Wulan terbangun saat tubuhnya dibaringkan Dewa di atas tempat tidur. Matanya menatap ke mata Ayahnya. Lalu melihat ke sekelilingnya, dan bangun duduk. Baginya kamar yang ditempati terasa asing. Dalam kamar ibanyak hiasan di dindingnya. Banyak boneka di sudut tempat tidur. Bahkan bantal dan gulingnya berbentuk boneka. Tilam dan selimut juga berhias gambar dan warna yang menarik.
"Ini kamar Wulan!"
Dewa mengambil sebuah boneka lalu diberikan kepadanya.
"Semua punya Wulan."
Gadis kecil itu masih terkesima dengan sekelilingnya. Rasa kantuk membuatnya belum bisa menikmati situasi kamarnya. Tangannya direntangkan, meminta Ayahnya memeluknya. Dewa lantas memeluk dan mengajaknya berbaring.
"Tidurlah, Sayangku. Tidur lagi bersama Ayah."
Wulan lantas merangkul lehernya. Walau matanya terasa berat untuk dibuka, namun sempat mencium pipi ayahnya. Tak lama kemudian terlelap dengan bibir menyungging senyum. Dewa membelai wajah itu, menciumi pipi dan bibirnya dengan lembut. Sejak bersamanya beberapa hari, baru merasakan sebagai seorang Ayah. Merasakan bagaimana seseorang begitu bergantung sepenuhnya padanya. Merasakan bagaimana seorang anak kecil begitu membutuhkan perhatian dan kasih sayangnya. Merasakan bagaimana panggilan Ayah itu sendiri terasa bermakna. Itu artinya dia harus memberikan segala-segalanya. Kasih sayang, perhatian, dan sebagainya. Hanya memang terasa tidak lengkap bila tidak ada pendamping yang disebut Bunda. Ingat kata bunda, membuatnya teringat harus menelpon Lorna.
Di samping tempat tidur ada telepon agar mudah berhubungan dengan Wulan maupun Dama. Dewa pun mengambil bolpoin dan catatan yang akan digunakannya mencatat. Dia harus menanyakan kembali nomer telepon Lorna, karena catatan nomer itu belum ada disini. Pesawat telepon dengan menggunakan wireless membuatnya tak harus meninggalkan Wulan yang tertidur memeluknya.
"Sori, Jo, ngganggu!"
"Eh, kau, De. Ada dimana?"
"Griyo Tawang. Di sini tak ada catatan nomer telepon Lorna. Tolong beri aku nomernya?"
"Tunggu sebentar!"
Dewa menunggu seraya memandangi wajah Wulan yang pulas.
"Belilah hape, kenapa sih?"
"Ruwet!"
"Begini malah ruwet sendiri. Kasihan tu Lorna!" kata Joy.
Lalu Joy menyebutkan nomer hape Lorna. Dewa menyalinnya dalam buku catatan.
"Besok kita buat rapat disitu? Kamu di sana nggak?"
"Nggak tahulah. Aku lagi ada persiapan pameran di Jakarta. Ok, Jo. Salam saja buat teman-teman!"
"Yo'i!"
Dewa sadar Lorna belum tahu tentang nomer telepon Griyo Tawang yang digunakannya kini. Lama Kejadiannya seperti saat dia menelpon dari rumah tempo hari terulang kembali.
"Hai!"
"Siapa ini?"
"Aku!"
"Ya, ampuuun....."
Untuk beberapa saat tak terdengar suara Lorna. Dewa menunggu. Dewa tak tahu kalau pada saat itu Lorna tiba-tiba sulit mengatakan sesuatu. Tenggorokannya seperti tercekat. Bola matanya langsung berkaca-kaca. Apa yang dirasakannya saat mendengar suara Dewa adalah rasa keharuan dan rindu yang tiba-tiba melanda hatinya.
"Hai!" Dewa mencoba menyapa kembali.
Tapi saat mendengar Lorna berusaha berbicara. Dewa bisa merasakan kalau saat itu suara Lorna terasa berat dan terbata-bata.
"Minumlah dulu, Sayang."
Lorna melakukan yang disarankan Dewa. Memulihkan tenggorokannya. Meredakan rasa haru dan kerinduan yang tiba-tiba berkecamuk.
"Sudah? Santai saja."
Lorna diam sejenak. Kemudian berkata dengan suara pelan dan lunak.
"Lorna rindu padamu, De."
"Untuk itu aku menelponmu."
"Kapan bisa bertemu lagi? Lorna tak tahan seperti ini. Lorna ingin berkumpul. Ingin ke Malang semalam berkumpul denganmu."
"Nanti mengganggu kegiatanmu di Jakarta."
"Lorna bisa jadwalkan hari Jum'at malam atau Sabtu pagi terbang ke Malang, dan Senin pagi bisa kembali ke Jakarta?"
"Nanti kamu kecapaian. Nanti seperti kejadian di reuni itu."
"Sepi nggak ada Dewa. Lorna ingin setiap hari jumpa. Mendengar sapaanmu. Seperti dulu. Seperti saat masih sekolah. Seperti saat berkumpul di Bali."
Dewa menarik nafas dalam.
"Beberapa hari lagi aku akan ke Jakarta. Bersabarlah."
"Urusan pameran?"
"Ya."
"Menginap di rumah ya?"
"Ya!"
"Dewa dapat salam dari Mommy dan Daddy."
"Sampaikan kembali salamku."
"Sudah!"
"Sudah?"
"Lorna kan mewakili Dewa."
"Lorna belum mau tidur?"
"Sulit..."
Lalu hening sesaat.
"De."
"Ya?"
"Cincin itu masih dijarimu?"
"Tentu saja. Kenapa?"
"Lorna kan isterimu kan, De?"
"Ya, kau adalah isteriku."
"Cincinmu di jariku menunjukkan kamu adalah suamiku, begitu kan, De?"
"Ya!"
"Lorna rindu sekali, De. "
"Sabarlah! Nanti aku akan datang. Kita pasti berkumpul setiap saat. Aku juga tak ingin seperti ini terus menerus. Aku juga tak ingin Lorna dirongrong perasaan seperti ini setiap hari. Aku tak ingin Lorna kesulitan tidur setiap malam. Apa yang bisa kuperbuat agar Lorna bisa terlepas dari beban perasaan seperti perasaanmu kini?"
"Lorna ingin bisa menghubungi Dewa."
"Dewa tak melarang Lorna menghubungi."
"Kemana menghubungi Dewa?"
Dewa terdiam, memahami apa yang dimaksudkan Lorna. Setelah lama berpikir kemudian berkata:
"Ya, sudah. Apa mau Lorna?"
"Kukirim hape besok ya, buat menghubungi Dewa setiap saat?"
Dewa diam. Sebetulnya benda itu tak seberapa harganya untuk dibeli. Bila dia mau Lorna yang membelikan bukan berarti dia tak mau membeli. Tapi ragu bila Dewa akan membeli sendiri dengan segera.
"Keberatan?"
"Ah, enggak!"
"Bilang bila Dewa tak ingin diganggu dulu. Kirim sms yang ada pada template yang nanti kusiapkan."
"Tapi hanya untukmu."
"Ya, Dewa, hanya buatku!" kata Lorna dengan suasana hati senang. Seakan menghilangkan segala perasaan yang galau yang baru saja dirasakannya.
"Selamat malam, Na. Tidur yang nyenyak ya?"
"Selamat malam, De. Lorna mencintaimu, De."
"Dewa juga mencintaimu."
"Bye,Na!"
"Bye, Dewa!"
Dewa meletakkan pesawat telepon di tempatnya. Kemudian kembali memeluk tubuh Wulan, memberinya kehangatan. Wulan menggeliat sebentar, tangannya merangkul leher Dewa dengan erat.
"Ayah...." Wulan memanggilnya, "Mau pipis!" Wulan mengatakan dengan mata masih memejam.
Dewa mencium pipi dan keningnyanya lembut seraya membelai kepalanya. Lalu menggendong, membawanya ke dalam kamar mandi. Menurunkan celana dalamnya, dan memeganginya saat dia pipis. Nampaknya gadis itu masih dalam kondisi mengantuk. Setelah menceboki dan mengenakan kembali celana dalamnya, lalu menggendong dan membawanya kembali tidur.