang dibuat Dewa saat di Cangar telah disempurnakan sebelum dihadiahkan di hari ulang tahunnya. Kini sketsa yang sudah terbingkai, tergantung di sisi tempat tidurnya. Saat pertama kali datang, dan kembali menempati kamarnya, hal pertama yang dipandanginya adalah gambar lukisan itu. Kenangan yang terbayang dalam sketsa itu, membuatnya tersenyum sendiri. Sembari menelungkup di atas tempat tidur dengan memeluk guling, matanya tiada berkedip mengamati sketsa dirinya itu seperti yang selalu dilakukan dulu. Adanya lukisan itu seperti mewakili keberadaan Dewa di dalam kamarnya. Menjelang berangkat dan terbangun dari tidur, sketsa itu selalu mengingatkannya kepada Dewa.
Di luar pintu kamar. Maminya mengingatkan kembali untuk makan malam.
"Daddy, sudah menunggumu, Sweet heart!"
"Ya, sebentar, Mommy!"
Keluarga itu sudah berkumpul kembali dengan lengkap. Papinya segera datang begitu mendapat kabar Lorna masuk rumah sakit, yang langsung terbang dari Sidney ke Indonesia. Walau berkewarganegaraan Australia dan tetap membiarkan isterinya mempertahankan kewarganegaraannya Indonesia, Lorna mengikuti Maminya, seperti keinginan Maminya.
Keluarga Lorna sudah lama tidak pernah lagi bertemu Dewa, sebelum Lorna kuliah di Australia Dewa masih sering datang.
Maminya jadi ingin mengetahui kabar tentang Dewa, ketika melihat Lorna sedang memandangi lukisan yang dibuat Dewa di kamarnya. Lalu menanyakannya kembali saat berada di meja makan.
“Sudah berjumpa dengannya di acara reuni?”
Lorna menggeleng.
“Kenapa?” tanya Mami heran.
“Dia tidak datang.”
“Kemana dia?”
“Sedang pameran di Surabaya.”
“Oh? Sejak kapan?”
“Mana kutahu, Mom. Beni yang beritahu itu ke Lorna!”
“Dewa sama sekali tak datang di reunimu?”
“Mom? Lorna sama sekali tidak tahu.”
Maminya merasa anak gadisnya tak ingin didesak terus perihal Dewa. Lalu mengalihkan pembicaraan.
“Kapan bidadariku kembali Jakarta?”
“Mungkin lusa, Mom.”
“Jadwalmu di Australia bagaimana?” tanya Papinya.
“Lorna balik dulu ke Jakarta, Dad. Ada perusahaan joint venture Indonesia Australia minta dibuatkan proposal untuk iklan produk mereka. Burke minta Lorna ikut rapat dulu, sekalian menunggu materi dari hasil rapat, materi itu sekalian Lorna bawa ke perusahaan yang di Australia.”
“Lorna bisa memanggil Dewa kemari?” tanya Papinya.
Pertanyaan itu membuat Lorna tersedak. Mami cepat bangkit dari kursi, segera membantu memberikan segelas air putih, dan meniup ubun-ubunnya. Lorna meneguknya perlahan-lahan.
“I am sorry! Maafkan Daddy!” kata Papinya menatap isterinya.
“Pelan-pelan, sayang,” Maminya menghibur.
Setelah batuknya reda. Lama kemudian Papi melanjutkan pembicaraan.
“Sorry. Maksud Daddy. Ingin Dewa melukis foto grandpa.”
Lorna mengangguk perlahan.
“Bisa ditelepon?”
“Dewa tak punya telepon, Dad,” jawab Lorna datar.
“What? Bagaimana bisa?”
“Begitulah, Dad!”
“Bagaimana berkomunikasi untuk bisnisnya?”
“Beda persepsi, Dad. Studio bukanlah Galeri. Studio hanya tempat untuk proses kerja, yang memerlukan ketenangan, sebisanya dijauhkan dari gangguan antara lain gangguan telepon masuk. Kalau galeri, tempat semua hasil karya dipresentasikan, disosialisasikan, dan ditawarkan, untuk itu di galerilah diperlukan pesawat telepon, faksimili, modem, katalog dan lain sebagainya, Daddy.”
Papinya tertawa.
“Ya! Ya! Ya! Tapi secara personality bagaimana menghubunginya?”
Lorna mengangkat bahu.
“Daddy, juga sudah lama tidak melihatnya?”
Lorna tidak menjawab.
“Sampaikan pesan, Daddy.”
“Yup, Dad!”
Setelah acara makan selesai, Lorna kembali masuk ke dalam kamarnya, tetapi sebelum itu memberi pelukan pada Papi dan Maminya.
"I love you, Daddy!" kata Lorna seraya mencium pipi Papinya.
"I love you sweet heart!"
"I love you, Mommy!"
Maminya tersenyum, menerima rengkuhan pelukan anak gadisnya.
"Mami sayang padamu, Bidadariku."
"Lorna ke kamar dulu, ya? Mau telepon ke teman-teman!"
Lorna pun lantas menjatuhkan badannya ke atas tempat tidur dalam kamarnya. Berbaring terlentang, seraya mencoba menghubungi Rahma dengan ponsel.
“Hai, met malam!” sapanya.
“Met malam juga! Belum tidur?” balas Rahma.
“Jam berapa ini? Ngelindur kamu ya?”
Rahma tertawa.
“Masih sedih?”
Pertanyaan Rahma tentu dihubungkan apa yang dialaminya di Cangar, di tempat itu dirinya memang dilanda kesedihan yang hebat. Kesedihan yang disebabkan banyak kenangan yang tiba-tiba melanda dirinya. Ada kerinduan yang meledak-ledak. Ada keinginan yang tak kesampaian. Ada kekecewaan tak terperikan. Tidak berjumpa Dewa di tempat itu, menimbulkan kesedihan itu.
“Kamu mau nemenin aku nggak?”
“Kemana?”
“Surabaya!”
“Waduh! Mau nyusul, Ya?”
“Ya!”
“Kapan?”
“Besok!”
“Edan!”
“Mauku ngajak Beni pula. Tapi dia menolak. Katanya takut terjadi salah paham dengan Dewa lagi.”
“Yakin bisa ketemu dia?” tanya Rahma.
“Beni memberiku nomer telpon Irvan. Katanya Irvan kerja di Surabaya, lalu menyuruhku mengontak terlebih dulu. Lalu kucoba kontak Irvan, dia menyuruh kita langsung ke kantornya, meski hari Sabtu dia libur, tapi Irvan tetap akan menunggu kita. Bisa nggak?”
“Siap, Bos! Kita hubungi Grace dulu. Apakah ada waktu?”
“Kamu atau aku yang kontak?”
“Aku saja.”
Lorna tak sabar menunggu hari esok.