Wulan bangun dari tidur. Melihat Ayahnya masih tertidur disampingnya. Lalu perlahan naik dan tengkurap di atas dadanya. Mencoba kembali menutup mata, tetapi tidak bisa. Memang sudah waktunya bangun. Karena tidak ingin membangunkan tidur ayahnya. Maka hanya tengkurap di atas tubuhnya, sambil memperhatikan gelang warna-warni di pergelangan tangannya. Gelang yang dibelikan ayah siang tadi ketika pergi jalan-jalan. Sesekali wajahnya diangkat untuk melihat wajah ayah, apakah mata ayah sudah terbuka atau belum?
Lantaran mendengar suara gemerisik, yang berasal dari manik-manik gelang Wulan yang beradu, Dewa terjaga dari tidur. Dilihatnya Wulan sudah bangun, tengkurap di atas dadanya. Segera tangannya dilingkarkan ke punggungnya, memeluknya.
"Hai, sayangku," sapanya seraya mencium pipinya.
"Sudah lama bangun, sayang?"
Wulan mengangguk.
"Sayangku, lapar?"
"Mandi dulu, Ayah."
Dewa memeluknya lebih erat.
"Baiklah, habis ini mandi dulu dengan ayah."
Wulan kemudian digendong diajak bangun.
"Anak ayah sudah besar. Ayah buatkan minum dulu ya?" tanya Dewa seraya beranjak keluar kamar. Pergi ke dapur yang menyatu dengan ruang makan. Sambil tetap menggendong Wulan, memanaskan air, membuka kulkas, mengambil satu buah jeruk.
Wulan didudukan di atas kursi. Sambil duduk berhadapan, Dewa mengupas jeruk. Wulan memperhatikannya saat membuang bijinya.
"Makan jeruk dulu ya?"
Wulan tersenyum sambil mengangguk.
"Cium Ayah?" kata Dewa.
Gadis kecil itu lantas memegang kedua pipi Dewa, menciumnya bergantian, setelah itu bibirnya ditempelkan sejenak ke bibir Dewa.
"Mm, terimakasih, anak cantik. Anak pintar."
Wulan tersenyum kegirangan. Tangannya mengusap-usap dahi Dewa sambil mengunyah buah jeruk.
"Lik Ti, kapan menyusul, Yah?"
"Nanti telepon, Lik Ti, ya? Wulan yang tanya ke Lik Ti."
Gadis itu mengangguk.
"Nanti malam, lihat Bunda, ya Yah?"
"Ya, nanti malam lihat Bunda yang masih di Bulan."
Bila gadis itu sudah menanyakan Bundanya. Dewa akan membawanya ke halaman rumah di malam hari, memperlihatkan rembulan yang ada di langit. Membiarkan matanya yang jernih dan bulat itu, tanpa berkedip memperhatikan bulan, hingga lama sekali. Dewa berharap nanti malam langit cerah tanpa berawan sehingga memberi kesempatan rembulan bersinar terang.
Sementara itu, Yu Nah naik ke atas untuk mengantarkan pakaian Wulan dan Dewa yang sudah diseterika. Saat melihat Wulan di ruang makan bersama ayahnya. Yu Nah langsung menghambur memeluk dan menciumnya. Pada mulanya, Wulan terkejut minta dipeluk Dewa. Dewa memeluk dan menghiburnya sambil menjelaskan siapakah Yu Nah.
"Itu, Yu Nah. Jangan takut. Yu Nah yang memandikan Wulan ketika masih bayi."
Mata Yu Nah berkaca-kaca lantaran terharu, berusaha mencium pipi Wulan. Gadis kecil itu berusaha meronta saat dicium.
"Sudah besar dan cantik lagi."
"Yu, Nah jangan pulang dulu. Tolong jaga rumah. Saya mau ke Griyo Tawang mengajak Gino setelah memandikan Wulan."
"Mau menginap disana?"
"Nggak, tahu. Tapi Gino cepat kembali."
Dewa membujuk Wulan agar mau digendong Yu Nah.
"Ayah mau buat minum dulu."
Air yang dijerang sudah mendidih. Wulan lalu mau digendong Yu Nah.
"Mana Lik Ti nya?" tanya Yu Nah pada Wulan.
Wulan menggeleng.
"Lik Ti, menyusul nanti," kata Dewa.
"Lik Ti, nyusul," kata Wulan menirukan ucapan Ayahnya.
"Wulan, mau Yu Nah mandikan, ya?" tanya Yu Nah.
Wulan menggeleng.
"Mandi sama ayah."
Yu Nah menyadari kalau Wulan tak mau lepas dari Ayahnya. Rasanya ingin menangis terharu, merasakan Dewa begitu menyayangi Wulan. Betapa tidak terharu. Saat Nirmala sakit hingga meninggal dia turut membantu Dewa merawat Nirmala, juga merawat Wulan yang pada saat itu masih bayi. Dia tahu betul bagaimana pengorbanan Dewa. Anak yang sangat berbakti pada orangtuanya. Tak pernah membantah. Bagi Yu Nah, Dewa adalah sosok lelaki yang sangat baik tiada duanya di dunia ini. Yu Nah tahu sekali, semenjak mereka menikah. Dewa tak pernah tidur satu tempat dengan Nirmala, tetapi sedemikian perhatian dan merawat Nirmala sebagaimana isterinya.
Mereka tak pernah terlibat pertengkaran. Selama tinggal bersama keluarga Dewa. Tak pernah sekalipun melihat Dewa marah. Dia paling tahu, kalau Dewa kesal, paling diam lalu pergi menyendiri untuk membuang kekesalannya. Yu Nah tahu sekali kalau Wulan sesungguhnya bukan anak kandung Dewa. Dan yang membuat Yu Nah ingin menangis adalah sikap Dewa kepada Wulan yang mencintai melebihi anak kandung.
Setelah mereka mandi. Bersiap berangkat ke Griyo Tawang. Wulan sudah duduk dalam mobil, mengawasi Baba yang memperhatikannya dari bawah pintu mobil. Baba melihat tajam Wulan, seakan menunggu untuk ditegur. Tapi Wulan enggan menegur, takut Baba akan meloncat lalu menciuminya. Maka Wulan diam saja, hanya matanya saja sesekali bersirobok dengan mata Baba. Tetapi Wulan selalu kalah dalam adu pandang itu. Sebab tatapan Baba tajam.
Gino sudah berada di belakang kemudi. Mesin mobil sudah dinyalakan. Hanya tinggal menunggu Dewa sedang mengambil tas yang berisi keperluan Wulan. Dewa berpamitan pada Yu Nah.
"Saya ke Griyo Tawang dulu, Yu Nah."
"Inggih, Mas!"
Lalu Wulan duduk di pangkuan Dewa. Baba meloncat-loncat ingin ikut. Wulan tersenyum menyuruh Ayahnya melihat Baba yang berusaha mengikuti. Tapi Baba berhenti sebatas pintu pagar.
Kendaraan meninggalkan pergola saat cahaya mentari mulai redup. Malam nanti pasti akan terasa dingin di Griyo tawang. Oleh karenanya Wulan sudah dikenakan switer. Jaketnya akan digunakan bila hari sudah gelap.
"Pak Joko titip salam kepada mas Dewa," kata Gino ketika sudah berada di jalan.
"Oh, ya?"
"Pak Joko pingin ikut karawitan di Griyo Tawang kalau Mas Dewa mengijinkan."
"Ya, silahkan! Tak ada yang melarang. Itu baik sekali. Kan ada pak Parman dan yang lainnya."
"Pak Joko sering baca tentang Mas Dewa di koran-koran. Pak Joko bilang kalau mas Dewa hebat."
"Hebat apanya, No?"
"Ya, hebat. Masih muda. Terkenal. Bisa mendalang. Bisa menari. Bisa mengrawit. Penyanyi serba bisa. Ya keroncong, ya pop, campursari. Pokoknya seniman tulen. Tapi katanya Mas Dewa orangnya sederhana."
Dewa tertawa. Wulan ikut tertawa, tak tahu apa yang ditertawakan ayahnya.
"Saestu, Mas. Pak Joko bilang begitu. Pak Joko mau belajar menjadi orang Jawa."
Dewa tertawa lagi. Wulan melihat Ayahnya. Lalu ikut tertawa. Dewa mencium pipinya.
"Ya, kumpul saja di sana. Kan sudah kenal pak Parman?"
"Ya kenal banget. Yang memasang instalasi telepon di Griyo Tawang kan Pak Joko."
"Datang saja ke Griyo Tawang kalau waktunya senggang. Kalau belum bisa nabuh, ya belajar nabuh. Kan banyak yang bisa mengajari."
"Mereka yang di Griyo Tawang mungkin sekarang sudah berkumpul di pendopo. Pak Parman sudah siapkan makan bersama. Mereka kangen. Sudah lama Mas Dewa tak muncul disana. Apalagi Ning Wulan ikut datang. Wah, bakal ramai nanti," kata Gino seraya melirik Wulan.
"Jam berapa besok Beni buat acara rapat untuk panitia reuni?"
"Mungkin jam tujuh."
"Besok beri mereka makan. Buatkan masakan pecel lele atau tempe penyet. Ambil ikan di kolam dan potong ayam. Minta tolong Yu Nah memasaklan."
"Inggih, Mas!"
"Kalau tanya soal saya dan Wulan, tolong hindarkan."
"Oh, tentu, Mas!"
"Mungkin nanti malam sampai besok aku menginap di Griyo Tawang. Jangan beritahu kalau aku berada di tempat itu. Aku dan Wulan tak ingin terganggu."
"Kan pintunya lain, Mas."
"Barangkali kalau ada yang mau ke rumah sebelah."
"Saya tidak mudah mengijinkan bisa berhubungan langsung dengan mas Dewa. Tentu saya minta ijin dulu. Selama ini kan begitu, Mas."
"Ya, sudah, kalau kamu sudah mengerti. Bukan aku tak mau ditemui. Aku kan harus mengatur waktu. Yang saya urusi kan banyak. Nanti waktuku habis untuk hal-hal yang tak perlu. Aku bisa tak melakukan apa-apa."
"Justru karena itu. Saya mengerti, Mas. Tapi kalau Mbak Lorna bagaimana?"
"Langsung hubungkan. Bilang minta maaf bila tak diangkat, artinya aku ada dalam studio. Nanti pasti disampaikan dan akan dihubungi kembali."
"Saya mengerti, Mas."
Setiap sore di Griyo Tawang selalu ada kegiatan. Seperti karawitan, latihan menari, latihan wayang orang. Ada seperangkat gamelan lengkap. Kerap juga digunakan Dewa untuk mendalang. Ada sarana musik bila menghendaki acara campursari atau keroncong. Seperangkat alat musik band ada di gedung tersendiri lengkap dengan studionya. Biasanya Beni dan Joy berada ditempat itu.
Suara gamelan berhenti ketika mobil yang ditumpangi Dewa dan Wulan memasuki komplek Griyo Tawang. Setelah parkir, Dewa tetap menggendong Wulan, karena Wulan tak mau diajak berjalan.
Sementara di pendopo orang-orang sudah duduk lesehan di atas tikar rotan yang di bawahnya berlapis karpet agar tidak terasa dingin. Mereka membentuk lingkaran. Lalu mengucapkan selamat sore pada Dewa. Dewa membungkuk memberi salam. Lalu duduk di antara mereka. Yang berkumpul adalah orang-orang yang terlibat kegiatan di Griyo Tawang, dan yang hadir belum semuanya. Di tempat itu ada unit usaha kerajinan, mebel, batik, juga kesenian. Ada ternak ikan tombro, memiliki hamparan sawah yang luas. Ada cerita panjang sehingga komplek itu kini menjadi Griyo Tawang.
Dewa duduk dekat Pak Parman. Pak Parman sudah mulai bicara. Wulan duduk di pangkuan Dewa. Semua mata tercurah kepada Wulan dan Dewa. Mereka hormat sekali pada Dewa. Sebab kegiatan yang ada di Griyo Tawang walau sepenuhnya milik Dewa, tetapi Dewa melakukan itu untuk mereka semua. Seperti yang kerap dikatakannya, bahwa apa yang dilakukannya bukan semata-mata untuk kepentingannya.
"Ning Wulan sudah lama tak kelihatan. Sekarang sudah besar dan cantik. Dan baru datang kemarin malam. Rencananya akan tinggal dan bersekolah disini. Jadi nanti, setiap hari kita bisa bertemu dan ikut menjaga Ning Wulan. Bukankah begitu, Mas Dewa?" kata pak Parman.
Dewa membelai rambut Wulan.
"Sudah seminggu lebih Mas Dewa tidak kemari. Tapi rasanya sudah sangat lama," Pak Parman menambahkan.
Mereka yang hadir membenarkan. Lalu pak Parman meminta Dewa memberi arahan sebagaimana bila datang ke tempat itu.
"Sugeng sonten poro sedoyo," sapa Dewa.
"Sugeng sonten, mas Dewa," jawab mereka serempak.
Walau banyak orang tapi suasana terasa hening. Tak ada yang bersuara sehingga tak berisik. Mereka hanya ingin mendengar Mas Dewa berbicara. Menunggunya dengan hikmat.
"Santai kemawon," kata Dewa menyuruh agar yang hadir tidak tegang dan kaku.
Suasana kembali cair.
"Mohon maaf bila belakangan ini saya tak bisa kemari. Tetapi yang penting, semua berjalan baik, dan seharusnya begitu, seperti harapan kita bersama, agar kegiatan disini berjalan lancar walau tanpa kehadiran saya. Apa yang kita lakukan untuk kepentingan kita bersama. Semua sudah direncanakan dengan cermat dan baik. Setiap persoalan kita komunikasikan dengan baik, dengan begitu hasilnya akan baik. Tidak ada sesuatu yang sulit dan rumit yang tak bisa diselesaikan, bila dipecahkan bersama-sama. Tentunya kedatangan saya kali ini tak untuk membahas pekerjaan. Tapi saya hanya mau bersantai dengan Wulan dan mau berjumpa dengan keluarga disini."
Semua tersenyum sambil mengangguk-anguk. Dewa kemudian melanjutkan kata-katanya.
"Yang berhubungan dengan kegiatan, besok atau kapan saja. Kebetulan belakangan ini ada hal yang menyita waktu saya. Jadi mohon dimaafkan bila saya seperti sulit ditemui. Tadi Mas Gino memberitahu saya, kalau ada acara makan bersama?"
"Inggih, Mas Dewa. Sudah tinggal dikeluarkan."
"Lebih baik kita makan dulu, baru bersantai. Kalau begitu mari kita berdoa. Nyuwun tulung pak Hanafi ingkang ndungo. Kito nyuwun dumatheng Gusti, mugi-mugi Griyo Tawang saget nglampahi kesulitan, dipun sukani berkah kang katah, slamet lan kamulyan."
"Amin" serempak yang hadir membalas.
"Monggo, pak Hanafi."
Pak Hanafi kemudian memimpin doa. Setelah selesai, makanan yang sudah dipersiapkan, kemudian dibawa ke tengah-tengah lingkaran. Aroma ikan bakar dan ayam goreng, segera menyebar. Sambal pecel lele dan lalapan daun kemangi, aromanya terasa menyegarkan lubang hidung. Menu yang dihidangkan, menu yang diminta Dewa ke Gino untuk diberikan kepada teman-temannya yang mau rapat reuni disini besok malam.
Maka Dewa ikut makan. Menyuapi Wulan dengan daging ikan bakar. Wulan nampak senang disuapi Ayahnya. Sambil makan, semua berusaha bisa berdialog dengan Dewa. Yang melayani mereka dengan senang hati.