Waktu tengah hari Gino mengantarkan paket kiriman ke Griyo Tawang. Paket kiriman Lorna dari Jakarta untuk Dewa, telah sampai seperti yang diharapkannya. Paket yang berisi sebuah telepon selular. Alat yang diharap menjadi sarana agar setiap saat bisa terhubung langsung. Lorna tak mengharapkan itu menjadi gangguan Dewa. Namun cinta dan kerinduanyang kuat memaksanya melakukannya agar mereka terasa dekat. Siapa sih yang tidak punya keinginan selalu dekat dengan orang yang dicintainya setiap saat. Siapa pun rela mengorbankan waktu demi orang yang dicintainya? Tetapi Lorna tidak ingin terjebak seperti itu. Menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak perlu. Barangkali itu pula yang dihindarkan Dewa.
"Bicaralah bila kau rindu. Karena itu akan melepaskan beban kerinduanmu. Tapi janganlah kau habiskan waktu membahas kerinduan karena itu hanya akan menimbulkan kebosanan."
Itu adalah kata-kata Dewa ketika menyampaikan kabar bahwa kirimannya sudah diterimanya.
"Ya, De. Lorna mengerti."
"Telepon kapan saja bila kamu rindu. Aku akan selalu dekat denganmu."
"Ya, De. Kamu baik sekali."
"Kalau Lorna resah atau perlu ada yang diajak bicara. Teleponlah. Itulah gunanya aku."
"Aku mencintaimu, De. Hanya kamu lelaki yang pernah kucintai, sejak pertama jumpa hingga kini."
"Aku tahu, Na."
"Jangan pernah tinggalkan aku ya, De. Aku takut berpisah lagi denganmu.
"Tak akan, Na."
"Hanya kamu yang kumiliki. Kalau dulu kamu menganggap Lorna sebagai adik. Begitulah perasaan Lorna pada Dewa yang Lorna anggap sebagai kakak atau saudara. Tapi kini kamu telah menjadi bagian dari jiwaku. Aku sungguh takut kehilanganmu, De."
"Tidak akan, Na. Tidak akan pernah ada pikiranku seperti itu."
"Sungguh ya, De?"
"Sungguh, Na. Aku telah memintamu menikah denganku, orangtuamu menyaksikannya, artinya aku tidak main-main. Kamu bagian dari jiwaku. Besok lusa kita berjumpa, Na. Sabarlah, Na. Sabarlah sayang."
"Ya, De. Lorna sayang sekali padamu."
"Aku sayang kamu, Na."
"Kamu bisa atasi soal Saras, Dini maupun Tari kan, De?"
"Jangan meragukanku, Na. Aku bisa atasi mereka."
"Mereka juga mencintaimu."
"Jangan meragukanku, Na."
"Mereka mengejar dan berusaha untuk mendapatkanmu, De."
"Jangan meragukanku, Na."
"Aku takut kamu tinggalkan."
"Dewa tak akan meninggalkanmu, Na. Tidak cukupkah aku mengikatmu dengan cincin di jari manismu?"
"Bisakah kamu atasi mereka, De?"
"Percayalah padaku, Na. Aku tidak ingin menimbulkan kekecewaan mereka, tetapi aku juga tidak akan memberikan harapan. Begitupun aku juga tidak ingin menyombongkan tentang hubungan kita, karena tidak ada yang perlu disombongkan. Bukankah begitu, Na?"
Lorna diam tak menjawab. Hatinya dilanda keharuan.
"Lorna?" sapa Dewa perlahan.
"Iya, De."
"Aku tahu matamu basah. Aku ingin menyekanya."
"Kamu sering menyeka bila basah seperti ini. Kamu tak pernah kulihat menangis?."
Dewa tertawa pahit.
"Aku tak ingat apakah pernah menangis atau tidak. Barangkali saat masih bayi. Barangkali tak pantas buat lelaki?"
"Ah, De. Itu kan manusiawi."
"Tapi aku tak bisa menangis. Seperti tak memiliki airmata."
"Ah, De."
"Mungkin sudah terbiasa dalam kepahitan. Seakan tak ada yang perlu ditangisi."
"Ah, De.
"Aku suka telepon yang kamu kirim. Aku suka wallpaper-nya," kata Dewa mencoba mengalihkan.
"Saat kita di Bali."
"Ya, aku tahu."
"Aku ingijn mengulang seperti itu lagi."
"Kapan saja."
"Mungkin bersamaan waktu shooting buat iklan resortnya pak Robi. Temani aku ya?"
"Kita lihat situasinya."
"Lorna kemarin juga shooting buat iklan sebuah produk, Dewa tak keberatan bukan?"
Dewa tertawa renyah.
"Lakukanlah apa yang menurutmu baik. Itu kan bagian bisnis yang kalian jalankan."
"Lorna ingin baik menurutmu, De. Lorna tak ingin membuatmu kecewa."
"Aku tak pernah merasa kecewa."
"Tapi Lorna pernah mengecewakanmu, De."
"Tak pernah..."
"Pernah!"
"Tak pernah!"
"Ketika Lorna pulang ke Australia tanpa berpesan sedikitpun kepadamu itu?"
Dewa diam, menahan nafas sejenak.
"Tapi aku tak merasa kecewa."
"Ya ampun Dewa..."
"Lupakanlah, Na."
"Mana pernah bisa Lorna melupakan peristiwa itu, De. Bertahun-tahun itu tentu telah menyakiti hatimu. Bertahun-tahun kita bersama, lalu dalam sekejap Lorna pergi. Siapa yang tak akan merasa kecewa? Aku pun kemudian merasa menyesal. Lorna telah mengecewakanmu?"
"Ah, penyebabnya kan aku, yang membuat situasi jadi begitu. Justru aku yang merasa bersalah karena membuatmu lari dari kenyataan itu."
Dewa mendengar Lorna terisak.
"Sudahlah, Na. Nggak perlu kita sesali apa yang pernah terjadi. Dewa senang hubungan bisa diperbaiki."
Lalu hening. Dewa hanya mendengar suara isak. Tahu saat itu Lorna sedang menahan kesedihannya.
"Kamu menangis?" tanya Dewa lembut.
Lorna mengangguk tak menjawab. "Aku ingin menyekamu."
"Kamu tak ada disini."
"Hapuslah!"
"Sudah!"
"Terima kasih atas kirimannya."."
"Ah...."
Keduanya terdiam sesaat. Lorna masih menyeka airmata yang masih saja bergulir seraya memandangi foto diatas buffet dekatnya, foto mereka berdua ketika berada di pantai Kuta. Sedangkan Dewa mengawasi Wulan sedang bermain ayunan didampingi Gino.
"Posisimu Lorna dimana?"
"Di kantor."
"Tak sibuk?"
"Mengikuti kesibukan tak ada habisnya. Kalau Dewa ada disini. Inginnya pergi kemana saja."
"Anggaplah aku ada di sampingmu."
"Ya, wajahmu kutaruh di hape, komputer, dompet..."
Dewa tertawa lunak.
"Mengganggukah aku saat ini, Dewa?"
"Nggak. Jangan pernah bilang begitu lagi."
"Maafkan aku. Hari-hariku terasa sepi tanpa ada kamu. Lorna tidak keberatan bila Dewa ingin menyudahi telepon ini. Lorna sudah senang sekali Dewa menelpon."
"Baiklah. Selamat bekerja, ya. Teleponlah jangan ragu. Peluk ciumku untukmu."
"Terima kasih, Dewaku. Peluk ciumku juga untukmu. Bye."
"Bye..."
Hembusan angin membawa aroma bunga mawar yang tumbuh di taman. Menyegarkan segenap isi rongga dada Dewa. Wulan melambai-lambai kan tangan tertawa riang memanggil-mangil namanya. Dewa tersenyum sambil merapikan hape dan memasukkannya kedalam saku celananya. Hanya bungkusnya yang diatas meja taman akan disimpannya nanti.