Kota Apel sesungguhnya kota Batu bukan Malang, sebab tanaman pohon apel pertama tumbuh dan berbuah dengan baik di kota ini sejak lama. Kota Batu satu-satunya kota di Indonesia di mana pohon apel bisa berbuah dengan baik. Konon buah ini dikembangkan oleh Jung Hun. Awalnya, dikembangkan di wilayah Jawa Barat. Ternyata tanaman ini lebih cocok dengan iklim di kota Batu. Keasaman tanahnya membuat pohon apel bisa berbuah, dan mempunyai citarasa khas.
Dulu hampir di semua lahan penduduk ditanam pohon ini. Tapi kini, seiring rusaknya lingkungan, dan banyak tanah yang beralih fungsi jadi pemukiman. Eksistensi tanaman ini mulai terancam, membuat berkurangnya lahan untuk menanam pohon ini.
Ada berbagai jenis buah apel yang dibudidayakan. Batu memiliki udara sejuk seperti Bogor, di Jawa Barat. Topografi dan lingkungan kota Batu, yang berada dalam sebuah cerukan lembah antara: gunung Arjuno, gunung Welirang, gunung Panderman, gunung Banyak, gunung Anjasmoro, dan bagian timur, adalah gunung Bromo dan gunung Semeru.
Udara dingin menyelinap ke dalam bis. Lorna merapatkan jaketnya. Grace dan Rahma duduk mengapitnya. Sederetan bangku mereka. Joy tengah merapat dengan Anita. Lorna sengaja ikut rombongan bus. Kendaraan dengan sopirnya mengikuti di belakang rombongan. Dia ingin menikmati kebersamaan bersama rombongan, seperti yang disarankan Joy dalam teleponnya.
Di kejauhan, lereng Arjuno juga seperti baru bangun tidur. Gunung Welirang masih menguap. Asap belirang tertiup angin ke arah timur. Di puncaknya, ditambang mineral belirang yang dipikul penambang menuruni gunung, menuju desa Pacet yang masuk wilayah Mojokerta, yang berada di balik gunung.
Langit jernih sekali. Lereng gunung terlihat biru. Jalanan sejak dari Malang merambat naik. Ingat Batu, ingat masa lalu. Apalagi Cangar, tempat itu begitu membekas. Tiga kali mengikuti kemping yang diselengarakan sekolah, tiga kali menggores kenangan di tempat itu.
Di tempat itulah, semasa masih di kelas satu. Pertama kali terjalin keakraban antara dirinya dengan Dewa. Semula mereka berteman biasa. Lorna tak peduli Dewa, Dewa pun tak peduli Lorna. Benarkah keduanya tak peduli? Tetapi, setelah Dewa menyelamatkannya dari sebuah lereng terjal, saat terperosok di depan sebuah gua peninggalan jaman Jepang, sejak itu hubungan menjadi berubah.
Kenangan indah yang melintas, membuatnya terlena yang membawanya terlelap tidur. Rahma dan Grace tak ingin mengusik tidurnya. Lorna baru terjaga, saat bahunya diguncang perlahan oleh Rahma. Sesaat Lorna tergagap, lalu melepaskan kacamatanya.
“Ada apa?”
“Sudah sampai!"
"Oh, sorry!"
"Yuk, kita turun!”
“Ya, ampun. Aku ketiduran,” ujarnya seraya bersiap turun.
Lorna menyibakan rambutnya ke belakang, lalu menyeka wajahnya dengan tisu basah, dan melongok keluar jendela bis, melihat rombongan temanny sedang bergerombol di depan pintu masuk.
“Tempat ini sudah berubah,” komentarnya.
“Banyak!” Rahma menambahkan.
“Aku suka yang alami, seperti dulu,” kata Grace pula.
“Sekarang banyak yang jualan. Banyak warung. Tak berhutan lebat seperti dulu,” kata Lorna yang melompat turun dari atas tangga pintu bis.
Dulu, suasananya masih alam liar. Belum ada bangunan warung berderet di pintu masuk. Belum ada yang berjualan seperti sekarang. Dulu, hanya ada penjual tape ketan hitam, yang dipikul. Penjualnya melayani mereka yang sedang mandi air panas belerang, yang mengalir dari pancuran yang terbuat dari batang bambu yang dibelah, menunggu saat mereka lapar. Dulu, kolam air panas masih berupa kubangan dengan dinding batu, dan belum dibuatkan kolam renang seperti saat ini, juga belum ada loket pintu masuk, semua masih gratis, semua masih alami.
Itu dulu Lorna! Saat-saat masih bersama Dewa membangun kemah di lapangan berumput sebelah utara, yang letaknya beberapa puluh meter dari sumber air panas. Di tempat itu, kini sudah berdiri bangunan. Dan di sekelilinginya adalah hutan cemara, yang kini menjadi hutan lindung bernama Taman Hutan Rakyat R. Soeryo, dilengkapi bangunan pendopo. Ada bangunan yang bisa dipakai menginap, ada petugas jaganya. Tak seperti dulu lagi, Lorna!
Lorna membetulkan syal yang menutupi lehernya. Angin lembah bertiup menerpa wajahnya. Di lereng kejauhan, nampak kabut menaung di atas pepohonan cemara.
Peserta reuni berkumpul membentuk lingkaran, di lapangan terbuka berumput. Tempat mereka pernah berkemah di masa dulu, saat bersama Dewa.
Di manakah Dewa? Sejak datang, sama sekali belum terlihat Dewa. Hanya melihat Beni. Ingin sekali menanyakan kepadanya akan keberadaan Dewa. Tapi Beni sedang menemani Ndari memandu acara.
Lorna kini menunggu dalam keresahan.
Rahma berbisik pada Grace.
“Kamu melihat Dewa?”
Grace menggeleng, melirik memperhatikan Lorna. Wajah gadis itu terlihat muram, tak seperti saat baru sampai. Barangkali sudah merasakan ketidakberadaan Dewa di tempat itu.
Anita bergabung bersama Rahma dan Grace.
Lorna duduk menahan gelisah, mencoba menghibur diri dengan berandai-andai. Barangkali Dewa sedang berada di hutan, seperti dulu. Barangkali Dewa juga sedang pergi ke tempat itu, mencoba mengenang kembali saat bersamanya. Dewa suka hutan. Dewap Pernah bilang; Untuk menjadi bijak sebaiknya belajar memahami alam. Tetapi bagi Lorna, untuk menjadi bijak sudah cukup memahami Dewa. Dewa terdidik dalam keluarga yang menjunjung nilai-nilai budaya, menjunjung kesantunan, baik dalam perilaku maupun berbicara, tak banyak bicara yang tidak perlu.
Beni ikut membantu membagikan konsumsi. Ada kesempatan untuk menanyakan perihal Dewa kepadanya. Lorna dengan harap cemas menunggu sampai tiba giliran Beni memberikan kotak konsumsi kepadanya.
Ketika sampai pada gilirannya. Beni berhenti. Wajahnya mencerminkan apa yang ingin disampaikan. Lorna merasakan gelagat tak baik. Beni menunggu Lorna bertanya dan menyapa. Tapi Lorna tak berucap sepatah katapun. Hanya pandangannya seakan bertanya. Kemanakah Dewa Ben?
Bagaimanapun juga, Beni harus menyampaikan.
“Sori, Na. Kamu tak akan menemukannya di sini. Dia ke Surabaya, mengurus pamerannya.”
Wajah Lorna langsung layu, kecewa sekali.
“Ada apa?” Anita bertanya berbisik kepada Rahma.
“Dewa nggak di sini.”
“Kenapa?”
“Dewa seniman. Kata Beni, dia kini ada di Surabaya. Keduanya sudah sudah lama tidak bertemu.”
“Oh!”
Anita berpaling memandang Lorna, mencoba tersenyum untuk meredakan kebisuan yang tiba-tiba melanda mereka. Tapi senyum yang diberikan tak mampu membuat wajah Lorna ceria.
“Ben?” tanya Rahma seraya menerima kotak konsumsi, memandang tajam Beni, seakan bertanya, tahukah di mana Dewa?
Beni menggeleng pelan.
“Pagi tadi, aku ke rumahnya. Sejak kemarin sudah pergi ke Surabaya,” kata Beni perlahan. Menghindari Lorna mendengar apa yang disampaikan kepada Rahma.
Rahma dan Grace menutup mulut. Mengangguk-angguk perlahan.
Jemari Lorna meremas dan mencabut rumput yang ada di depannya. Kesal. Kesal sekali.
Ronal menuju ke tengah lingkaran. Di sambut tepuk tangan. Lalu mengeluarkan secarik kertas, yang dipegang di tangan kiri. Kertas itu diangkat sedikit ke atas. Tangan kanan memegang kacamata. Berusaha memperlihatkan penghayatan. Matanya memandang tulisan yang ada pada lembaran kertas yang dipegangnya.
Semua perhatian tercurah kepadanya. Suasana hening. Ronal mulai membaca sebuah sajak yang tertulis di lembaran kertas itu. Lalu mulai berekspresi. Masuk ke bait-bait sajak.
Kala, di sini tak seperti saat ini kekasih
mengunci simpul hati sulit kuurai dengan kata-kata
Tepuk tangan meriah, memberi aplaus. Rolan berhenti sejenak. Membungkuk hormat, menunggu hingga tepuk tangan reda. Kemudian melanjutkannya kembali.
Lorna gelisah. Mencoba mengenali sajak itu, mengingat baris sajak itu.
Kala, angin berdesah di sela ilalang kekasih
kuingin bisikmu adalah perasaanmu
Kala, selimut dingin menikam asaku kekasih
kau lenakan aku dalam bara kerinduan
Ronal diam sejenak. Tepuk tangan kembali menggema.
“Terus Ron!” terdengar teriakan.
Ronal menatap Lorna. Lorna yang gelisah menghindari tatapannya. Menunduk menatap rerumputan. Tatapan Ronal, menambah keyakinannya akan sajak yang dibaca itu adalah sajaknya. Seketika hatinya berteriak, "Sialan kamu, Nal! Itu sajakku!"
Ronal kembali meneruskan.
Kala, simpul hati kian tegang dan meretas kekasih
desah kabut dingin adalah resahku
Kala, kuterbenam di kubang asaku kekasih
kuberharap kau kan menarikku
Kala, di sini tidak seperti dulu kekasih
sapalah hati ini yang takkan lelah menanti
Kala, nyala hati pun kian letih kekasih
kutetap tegar biar kuberselimut tabir gelap
Kala, kebisuan adalah bisikkanmu kekasih
kutetap menanti sekalipun melelahkan
Tepuk tangan kembali riuh selesai Ronal membacakannya.
“Lagi, Ronal!” teriak mereka.
“Ya habis!”
“Sajak siapa, Ron?”
Ronal mengangkat kedua tangannya.
“Sajak ini saya cuplik dari Majalah Dinding ketika kita masih di kelas dua.”
“Wow!”
“Kamu yang bikin?”
“Bukan!”
“Sajak siapa, Ron?!”
“Jujur saja, ini bukan sajakku! Judulnya “Penantian”. Sajaknya primadona kita. Lornaaaa...!”
“Lorna! Lorna! Lorna!” terdengar teriakan-teriakan
“Wow! Keren!”
“Suruh baca Lorna sekali lagi! Gantian! Biar Lorna sendiri yang baca!” terdengar teriakan permintaan itu.
Tepuk tangan semakin keras. Menggema ke lereng bukit. Suasana semakin meriah. Semua perhatian terarah pada Lorna.
Lorna kembali menimbulkan sensasi. Kini didaulat agar ke tengah lapangan, membacakan sajaknya. Teman-teman meminta pengarangnya yang membacakan, akan terasa lebih pas. Demikian pendapat mereka.
Lorna sengit memandang Ronal. Hatinya masih kesal tidak berhasil bertemu Dewa. Untuk tidak mengecewakan permintaan teman-teman, serta membalas ketidak hadirannya sejak awal reuni. Lorna memaksakan diri bangkit berdiri. Melangkah gemulai ke tengah lingkaran, lalu menerima lembaran kertas bersajak dari tangan Ronal, tak sepatahkatapun yang disampaikan kepada Ronal, sebab dia masih merasakan kesebalan.
“Hai, semua!” sapanya lembut kepada semua teman-temannya.
“Haaaaiiiiiii!” semua membalas serempak sapaannya.
Lorna memaksakan diri untuk tersenyum.
“Sorry!”
“Kenapa, sorry, Na?!” ada yang nyeletuk.
“Baru kali ini bisa menjumpai kalian.”
“Dewa juga, kok!” ada yang nyeletuk.
Semua tertawa.
“Heiii!” pekik Lorna tertahan.
Walau tersenyum, bola matanya berkaca-kaca. Hatinya dilanda nostalgia. Antara rasa sebal, senang dan haru, mengaduk-aduk jadi satu. Hari ini, apa yang diharapkan tidak terwujud. Hatinya tiba-tiba terasa sepi. Ingin menjerit keras-keras. Ingin memanggil Dewa. Kenapa demikian sulit bertemu Dewa.
“Sedih ya, dia nggak datang?” ada yang nyeletuk lagi.
“Hei! Mataku berair bukan sedih? Ini lantaran bahagia bisa jumpa kalian,” Lorna berdalih.
“Ah, masak sih?”
“Awas ya, jangan ngeledek. Mau kubaca, tidak?”
“Mauuuuuuu!”
“Thank you! Bagiku ini sebuah kehormatan bisa berdiri di hadapan teman-teman. Sajak ini, adalah satu-satunya yang kutulis. Nggak ada yang lain.”
“Wah, tapi bagus lho!”
Lorna menelan ludah, untuk membasahi tenggorokannya yang terasa kesat. Lalu melanjutkan kembali.
“Nggak kusangka masih saja ada yang sempat-sempatnya mencatat sajak yang kubuat sekedar ngramein majalah dinding kita dulu. Tapi nggak apa-apa. Aku hargai itu.”
Disambut tepuk tangan meriah.
“Thank you!” balas Ronal
“Kala itu nama orang bukan?” tanya Dandra iseng.
Disambut tawa.
“Setahuku, nama lengkapnya Kalaputra Dewa.”
Pipi Lorna berubah kemerahan.
“Kala itu Dewa kan?” ada lagi yang bertanya.
Disambut tawa gemuruh.
“Jangan begitu. Kala itu maknanya ‘waktu’. Kalau Dewa, kan nama teman kalian yang nggak hadir di sini.”
“Ah, temen apa demen?” goda yang lain.
Disambut ketawa lagi.
“Aduh, aku dikerjain, nih ya!”
“Sudah bukan rahasia, Na!” tiba-tiba sebuah suara nyeletuk.
“Aduh, jadi nggak dibacain?”
“Jadi dong!” suara mereka serempak.
“Kalau begitu jangan yang nggak-nggak dong.”
Disambut ketawa.
Ronal nggak senang, semua menghubungkan Lorna dengan Dewa.
Setelah menunggu suasana kembali hening. Lorna bersiap membacakannya. Pandangannya mengawasi pucuk-pucuk cemara pinus di lereng bukit, di kejauhan. Ingin memberikan kesan pada teman-temannya. Bahwa pucuk-pucuk cemara pinus di sana itu, mengingatkannya pada sekian tahun yang silam. Saat di sini, dulu, dirinya disergap hembusan angin lembah. Ketika itu, udara dingin tak dirasakannya, sebab ada Dewa yang menghangatkannya.
Rambut Lorna yang panjang, bergelombang, berkibaran diterpa angin yang datang. Bibirnya berbentuk seperti daun pirus. Bagus sekali. Tanpa lapisan lipstik. Lalu dari celah bibir itu, meluncurlah irama kata demi kata. Yang terolah dalam penghayatan. Lantunannya, terhenti jika hatinya tercekat. Suaranya menjadi lirih, jika rindu tiba-tiba menyelinap. Lalu berdesah, saat perasaannya gelisah. Dan, bola matanya basah mana kala hujan gelisah melanda hatinya.
Semua larut oleh irama sajak yang dibacakannya. Semua terpukau. Ada yang sibuk mengambil gambarnya dengan kamera video yang ada di ponsel, ada yang mengambil gambar dengan handycam.
Sejenak mereka tersadar bahwa sajak telah selesai dibacakan. Tepuk tangan lalu memecah keheningan suasana. Ada yang larut oleh sajak itu. Matanya ikut basah seperti basahnya mata Lorna.
“Suprais Lorna!”
“Bagus!”
“Indah sekali!”
Tepuk tangan tiada henti-hentinya.
Rahma bangkit menggantikan Lorna. Mengalihkan perhatian. Karena dilihatnya ada sesuatu yang menggelayuti wajah sahabatnya itu.
“Kamu pergi dulu dengan Grace dan Anita ke bangunan di sana,” bisiknya.
Lorna mengangguk
“Teman-teman sebelum masuk ke acara berikut. Bagaimana kalau joget bareng? Joy sudah siap dengan musiknya. Ayo bangun! Berdiri cari pasangan!” kata Beni.
“Ayo joget!”
Irama dangdut lantas mengalun. Semuanya berjoget. Bu Linda didaulat turut berjoget. Pak Rofik begitu juga. Semua berjoget.
Lorna menjauhi kerumunan. Di tempat terpisah, Lorna melampiaskan tangisnya. Grace dan Anita berusaha menghibur.
“Jangan bawa dalam perasaanmu, Na!”
“Aku nggak tahan, Rahma!”
“Sudahlah!”
“Aku juga nggak ngerti, kenapa akhir-akhir ini, aku begitu gampang nangis, rasanya cengeng sekali aku ini!”
“Ah, ya tidak! Aku pun akan menangis kalau merasakan apa yang kamu alami. Menangislah, dari pada jadi beban,” kata Anita.
“Sajakmu bagus sekali,” Anita menambahkan, “Aku salin nanti ya?”
Tiba-tiba Lorna merasakan suasana di sini berubah jadi tempat penyiksaan. Tersiksa bukan lantaran didaulat teman-teman untuk membacakan sajak. Juga bukan tersiksa lantaran karena Ronal yang membuatnya jengkel. Bukan lantaran itu. Ada banyak lantaran.
Lantaran dirinya, tidak tahan melihat lembah dan bukit nun di sana. Yang mengingatkannya pada masa silam. Hutan sekeliling, mengingatkannya kembali ke masa itu, masa di mana Dewa pernah membawanya masuk ke dalam hutan. Ingin menunjukkan kepadanya, ada bunga anggrek liar sedang berbunga, yang tumbuh pada sebuah cabang pohon yang tinggi. Dewa membawanya menembus belukar, menyibak ilalang, mematahkan ranting kering untuk membuka jalan. Dewa begitu menjaganya, jangan sampai ada ranting melukai kulitnya. Berusaha membawanya pada bunga yang dilihatnya. Bunga anggrek yang tumbuh liar, anggrek yang sedang berbunga, warnanya putih, dan keduanya sepakat tidak mengusik kehidupan bunga itu.
Sebagai pengganti, Dewa memungut sekuntum bunga liar, entah bunga apa namanya, berwarna kuning. Bunga itu, lalu diselipkan ke sela daun telinganya, sambil berbisik lembut.
“Kamu cantik sekali!”
“Thank you!”
Bisikkan Dewa menciptakan senyum di bibir Lorna yang tidak kalah indah dengan bunga anggrek itu. Keduanya lalu saling menatap, lama sekali, seakan ingin tahu apa yang dirasakan di balik tatapan masing-masing, tatapan Dewa yang teduh, tatapan Lorna yang nyaman. Bisikan yang pernah disampaikan Dewa seakan masih terngiang di gendang telinganya.
“Diam ya? Kugambar sebentar. Boleh?”
Lorna mengangguk. Tersenyum.
"Lorna mau digambar, ya?"
"Ya, kubuat sketnya dulu."
Di atas sebuah batu besar, Dewa menyuruhnya duduk rilek, hendak membuat sketsa dirinya menggunakan pensil conte hitam, sketsa itu kini tergantung di kamar tidurnya. Dan di tempat Dewa membuat sketsa itu. Pertama kali Dewa mendekapnya, saat dirinya ketakutan, dikejutkan oleh suara ayam hutan yang terganggu oleh keberadaan mereka.
Kenangan itu, adalah sebagian kenangan yang ingin dihadirkannya kembali. Amat sulit melupakannya. Kini semua kenangan itu jadi bayangan yang menyiksa. Menyiksanya dengan kerinduan.