79. Dama dan Wulan Menetap di Griyo Tawang.

Damayanti mencium punggung tangan Dewa seturun dari mobil travel. Rini teman Dama turut pula mencium punggung tangan Dewa. Gino yang sudah berada di Griyo Tawang sibuk menurunkan barang bawaan mereka dari bagasi mobil travel.
"Biarkan barangnya dibawa masuk oleh Lik Gino. Kalian mandi-mandilah dulu biar segar."
Wulan memeluk Dama, minta digendong.
"Aduh, cah ayu, anak cantik. Senang ya kumpul dengan Ayah?"
Wulan mengangguk.
"Ayah sayang sama Wulan."
"Semua sayang Wulan. Sudah makan belum?"
"Kata Ayah nunggu Lik Ti."
"Mau gendong Ayah lagi?"
Kemudian Wulan kembali kegendongan Dewa.
"Biar Lik Ti mandi dulu."
"Lik Ti tidur disini, Yah?"
"Ya, Lik Ti tidur dengan Wulan di kamar Wulan."
"Ayah tidur sama Lik Ti dan Wulan ya, Yah."
"Kalau ada Lik Ti, Wulan tidur dengan Lik Ti. Tapi kalau ada ayah, Wulan bisa tidur dengan Ayah."
Dama dan Rini tertawa mendengar ocehan Wulan.
Sementara itu bulan sudah berada di balik pohon randu di kejauhan. Langit cerah dengan bercak-bercak awan putih. Bintang pun gemerlapan seperti debu kaca yang tertimpa cahaya. Rumah itu kini lebih meriah dengan kehadiran Dama dan Rini. Lampu-lampu kamar yang semula padam kini mulai dinyalakan.
Sementara tak jauh dari tempat itu. Beni dan kawan-kawannya tengah berada dalam studio. Ada Reni sedang melakukan dubing. Joy dan Beni duduk berhadapan dengan Saras yang hadir disitu bersama temannya.
Mobil Saras nampak diparkir di depan. Kehadiran Saras ditempat itu ingin bertemu Beni sehubungan dengan keperluannya sebagai anggota panitia reuni seksi kesehatan. Tetapi sesungguhnya hanya sebagai alasan agar bisa mendatangi tempat itu. Sebab menghubungi Beni bisa dilakukan melalui hapenya.
"Kamu baru pulang dinas?" tanya Joy.
"Ya, kalian lagi rekaman?"
"Ya, bantu Reni lagi dubing untuk album karoke."
"O, Reni penyanyi itu."
"Kau tinggal dimana?" tanya Beni.
"Kelampok Asri. Sampai jam berapa kalian disini?"
"Ya, sesampainya. Kita ada kamar buat istirahat kalau ngantuk," kata Joy.
"Ini punya Dewa," Beni menjelaskan. "Kita cuma numpang."
"Semua yang ada disini?"
"Ya, studio ini kan untuk mendukung kegiatan kesenian Dewa disini. Merekam karawitan, seperti merekam Dewa waktu ndalang. Merekam kegiatan wayang kulit maupun sendratari wayang orang. Ditempat ini ada paguyubannya. Semua warga disini mulai dari anak-anak hingga orang tua dilibatkan dalam kesenian."
"Dewa bisa ndalang?"
Beni dan Joy tertawa. Ismet yang baru saja nongol lalu mengambil remote dan menyalakan dvd yang ada di sudut ruangan. Monitor LCD kemudian menyala dan mulai menampilkan titel teks. Saras menyimak serius.
"Kamu mungkin nggak suka acara wayangan seperti ini. Itu salah satu dari kegiatannya," kata Beni menambahkan.
Mata Saras pun lantas terkesima saat tayangan yang ada pada monitor tv mempertontonkan kegiatan Dewa. Dia melihat Dewa sedang mendalang. Kalau saja rambut Dewa yang panjang tidak nampak terjuntai ke belakang, Saras akan terkecoh. Kepala Dewa tertutup blankon. Mengenakan sorjan, pakaian adat Jawa. Mengenakan busana komplit dengan keris dipinggang belakangnya. Wajah Dewa nampak berwibawa sekali.
"Ini kalian yang merekam?" tanya Saras.
Beni dan Joy tertawa.
"Bagus sekali!"
"Ganti wayang orang, Is!" kata Beni.
Ismet mengganti kepingan lain. Langsung di-forward ke tayangan saat Dewa beratraksi dengan tarian wayang orangnya. Saras semakin terkagum-kagum dengan tayangan yang terekam dalam dvd itu.
"Itu Dewa?"
"Kalau bukan Dewa, mana kita tunjukkan ke kamu. Coba ganti keping yang lain. Yang balada, Is."
"Boleh minta kopiannya?" tanya Saras.
Beni, Joy dan Ismet tertawa.
"Itu masih master. Jangan!" kata Beni.
Sesaat kemudian Saras melihat Dewa tengah bersenandung menyanyikan lagu balada. Terutama lagunya Ebiet G. Ade. Suaranya membuat Saras semakin terkesima. Suara Ebiet memang enak. Tapi suara Dewa tak kalah enaknya. Masing-masing memiliki kekhasannya. Saras suka sekali suara Dewa. Ketika dvd mau distop oleh Ismet, Saras mencegahnya karena dia ingin menikmati nyanyian Dewa.
"Itu hanya dokumentasi sendiri. Itu lagu-lagu yang disukai Lorna," kata Joy.
Ucapan Joy mengusik hati Saras.
"Lorna si mata biru itu?"
"Ya, Dewa menyanyikan lagu-lagu Ebiet kalau mereka sedang berkumpul. Lorna selalu meminta Dewa menyanyikan lagunya Ebiet. Lorna menyukai lagu-lagunya Ebiet, Bimbo. Lorna suka mendengar bila Dewa menyanyi sambil memetik gitar. Dan itu mereka lakukan saat kemping, saat belajar kelompok, saat pergi jalan-jalan. ."
"Mereka berdua, Dewa dengan Lorna?" tanya Saras penasaran.
"Kalau mereka berdua aku nggak tahu. Yang aku tahu kita dulu sering pergi bersama."
"Aku tahu kalian memang berkelompok dengan si Rahma dan Grace."
"Ah. nggak. Kelompokku Dewa. Kelompok Lorna itu Grace sama Rahma. Cuma Lorna dekat dengan Dewa. Jadi kubilang Dewa netral. Dia bisa kemana saja."
"Memang dulu kulihat si mata biru, Rahma dan Grace selalu berkumpul. Yang kutahu Tari, Dini, Dewa, kamu juga dekat."
"Ya karena kita satu kelas. Kalau Lorna, Rahma dan Grace kan kelasnya berbeda."
"Tapi Lorna kok akrab dengan Dewa?"
"Mana kutahu?
"Mereka tidak pacaran kan?"
"Setahuku begitu. Keakraban Lorna dan Dewa karena mereka senasib."
"Maksudmu senasib bagaimana?"
"Lorna dan Dewa itu sama-sama anak tunggal, nggak bersaudara. Jadi Lorna merasa Dewa seperti kakaknya dan Dewa seperti adiknya."
Penjelasan itu melegakan hati Saras yang baru saja diterpa kecemburuan. Pantas Dewa menyanyikan lagu-lagu kesukaan Lorna.
"Dewa tak pernah kemari?"
"Kalau sudah kemari. Urusannya banyak. Yang dibawah itu tempat pembuatan batik. Dan tak jauh dari situ ada tempat usaha kerajinan. Dekatnya lagi usaha pembuatan frame foto dan lukisan. Disini juga ada kolam budidaya ikan tombro dan gurami. Ada sawah padi. Pokoknya Dewa mau membantu masyarakat sekitar sini supaya bisa hidup sejahtera. Kalau mau diceritakan panjang ceritanya. Di Griyo Tawang ini selalu ada kegiatan. Agak ke bawah dekat sungai ada padepokan tempat teman-teman Dewa yang punya kegiatan melukis." kata Beni seraya menyuruh Ismet membuatkan minuman buat Saras.
"Nggak usah, Ben. Aku ada minuman di mobil."
"Itu di mobil. Disini kan perlu. Buatkan seperti biasa."
"Kopi tiga, teh satu buat Saras," kata Ismet menghitung.
"Oyi, sekalian makanan, bro!"
"Kalian tak merokok?" tanya Saras.
"Ya, merokok lah. Cuma kalau diruangan enggak enak dengan Dewa. Dia sih nggak melarang. Pokoknya nggak enak, soalnya dia nggak merokok."
"Kalau mau merokok ya kita keluarlah. Nongkrong di depan situ, atau ke taman."
"Kalian kalau menghubungi Dewa bagaimana?"
Beni dan Joy saling pandang. Lalu saling mengangkat bahu.
"Dewa yang menghubungi kita. Kita tak pernah menghubungi Dewa," jawab Joy.
"Itu artinya kalian punya nomernya kan?"
Beni dan Joy curiga kalau Saras bermaksud meminta nomer Dewa.
"Kalau kamu mau menghubungi Dewa, kamu coba tanya saja sama Lik Gino. Dia orang kepercayaan Dewa. Dia bisa bantu menghubungkan dengan Dewa."
"Lik Gino yang mana orangnya?"
"Yang memberi kita makan waktu rapat semalam."
"Di mana menemuinya?"
"Di rumah Dewa."
"O, kalau begitu ke rumah Dewa saja. Aku belum tahu."
"Kalau kamu maksa, kuberikan alamatnya saja," kata Beni.
"Makasih. Eh, tapi kalian kayaknya seperti melindungi Dewa."
Beni dan Joy tertawa.
"Ah, itu cuma perasaanmu saja," kata Beni.
"Ras. Beni saja, sejak peristiwa di reuni itu sampai sekarang, belum ketemu Dewa sama sekali. Dia sudah beberapa kali ke rumahnya," kata Joy.
"Apa karena yang sudah dicapai ini membuatnya sulit ditemui?" tanya Saras.
Beni, Joy dan Ismet saling berpandangan.
"Kamu salah paham, Ras!" kata Joy.
"Dewa tak seperti itu!" kata Beni.
"Bisa saja. Kan kalian saja berada ditempatnya, tentu kalian bersikap seperti itu. Jadi kalau ada yang bilang Dewa sekarang sombong, kenyataannya seperti ini. Untuk akses langsung saja susahnya minta ampun. Semua yang berhubungan dengannya seperti ada yang melindungi."
Beni, Joy dan Ismet diam tak menimpali. Mereka memaklumi karena Saras lagi kesal. Mereka tak bisa menyalahkan bila Saras memiliki pendapat seperti itu.
"Begini saja, Ras. Kerumahnya saja."
"Oke, thanks."