74. Wulan rindu Bunda.

Dewa mengajak Wulan berkeliling di Griyo Tawang. Senja kala membuat suasana terasa nyaman dan damai. Suara air yang mengalir di sungai di bawah sana, sayup-sayup. Daun-saun pepohonan tak lagi bergoyang karena tiupan angin. Seakan ingin beristirahat setelah seharian melayani alam.
Di Griyo Tawang banyak tumbuh pohon besar, yang terpelihara baik. Sekumpulan pohon bambu yang tumbuh lebat sepanjang plesengan sungai, sengaja ditanam, agar akarnya bisa memperkuat tanah, yang akan mencegah dari longsornya tanah.
Satwa merasa aman bersarang di bawahnya, tak ada yang berani mengganggu satwa-satwa seperti landak dan trenggiling, lalu di pucuk-pucuk dan ranting bambu, burung manyar membangun keluarga, sarangnya bergelantungan. Bila pagi hingga sore, tempat itu diramaikan suara-suaranya, tapi bila saat hari berganti gelap, suara manyar digantikan suara tonggeret yang ada di ranting-ranting pohon serta jangkrik di permukaan tanah.
Dewa melarang warga sekitar menangkap apalagi membunuh binatang yang berada di sekitar Griyo Tawang. Bahkan, garangan maupun musang yang kerap terlihat melintasi persawahan, tidak boleh ada yang menakuti apalagi menjerat. Binatang itu berkeliaran hanya untuk memangsa burung. Dewa ingin agar satwa-satwa yang menghuni areal itu tak diganggu. Tupai dan klarap paling sering terlihat berlarian pada batang-batang pohon duku. Bila hari sudah malam, kelelawar terbang berputar-putar dan hinggap di pepohonan. Ada banyak pohon buah seperti: rambutan, mangga, juwet, jambu kapuk, pisang, nangka, masih banyak jenis yang lain.
Udara dingin mulai menyergap saat Dewa meniti tepi kolam ikan dan Wulan memeluk lehernya. Sorot matanya yang jernih mencerminkan kenyamanan berada dalam gendongan ayahnya. Sudah lama dia tak digendong seperti itu. Mereka hanya berkeliling sebentar.
"Dingin sayang?"
Wulan merangkul lehernya erat.
"Kita masuk ke dalam rumah dulu ya?"
"Lihat Bunda, Yah."
"Sebentar lagi kita lihat Bunda. Wulan rndu Bunda? Kalau sayangku rindu Bunda, peluk dan cium Ayah."
Maka Wulan memeluknya erat dan mencium pipinya.
"Wulan rindu Bunda?"
Gadis kecil itu mengangguk.
Dewa mencium pipinya. Hatinya tertikam keharuan.
Langit cerah. Sebentar lagi rembulan akan terbit dan naik ke langit, yang akan membaur dengan milyaran bintang. Di rembulan itu Wulan meyakini kalau Bundanya berada disana. Yang suatu kali akan kembali, membawakan selendang buat menggendongnya, seperti ayahnya yang kini sedang menggendongnya. Dengan memandangi rembulan segala kerinduannya akan terobati.
Dewa membawa Wulan masuk ke dalam rumah. Gino menunggunya sejak tadi, di pintu masuk samping yang menghubungkan ke bangunan tempat tinggalnya, rumah yang rencananya akan ditempati Wulan bersama Damayanti.
Rumah itu sudah ada sebelum Griyo Tawang dikembangkan. Dulu direncanakan sebagai tempatnya untuk melukis, selama beberapa waktu dia melukis ditempat itu, tetapi setelah melalui beberapa pertimbangan dan proses waktu, dia kemudian lebih memilih kembali menempati rumah peninggalan orangtuanya, lebih pas berkarya disana, karena sejak kecil tumbuh di tempat itu.
Taman untuk bermain Wulan sudah dipersiapkan di belakang rumah, agar Wulan memiliki ruang untuk bergerak dan berlarian. Ada ayunan, kursi goyang, tangga seluncur. Bila ingin melihat ikan, ada kolam dangkal yang bentuknya seperti sungai, airnya mengalir jernih yang berasal dari sumber dari dasar lereng di tanah dalam komplek Griyo Tawang. Ikan mas dan tombro serta koi sengaja ditempatkan di dalamnya untuk dipelihara sebagai penghias, ikan-ikan yang ada didalamnya sangat jinak.
Besok, Wulan akan diperlihatkan dan diajak bermain dengan ikan-ikan itu. Airnya yang mengalir bersih, bisa dipakai mandi sambil bercanda dengan ikan-ikan. Tempat itu sengaja dirancangnya agar terasa nyaman, membuat betah siapa pun bila berada disana.
Gino kembali mengunci pintu samping setelah Dewa dan Wulan masuk.
"Lampu sudah saya nyalakan. Saya pulang memakai motor saja," kata Gino.
"Beritahu Pak Man, mobil biar digunakan kembali."
"Kalau begitu, Wulan jadi mau menginap disini, Mas?"
"Akan saya ajak menginap disini, kalau dia ingin pulang kesana, tinggal minta tolong Pak Man untuk mengantarkan."
Gino kemudian pamit kepada Dewa dan Wulan. Gadis kecil itu hanya melambaikan tangan.
"Dah, cah ayu!" kata Gino.
Dewa mendudukkan Wulan di atas sofa, tapi Wulan lalu merebahkan diri, mungkin kecapaian setelah terlalu lama digendong. Dewa membenamkan hidungnya ke pipi Wulan sejenak, menghirup keharuman pipi Wulan yang segar. Wulan suka sekali dicium Ayahnya. Merasa Ayah menyayanginya, tetapi bagi Dewa apa yang dilakukannya untuk menebus penyesalannya yang selama ini telah menjauhkan Wulan darinya, kini tak akan dibiarkan Wulan jauh lagi darinya.
"Sebentar lagi kita ke kamar ya? Wulan mengantuk?"
Wulan menggeleng. Dewa mengeluarkan jaket Wulan dari dalam tas. Lalu mengenakannya. Wulan mau dikenakan jaket.
"Biar nggak dingin ya sayang."
Wulan mengangguk seraya memegang pipi Dewa.
"Mau cium lagi pipi Ayah?"
Wulan mencium pipi Ayah.
"Terimakasih, anak cantik."
Wulan tersenyum. Mencium lagi pipi Ayah yang satunya.
"Terimakasih, anak manis."
Wulan tersenyum lagi.
Dewa menyadari kalau Wulan masih merasa asing berada di rumah itu, oleh karenanya, tak mau memaksakan. Biarlah Wulan membiasakan dirinya dengan situasi di rumah itu. Lalu mengajaknya bercanda di ruangan depan, yang dilengkapi pesawat televisi yang jarang dinyalakan, tetapi berfungsi baik, karena selama ini tak ada yang menonton.
Dewa tak begitu menyukai nonton acara televisi, Dewa juga tak berkeinginan menyalakan televisi yang ada di ruangan itu, karena begitu dinyalakan, dia yakin tak ada satupun acara yang sesuai dengan pikiran anak. Iklan-iklan dengan bahasa yang tak ramah, tayangan-tayangan yang tak nyaman, acara yang tumpang tindih. Mustahil melakukan proteksi tayangan kalau sudah ditonton oleh anak-anak. Karenanya dia mencegah Wulan menonton televisi, lebih baik dia belikan dvd atau vcd yang khusus diperuntukan anak-anak. Lebih baik anak-anak disediakan buku bacaan atau buku bergambar.
"Kita buat minum yuk?"
"Yuk." balas Wulan.
Wulan lalu turun dari sofa, berjalan mengikutinya, minta tangannya digandeng.
"Mau buat minum apa, sayangku?"
"Teh, Yah."
"Ayo, kita buat minum teh," kata Dewa lembut.
Rumah terasa sepi dan lengang, hanya ada mereka berdua. Dapur yang luas, yang menyatu dengan ruang makan. Dewa lalu membuat minuman teh, yang diberi sedikit perasan jeruk lemon.
Di atas meja makan, ada daging ikan bakar dan ayam, yang diletakkan Gino disitu. Lauk itu disisihkan Gino dari acara makan bersama di pendopo tadi. Karena tak ada yang makan, Dewa memasukkannya dalam kulkas agar tak basi. Lalu mengeluarkan sebuah kaleng kue dari almari, sebagai pelengkap minum teh.
Dapur itu dilengkapi jendela yang lebar, dari situ leluasa melihat pemandangan di luar. Dewa melongok keluar. Bulan sudah terbit di timur, masih tersembunyi di balik awan.
"Sebentar lagi lihat Bunda, ya?"
Wulan tersenyum kegirangan.
"Kita minum teh dan makan kue diluar, menunggu Bunda."
Wulan memeluk kaki Dewa.
"Bunda tidur dimana, Yah?"
"Di Bulan, Sayang."
Setelah itu Dewa mengajak Wulan duduk di bangku taman. Teh yang panas dan sekaleng kue, diletakkan diatas meja. Dewa memasang topi jaket di kepala Wulan agar hangat.
Wulan dipangkunya. Bola mata Wulan nampak berkilat memantulkan cahaya bulan yang kini mulai bersinar, awan yang menutupinya mulai tersibak. Wulan tersenyum bahagia, tangannya menunjuk ke rembulan, lalu memandang sejenak kepada Dewa, seakan ingin menunjukkan rembulan kepadanya.
"Ayahku!" panggilnya seraya memperlihatkan bulan di langit.
"Oh, iya, rembulan sudah datang. Hai rembulan. Hai Bunda."
"Hai Bundaku!" Wulan memanggil menirukan.
"Hai, Bunda. Ini Wulan. Wulan rindu Bunda."
Wulan lalu mencium pipi Dewa.
"Jangan lupa bila Bunda pulang bawa selendang buat Wulan."
Wulan bertepuk tangan. Lalu tangannya melambai-lambai kepada rembulan. Cahaya rembulan bersinar terang, seakan mencerminkan wajah Bundanya sedang tersenyum kepadanya. Dewa menemaninya hingga gadis itu tertidur pulas dalam pelukkannya.