106. Setelah Pesta Usai.

Setelah mengantar Komang ke mobilnya. Dewa kembali naik ke lantai atas. Kado ulangtahun yang berasal dari Grace dan Rahma dibawa Titi ke atas. Diletakkan di atas meja di ruang tengah. Dewa lalu memindahkannya ke dalam kamar. Grace dan Rahma masih menemani Lorna menghadapi para kru film dan manajemen Lorna. Mereka masih sibuk berbincang dan menikmati makanan yang ada.
Lorna memanggil Titi.
"Bawakan makanan ke atas. Letakkan di meja. Mas Dewa belum makan."
"Ya, Non!"
"Jangan lupa minuman buatku dan Mas Dewa."
"Baik, Non!"
Lorna masih duduk berhadapan dengan Imelda ketua tim manajemen, serta Erwin sutradara dan krunya.
"Jadi jam berapa besok kita jemput?" tanya Imelda.
"Kalian tidak perlu kemari. Telepon saja. Beritahu dimana kalian belanja. Kita akan menyusul dimana kalian berada," jawab Lorna.
"Kurasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan. Lebih baik kita kembali supaya semua bisa beristirahat untuk persiapan besok," kata Erwin.
"Oke, Er. Begitu lebih baik. Terima kasih kepada semuanya," kata Lorna lalu bangkit dari duduknya, yang diikuti yang lain.
Hari sudah gelap saat kru film meninggalkan penginapan.
Lorna, Grace dan Rahma bergegas kembali ke kamarnya di lantai atas.
"Kita mandi dulu ya Na?" kata Grace.
"Terimakasih ya. Lorna juga mau mandi dulu," jawab Lorna.
Rahma mencium pipi Lorna.
"Sori tadi Dewa mencium pipiku." kata Rahma.
Lorna tertawa kecil.
"Mau minta lagi?"
"Maunya di bibir." goda Grace.
Rahma tertawa.
"Bener nih?"
"Kita yang pingin menciumnya," kata Grace.
"Nanti kubilang ke Dewa."
"Husss. Cuma bercanda."
Lorna tertawa.
"Untuk kalian Lorna rela, kok," katanya sembari mencubit pipi Rahma.
Grace dan Rahma tertawa.
"Oke, kita pisah dulu. Nanti kita terusin lagi ngobrolnya," kata Rahma.
"Jangan! Biarkan keduanya bebas dulu!" sergah Grace.
"Ups... sori!" Rahma menutup mulutnya.
Saat memasuki kamar. Lorna melihat Dewa sedang duduk membaca di kursi di bawah jendela. Dewa tersenyum dan menyapanya.
"Hai! Sudah pulang semua?"
Lorna mengangguk perlahan melangkah mendekati. Lalu berlutut dan meletakkan wajahnya di atas pangkuan Dewa.
"Maafkan Lorna bila acara tadi tak berkenan bagimu."
Dewa tertawa datar dan mencium rambutnya.
"Semuanya sudah berlalu."
"Selamat ulang tahun, Dewa."
"Terima kasih. Bangunlah! Tempatmu disisiku bukan disitu."
Lorna lantas bangun dan duduk disampingnya. Dewa merengkuh pinggangnya agar rapat ke badannya. Kepala Lorna lalu menyandar ke bahunya.
"Aku senang kau begitu memperhatikanku."
"Lorna mencintaimu, De."
Dewa membalas dengan mencium keningnya.
"Aku tahu kau demikian mencintaiku. Kau mengingatkanku kepada Ibu, Ibu selalu membuat jenang abang bila aku berulangtahun. Kau mengingatkanku akan ucapannya kalau kamu seorang gadis yang pantas untuk dijadikan isteri."
Dewa menarik nafas panjang. Lorna merasakan helaan nafas Dewa seperti merasakan sesuatu yang mengingatkannya ke masa lalu.
Dewa kembali menatap mata Lorna.
"Maafkanlah bila aku menjadikanmu bukan isteri pertama."
Lorna menangkup kedua pipi Dewa.
"Tidak, De! Lorna tetap merasakan bahwa Lorna isteri Dewa yang pertama."
Dewa lantas memagut bibir Lorna, memilinnya sesaat. Mata Lorna terpejam disaat bibirnya dilumat sejenak.
"Tadinya aku mengharapkan kaulah isteriku yang pertama," kata Dewa setelah melepaskan pagutannya.
"Bagi Lorna tetaplah sama."
Dewa kembali memeluk Lorna. Mencium rambutnya yang harum dan tebal. Wajah Lorna dibenamkan ke dada Dewa. Mengajak agar Dewa tak membicarakan Nirmala.
Sementara angin malam terasa menyelusup masuk ke dalam kamar. Membuat Lorna mempererat pelukannya.
"Kita makan dulu. Kulihat sejak tadi kau belum makan."
"Aku hanya ingin istirahat."
"Nanti kita istirahat setelah makan," bujuk Lorna.
"Ajaklah Grace dan Rahma untuk makan dulu."
"Kita semua sudah makan. Atau Dewa ingin mengajakku bercinta?"
Dewa mengelus pipi Lorna yang lembut. Lalu mengecup bibirnya yang belum lama dipilinnya.
"Berada di dekatmu membuatku selalu ingin bercinta."
"Lakukanlah seperti janjiku saat di pantai tadi. Lorna milikmu."
Dewa tersenyum.
"Nanti malam saja seperti katamu. Bagaimana kalau Lorna yang mengajakku makan di luar?"
Tiba-tiba mata Lorna berbinar.
"Ide yang bagus! Kenapa tidak? Ini hari istimewamu."
Maka Lorna berbegas bangkit.
"Tapi aku bermaksud mandi dulu."
"Kau masih bersih dan cantik. Mandimu tiga kali sehari. Nanti setelah pulang kita mandi bersama."
"Hai!"
Dewa tersenyum.
"Kenapa tidak?" kata Lorna seraya mengangkat bahunya.
Lorna kemudian mengeluarkan sleyer untuk menutupi bahu. Dewa membantu mengenakan jaketnya. Keduanya sudah bersiap meninggalkan ruangan. Mereka harus berpamitan kepada Grace dan Rahma.
"Kita beritahukan mereka," kata Lorna yang kemudian mengetuk pintu kamar mereka.
Grace muncul di pintu.
"Hai! Rapi amat kalian berdua. Mau kemana?"
"Sori, kami tak mengajak kalian. Lorna mau mengantarkan Dewa mencari makan."
Rahma yang menyusul di belakang Grace kemudian berkata.
"Pergilah! Kalian berdua rayakan."
"Terima kasih. Sampai nanti ya?"
"Yuk, Grace! Rahma!" kata Dewa.
"Yuk, De. Berkencanlah!"
Grace dan Rahma memandangi Lorna yang melangkah anggun di sisi Dewa dengan memegang lengan tangannya. Serasi sekali.
Grace dan Rahma saling bertatapan lalu tersenyum.
"Berbahagialah keduanya," kata Grace lalu menarik tangan Rahma masuk kembali ke dalam kamar.
Tak lama kemudian keduanya sudah di jalan raya. Lorna belum bertanya kemana tujuan mereka karena pikirannya masih berkutat tentang foto kado buat Dewa.
"Foto itu membuatku terkejut."
"Kejutan buat kita berdua. Simpanlah kalau mau menyimpannya."
"Khususnya foto kita semasa sekolah itu."
"Simpanlah!"
"Badanmu masih langsing..." kata Dewa mengomentari postur tubuh Lorna dalam foto itu.
"Sekarang? Gembrot ya?"
"Lebih berisi."
"Dewa sudah melihat semuanya."
"Sekarang lebih seksi. Perutmu masih langsing. Pinggul lebar. Pahamu sekarang lebih berisi, seperti kaki belalang."
"Berduri?"
"Berbulu!"
Lorna tertawa.
"Dadamu lebih besar dan padat."
"Terus?"
"Bentuk tubuhmu bagus."
Lorna memandang wajah Dewa dengan sudut bibir menyunggingkan senyum. Pandangannya tak lepas dari setiap ucapan Dewa tentang bentuk tubuhnya. Ya, lantaran Dewa telah melihatnya secara keseluruhan.
Beberapa kali Dewa mengungkapkan keinginan melukisnya tanpa busana. Sebagaimana dalam lukisan-lukisan klasik. Tak keberatan terhadap keinginan Dewa. Karena selama hidup hanya Dewa yang telah dan boleh melihat bentuk tubuhnya tanpa busana. Dewa adalah harapannya menjadi pendamping hidupnya. Yang akan melahirkan anak-anak mereka.
"Hai. Melamun?"
Dewa menegurnya.
"Hanya Dewa yang telah melihat tubuhku," balas Lorna tersadar dari lamunannya.
"Aku tahu!" jawab Dewa.
"Kemana kita?" tanya Lorna.
"Ke hotel saat kau membelikan cincin ini," jawab Dewa seraya memandang cincin di jari manisnya.
"Aku yang traktir!" kata Lorna.
"Kamulah bosnya."
Jalanan Denpasar di malam hari terasa lengang.