107. Kencan yang Terganggu.



Makan malam di restorant
hotel itu merupakan yang kedua kali bagi Dewa dan Lorna. Sejak meninggalkan mobil keduanya berjalan bergandengan. Tangan Lorna menggelayut di lengan Dewa. Malam hari suasana lobi nampak tenang. Namun Lorna tidak akan menyangka bahwa di malam hari ini di lobi hotel matanya bersirobok, menangkap bayangan Ronal sedang duduk di sebuah sofa dengan beberapa orang.
Ronal pun tersentak saat melihat Lorna melangkah anggun bergandengan dengan Dewa memasuki restoran. Untuk sesaat Lorna terpana. Namun segera sadar dan melemparkan pandangan berpura-pura tak melihatnya. Sadar jangan sampai Dewa mengetahui bahwa Ronal berada di tempat itu.
Irama jantung Lorna sempat berdetak kencang. Tapi berusaha dikendalikan, yang menciptakan perasaan resah bukan main. Takut terjadi masalah antara Ronal dengan Dewa.
"Kita pilih kursi yang pernah kita tempati," ajak Dewa.
Lorna tersenyum mengangguk. Keduanya lalu menempati kursi yang pernah mereka tempati saat pertama kali makan bersama di tempat ini.
"Makan apa kita, Dewa?" tanya Lorna
"Terserah, Lorna. Dewa ikut saja!" jawab Dewa seraya melepaskan jaketnya.
"Menu ikan?"
"Lainmya."
"Steik?"
"Boleh."
"Anggur?"
"Yang ringan saja."
Maka Lorna memilihkannya dari daftar menu yang kemudian dicatat pelayan. Wajah Lorna menampakkan kegusaran. Dari sudut matanya dilihatnya Ronal dan Timi sedang melongok di pintu, berusaha melihat ke arahnya. Lorna mengalihkan pandangan. Dipegangnya telapak tangan Dewa dan meremas jemarinya. Lorna melepaskan kaca mata Dewa, dan meletakkannya di atas meja.
"Selamat ulang tahun, ya De." ucapnya seraya tersenyum manis.
"Terima kasih." jawab Dewa membalas tatapan Lorna seraya membetulkan uraian helaian rambut ke sela atas telinga Lorna.
"Semoga Dewa panjang umur."
"Apalagi?"
"Banyak rejeki."
"Apalagi?"
"Sehat selalu."
"Apalagi?."
Lorna lantas mengecup pipi Dewa kanan dan kiri.
"Lorna mencintaimu!"
"Terima kasih. Itu yang penting buatku."
Batin Lorna terasa tertikam. Betapa tidak tertikam. Saat kebahagiaan dirasakan melandanya kini, disaat yang sama dirinya merasakan kegundahan yang luar biasa.
Apa yang dilakukan Lorna kepada Dewa diperhatikan Ronal dan Timi dari kejauhan. Membangkitkan perasaan kecamuk dalam diri Ronal. Kegeramannya ditunjukkan kepada Timi.
"Sial!" umpatnya.
"Dia tak layak buat Dewa. Dia sengaja memancingmu" Timi membakar emosi Ronal.
Lorna tidak tahu apa yang sedang dilakukan mereka di tempat itu. Menurut informasi Rahma, Ronal sedang membuka sebuah Cafe di Bali. Tapi apa hubungannya keberadaannya di tempat tersebut dengan Cafe yang dibukanya? Pertanyaan itu yang sempat muncul dalam benak Lorna.
Sementara Dewa belum menyadari kegelisahan yang dialami Lorna. Karena Lorna selalu berusaha mengalihkan pandangan maupun pembicaraan. Apalagi saat hotplate disajikan di atas meja. Dan mereka mulai bersama menikmatinya.
"Dagingnya empuk," kata Dewa.
Lorna mengangguk.
"Mau pesan dibawa pulang?"
Dewa menggeleng.
"Kita bisa mengajak kemari Grace dan Rahma besok."
Lorna tersenyum senang, sebab Dewa tak melupakan kedua sahabatnya itu.
"Kalau menu ikan. Kita bisa datangi tempat yang pernah ditunjukan Komang."
Namun mendadak Dewa tak melihat senyum di wajah itu. Wajah Lorna nampak tanpa ekspresi, hanya bola matanya saja yang mengekspresikan kekecewaan. Dewa masih belum paham kalau Lorna melihat Ronal dan Timi memasuki restoran. Dan mengambil tempat duduk tidak jauh di belakang kursi Dewa.
Hati Lorna berdebar.
Dewa mengerencitkan keningnya lalu bertanya.
"Ada apa?"
"Ah, enggak," jawab Lorna kembali mengunyah.
Dewa diam dan berhenti mengunyah. Berusaha mencari tahu akan perubahan wajah Lorna.
"Ada yang salah dengan ucapanku?"
"Tidak!"
"Lalu?"
Lorna meneguk minumannya perlahan, bermaksud meredakan keresahan di hatinya. Setelah itu menyeka bibirnya dengan serbet.
"Katakan ada apa?" tanya Dewa lunak.
Walau pertanyaan Dewa disampaikan dengan lunak, tetapi itu terasa semakin menambah keresahannya.
"Sudahlah, De. Kita nikmati makanan ini," Lorna berusaha agar Dewa tak mendesaknya.
Nada ucapan Lorna terasa asing di telinga Dewa.
Dewa kembali melanjutkan makannya. Tetapi perhatiannya tak bisa lagi dipalingkan dari apa yang kini tercermin di wajah Lorna. Lorna sendiri tidak tahu harus berbuat bagaimana, karena tidak ingin suasana hari istimewa Dewa menjadi rusak gara-gara kehadiran Ronal.
Akhirnya Dewa menyudahi makannya dan tak berniat melanjutkan. Dan Lorna pun menghentikan makannya. Memandang Dewa dengan kecewa.
"Katakanlah, ada apa, Na? Dewa mengenal betul ekspresi wajahmu. Sekecil apapun gangguan yang kamu alami, Dewa merasakannya." Dewa bertanya lembut.
Lorna menggeleng seraya mengatupkan matanya sesaat. Dalam hati membenarkan ucapan itu.
Tiba-tiba Ronal sudah berdiri di dekat mereka.
"Halo apa kabar kawan-kawan," kata Ronal dengan tertawa. Kedua tangannya berada dalam saku celananya.
Seketika itu, Dewa baru menyadari bahwa kehadiran Ronal yang menyebabkan wajah Lorna berubah tidak nyaman. Dewa membanting serbet yang baru saja dipakai menyeka mulut ke atas meja.
"De!" sela Lorna seraya menggeleng, mengingatkan untuk menahan diri.
"Di mana kulihat Lorna selalu kulihat Dewa. Sejak dulu mengekor terus."
Ucapan Ronal berusaha memancing emosi Dewa, tetapi Dewa tak bergeming, hanya memandang lunak pada Lorna.
"Ada urusan apa kamu di sini?" tanya Lorna pada Ronal.
"Mengkaji suasana pengunjung resto. Aku buka Cafe. Cobalah di tempatku. Kujamin gratis." jawab Ronal sambil memberikan sebuah kartu nama ke atas meja di depan Lorna. Tetapi Lorna tak menanggapi.
"Ya sudah. Aku sudah tahu. Aku tak mau barang gratis."
"Benar, sebab kau gadis kaya, siapa sih tak menginginkanmu. Sudah cantik, kaya pula."
"Kita sedang makan. Bisakah kamu kembali dengan urusanmu."
"Oke, aku berusaha mendapatkan alamat dan no teleponmu, tapi sulit sekali. Kebetulan kita bertemu. Kuharap bisa kudapatkan langsung."
"Ron, bisakah kau menghormati privasiku?"
"Oke, oke, sori...bisa kau berikan alamatmu?"
"Kembalilah ke kursimu, Ron."
"Atau harus melalui pengawalmu?"
"Ron!"
"Permisi. Kalian semakin akrab...." kata Ronal lalu kembali ke kursinya.
Dewa yang diam tanpa ekspresi tak menanggapi keberadaan Ronal di dekatnya. Sikap Ronal yang provokatif membuat Lorna cemas memandang Dewa. Lorna berusaha jangan sampai terjadi masalah antara kedua lelaki yang memiliki masalah sejak mereka masih di sekolah.
"Maafkan Lorna, De," kata Lorna.
"Kenapa harus meminta maaf?"
"Lorna kuatir ada masalah antara kalian."
"Tenanglah. Dewa bisa mengatasi."
Lorna terdiam. Nampak kebingungan. Untuk melanjutkan acara makan sudah tidak mungkin. Suasana hati keduanya telah berubah. Dewa lantas memanggil pelayan. Menanyakan pembayaran.
"Tapi kita belum selesai?"
"Kita sudahi saja."
"Bukankah Lorna yang harus membayar?" tanya Lorna.
"Sama saja, kan?"
"Lorna tadi sudah berjanji yang membayar."
"Sudahlah..."
Dewa memaksa yang membayar saat pelayan membawa struk tagihan. Lorna belum paham maksud Dewa memaksa membayar makanan mereka. Padahal sebelum berangkat sudah sepakat bahwa Lorna yang akan menraktirnya.
Lorna belum paham atas niat Dewa ingin tunjukkan kepada Ronal, bahwa bukan Lorna yang membayari makan itu.
Setelah itu Dewa berdiri membantu menarik kursi Lorna dan mengenakan switernya kembali.
Lorna lalu menggelayut pada lengan Dewa saat meninggalkan tempat itu. Mereka berlalu tanpa menegur Ronal dan Timi saat melewatinya.
Dewa melemparkan struk ke atas meja Ronal. Ronal hendak bangkit penuh emosi, tetapi tak dilanjutkan karena pelayan yang menerima tip dari Dewa sedang memperhatikannya.
Dewa menghentikan langkah lalu berbalik arah. Lorna berusaha mencegah, tapi terlambat.
"Dewa! Sudahlah!" pekik Lorna tertahan.
Dewa mendekati meja Ronal. Membungkuk mendekatkan wajahnya ke wajah Ronal. Menatapnya dingin dan berkata.
"Kamu sampah! Hidupmu masih di bawah ketiak orangtuamu."
Ronal melayangkan tangannya ke muka Dewa. Tangan Dewa lebih sigap menangkap pergelangan tangan Ronal.
"Jauhi Lorna! Pecundang!" bisik Dewa dingin.
Saat Timi ikutan bergerak membantu Ronal. Dewa mengarahkan jari telunjuk pada wajahnya.
"Diam kau! Aku tak punya urusan denganmu!"
Tiba-tiba Lorna menarik pinggang Dewa.
"Sudahlah, De! Jangan dilayani!"
Dewa lantas berdiri tegak. Wajah Ronal merah padam saat Dewa meninggalkannya.
"Jangan marah, De!" pinta Lorna saat mereka sudah berada di dalam mobil.
Dewa berusaha tersenyum untuk menenteramkan kecemasan yang dirasakan Lorna.
"Aku tidak marah!"
"Kalau tak marah lalu apa dengan sikap seperti itu?"
Tapi Dewa tak menjawab.
"Kalian membuatku takut!"
"Maafkanlah bila aku membuatmu takut."
Lorna menatap Dewa penuh iba.
"Bukan takut padamu Dewa. Takut kalian berkelahi seperti dulu."
Dewa terdiam. Lorna ikut diam.
"Kenapa Lorna beranggapan Dewa marah?" tanya Dewa kemudian.
Lorna tak membalas.
"Aku hanya menggertak!" lanjut Dewa dengan suara menggumam
Karena Lorna masih diam. Dewa menghentikan kendaraan. Menepi di pinggir jalan. Tak bisa berkosentrasi menyetir dalam situasi perasaan seperti itu.
Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Dewa tak tahu harus berkata apa. Lorna menatap jemari tangannya. Wajahnya gusar. Sesekali Dewa berpaling memandang Lorna. Gadis itu masih menunduk, masih memperhatikan kuku jarinya yang bersih.
"Bicaralah agar aku bisa tenang."
"Lorna bingung." jawab Lorna dengan suara lirih.
Dewa menarik nafas panjang.
"Maafkanlah aku..."
Lorna menggeleng perlahan. Dewa tak tahu isi perasaannya saat itu.
"Hari ini hari yang tak baik bagiku..."
Perasaan Lorna kian tertikam oleh ucapan itu. Berusaha agar matanya tak basah. Berusaha memalingkan wajah agar Dewa tak mengetahui bila ada butiran airmata bergulir menelusuri lembah hidungnya.
Dewa mulai menjalankan kendaraannya kembali. Tak ada lagi tujuan malam ini, selain kembali ke penginapan. Acara makan malam yang tidak diselesaikan, tak menyurutkan Dewa tetap bersikap wajar kepada Lorna. Namun mencoba bertanya sebelum memutuskan langsung pulang ke penginapan.
"Bagaimana kalau kita cari tempat lain untuk makan?"
Lorna menggeleng lemah, wajahnya masih berpaling agar Dewa tak tahu bahwa ada air berjatuhan dari bening matanya.
Wajah Lorna nampak muram saat bergegas masuk ke dalam penginapan, meski matanya sudah disekanya, Dewa menangkap itu.
Rahma dan Grace pada saat itu berada di lantai bawah menunggu kepulangan keduanya. Merasa keheranan melihat sikap Lorna yang bergegas naik ke kamarnya di lantai atas. Tidak menegur seperti biasanya.
"Kok cepat sekali pulangnya, De?" tanya Rahma heran kepada Dewa.
Dewa menjawab dengan anggukan.
"Kenapa Lorna?" tanya Grace pula.
Dewa mengangkat bahu. Kemudian naik menyusul ke atas.
"Ada apa?" tanya Rahma pada Grace.
"Entahlah!" jawab Rahma.
"Apakah mereka bertengkar?" Grace balik bertanya.
Rahma dan Grace saling memandang.
Dewa menyusul ke dalam kamar. Tapi tak menjumpainya. Dilihatnya pintu kamar mandi. Merasa Lorna berada di dalam. Lalu ke pintu itu perlahan. Mengetuk halus seraya memanggil lunak.
"Lorna! Bisa tolong dibukakan pintunya?"
Sementara dalam kamar mandi. Masih dengan pakaian lengkap, Lorna membasahi diri di bawah shower yang airnya mengucur deras. Di bawahnya Lorna terisak-isak menangis. Kali ini dia benar-benar melampiaskan kekesalan hatinya dengan menangis. Hatinya demikian kesal dengan kejadian yang baru saja dialami. Kesal sekali. Dia tidak tahu harus bersikap bagaimana kepada Dewa tentang peristiwa barusan.
Kenapa Dewa harus mengalami hari yang buruk? Kenapa hari yang seharusnya menjadi saat istimewa berubah menjadi hari tidak menyenangkan baginya? Kenapa lelaki baik ini harus merasakan ketidakbahagiaan disaat yang seharusnya merasa bahagia? Kenapa? Kenapa?
Dia mendengar pintu diketuk. Pasti Dewa. Semula ragu membuka kuncinya. Tapi perasaannya menggiringnya untuk melakukan itu, lantaran tak ingin menambah kekecewaan Dewa. Setelah membukanya lalu kembali ke bawah siraman air.
Dewa melihat slot pintu telah berubah dari warna merah ke biru, menandakan pintu bisa dibuka. Dengan perlahan daun pintu didorong lalu masuk ke dalam. Dilihatnya Lorna tersedu-sedu menangis di bawah guyuran air. Masih berpakaian lengkap yang dipakainya saat pergi. Dewa mendekatinya. Perlahan dilingkarkan tangannya memeluk pinggang gadis itu dari belakang. Mencium rambutnya. Mencium pipinya. Di bawah guyuran shower. Berusha menenteramkan kegundahan hatinya.
"Maafkanlah sikapku," bisiknya.
Ucapan Dewa kian membangkitkan tangisnya. Dewa lantas merengkuh dan membalikkan badannya sehingga berhadapan.
Tangis Lorna semakin meledak dalam pelukan Dewa. Air pun mengguyur keduanya yang masih berpakaian lengkap hingga basah kuyup.
"Maafkanlah Dewa, Lorna. Maafkanlah sikapku..."
Lorna menggeleng dengan dada berguncang.
"Kenapa harus kamu yang meminta maaf. Maafkanlah telah merusak hari istimewamu."
"Setiap hari bagiku tak ada bedanya. Lupakanlah hari ini. Tak apa, gadisku. Peluklah aku, gadisku. Peluklah aku..."
"Acara makan kita jadi batal, Dewa."
"Bisa kita perbaiki. Besok kita cari ke tempat lain."
Lorna menggeleng.
"Lorna sungguh minta maaf telah mengecewakanmu."
"Kau tak membuatku kecewa. Jangan karena bukan perbuatanmu, membuatmu merasa bersalah."
Lorna terisak-isak. Dadanya berguncang. Dewa berusaha meredakan tangisnya dengan mengelus punggung dan mencium pipinya.
"Lorna tahu Dewa marah kepada Ronal. Lorna takut, De. Lorna takut!"
"Apa yang kau takutkan?"
"Takut Dewa dipenjara seperti dulu setelah berkelahi dengannya."
Dewa mencoba tertawa.
"Mentang-mentang bapaknya hakim."
"Lorna takut, De."
Dewa tak menjawab. Dia hanya membelai wajah dan rambut Lorna yang basah.
"Tenanglah, gadisku. Dewa bisa mengatasinya. Pakaianmu basah." kata Dewa tanpa sadar.
Ucapan Dewa membuat Lorna tertawa di antara tangisnya.
"Pakaianmu juga," jawab Lorna
Keduanya kemudian tak kuasa menahan tawa. Lalu saling memandang. Dan Lorna kembali menangis.
"Aku mencintaimu, De. Lorna mencintaimu. Lorna tak ingin kehilangan kamu."
Dewa membelai wajah Lorna di bawah air yang mengucur deras. Membasahi segenap tubuh dari rambut hingga kaki.
"Lorna tak meragukan cinta Dewa. Sebaliknya Lorna kuatir Dewa meragukan cinta Lorna kepadamu."
"Dewa tak meragukan cintamu, Lorna."
"Tapi ucapan Ronal tentu mengganggumu?"
"Tentang apa?"
"Karena Lorna kaya."
"Sebutkan apa saja yang selama ini pernah kuminta dan kau berikan kepadaku, selain ponsel itu?"
Dewa menatap tajam ke mata Lorna yang diam menatapnya berurai airmata.
"Sorry..." kata Dewa kemudian.
Lorna tak menjawab.
"Aku butuh cintamu, bukan apa yang kau miliki," kata Dewa meyakinkan.
"Lorna tahu, De! Lorna tahu!"
"Jangan pikir aku tidak tahu pikiran mereka? Aku tahu apa yang ada dalam benak mereka. Mereka pikir aku memanipulasimu dan memanfaatkanmu."
Lorna berusaha menahan isaknya.
"Kalau aku seperti itu. Lebih baik tinggalkan aku. Aku tak layak buatmu."
"Oh, Dewa! Lorna tak punya pikiran seperti itu!"
"Aku tahu, Na. Aku tahu. Aku bisa menentukan hal terbaik yang menjadi pilihanku," kata Dewa seraya memeluknya kembali serta mencium rambutnya yang basah.
"Jangan tinggalkan aku, De!"
"Aku tak akan pernah meninggalkanmu."
"Jadikanlah aku pilihan terbaikmu."
"Kau pilihan terbaikku."
"Oh, Dewa!"
Lorna memeluknya kian erat.
"Karena itu mengapa aku mengikatmu dengan cincin ini."
"Oh, Dewa..." ucap Lorna seraya menciumi pipi Dewa. Lalu keduanya saling bertatapan lama di bawah bayang-bayang derasnya air yang mengguyur wajah mereka. Mata Lorna yang biru seperti batu sapir yang nampak timbul tenggelam dalam air.
"Aku tak berharap kamu menangis. Besok kamu harus shooting. Tentu akan berakibat tak baik."
"Nanti bantu Lorna mengompresnya..." kata Lorna dengan suara berat.
"Nanti kita kompres matamu, biar segar kembali. Aku cemas bila sampai sembab."
"Lorna sudah berusaha menahannya."
Dewa tersenyum
"Membendung airmata sama halnya berusaha menahan bendungan yang jebol."
Ucapan Dewa membuatnya tersenyum.
"Kita jadi mandi bersama," suara Lorna perlahan.
Dewa mengangguk. Dan Lorna lantas membiarkan saat Dewa melepaskan busananya yang basah. Dan tak lama kemudian pakaian mereka yang basah tertumpuk di antara kaki-kaki keduanya. Air shower yang mengucur deras kemudian bercampur dengan air panas. Dan air pun tak lagi dingin. Berganti dengan kehangatan yang mengguyur tubuh keduanya yang kemudian menjadi polos. Uap pun mulai berembun menutup permukaan sekat kaca.
Sesaat kemudian suara kucuran air bercampur helaan nafas Lorna yang tersengal. Bukan lantaran uap air yang memenuhi ruang kamar mandi.