51. Tak Sepaham.

Dewa bermaksud keluar mengisi bensin kendaraan. Lorna ingin ikut tetapi Dewa mencegah karena keperluannya hanya sebentar. Menurutnya lebih baik waktunya dimanfaatkan bersama Papi dan Mami sebelum mereka pulang ke Australia.
Mengisi bensin kendaraan bukan alasan sebenarnya Dewa pergi. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan yang tak ingin diketahui Lorna; Mampir ke telpon umum menghubungi Damayanti untuk menanyakan keadaan rumah dan Wulan. Lalu menemui Komang di rumahnya untuk menjelaskan soal pembayaran biaya penginapan. Sebab Dewa yang akan melunasi semua biaya mereka, dan meminta bantuan Komang menyelesaikannya dengan bagian administrasi. Keperluan lainnya menitipkan amplop berisi uang buat Nengah sebagai fee memandu orangtua Lorna kemarin saat pergi ke Bedugul dan Kintamani. Untuk urusan dengan Komang hal lain. Meski Komang keberatan Dewa berhitung soal penggunaan kendaraan. Tetapi Dewa menilai mobil Komang biasa difungsikan untuk disewakan kepada turis. Jadi Dewa tidak mau membebani dan merugikan. Dewa keberatan bila Komang menolak.
"De. Kamu jangan memperlakukan aku seperti itu," kata Komang keberatan atas sikap Dewa.
"Sudahlah. Kalau aku punya, kamu jangan tolak. Kalau aku nggak punya, aku minta tolong. Seperti waktu kita masih kumpul di Ubud."
Komang akhirnya tidak kuasa menolak keinginan Dewa. Bila keinginannya ditolak lain kali Dewa pasti enggan meminta bantuan padanya.
"Aku balik dulu ke penginapan. Mobilmu masih kupakai. Kalau tidak besok, mungkin lusa kukembalikan."
"Pakailah sesukamu. Aku masih ada kendaraan lain."
"Sampaikan terima kasihku ke Nengah."
"Beres!"
Kemudian Dewa kembali ke penginapan. Setiba di penginapan. Lorna langsung menarik tangannya untuk diajak ke lantai atas. Masuk ke dalam kamar Dewa. Mengajaknya duduk di tepi pembaringan. Wajah Lorna nampak muram. Dewa dengan tenang menyibakkan rambutnya yang coklat.
"Ada apa?"
"Tadi Mami mengurus administrasi. Tapi katanya sudah dilunasi sampai lusa. Mami bertanya ke Lorna. Apakah Lorna telah melunasi biaya penginapan semua? Lorna mau tak mau bilang ya. Karena Lorna berpikir Dewa yang melakukan itu. Kenapa harus begitu, De?" tanya Lorna seraya menatap tajam mata Dewa.
"Apa yang salah?"
"Itu bukan kebiasaan kami. Karena Mami yang akan menyelesaikan itu. Tanggung jawab biaya administrasi penginapan Lorna ambil alih. Kalau tidak akan timbul persoalan."
"Lalu, posisiku sebagai penumpang?"
"Dewa!" Lorna menyela roman wajah sedih .
"Bukan begitu, Dewa. Mami dan Papi tak ingin menjadi beban yang harus ditimpakan kepada Dewa," lanjut Lorna seraya mendekap kedua pipi Dewa dengan tatapan tajam.
"Lalu?"
"Nanti Lorna kembalikan semua biaya itu ke rekeningmu."
"Itu kan uangmu."
"Uangku, uang Mommy sama saja."
"Apa bedanya dengan uangku?"
"Dewa? Kenapa jadi sulit begini?"
"Kan sudah kubikin mudah."
"Oh, Dewa!"
Lorna menutup wajah. Muram.
Dewa tersenyum. Menyibakkan telapak tangan yang menutupi wajahnya.
"Rasanya tak nyaman perasaaku padamu." keluh Lorna.
"Bikin nyaman kenapa sih?"
"Tidak bisa Dewa."
"Aku tak merasa terbebani...."
Dewa melihat Mami di luar pintu bermaksud masuk ke dalam kamar. Dewa menarik Lorna ke dalam pelukannya. Lorna merasa perlakuan Dewa aneh.
"Hai, Mam! Silahkan masuk. Lorna di dalam sini," kata Dewa.
Awalnya Lorna terperanjat atas sikap Dewa. Jadi mengerti, sebab yang dilakukannya untuk menutupi apa yang tengah berlangsung di antara mereka berdua diketahui Mami. Dewa lalu melepaskan pelukannya.
"Masuk, Mommy!" kata Lorna ikutan.
"Ada yang kelupaan. Pakaian Mami dan Papi yang dilondre belum diantar," Mami menjelaskan.
"Biar Lorna telepon ke petugas."
Lorna lalu beranjak ke meja telepon menanyakannya. Setelah itu telepon diletakkan kembali.
"Sedang diantar kemari. Mami bisa tunggu di bawah. Mereka tidak tahu kalau Mami akan check out. Londrean biasanya diantar sore hari, Mom."
"Baiklah. Kalau begitu Mami tunggu di bawah karena koper mau Mami kunci."
Kemudian Mami turun ke lantai bawah.
Lorna berdiri bersandar dekat jendela. Melipat tangan. Memandang Dewa yang kemudian mendekatinya.
"Sudahlah. Lain kali kamu yang melakukan itu. Aku tidak tahu kalau hal seperti ini harus dipisah-pisah."
"Bukan dipisah-pisah. Tapi Dewa sudah banyak berkorban buat kami. Semuanya Dewa yang mengurusi."
"Jangan berlebihan. Bukankah ke Bali adalah perjalananku. Jadi itu semua jadi kewajibanku."
Dewa balas menatap mata Lorna. Wajahnya semakin didekatkan ke wajah Lorna.
"Bagaimana?"
Lorna terpaksa menyerah karena semua sudah terlanjur, dan tak ingin persoalan itu menjadi hal yang mengganggu.
"Ya, sudah!" jawab Lorna pasrah, "Lorna akan buat rekening tersendiri untuk hal-hal seperti ini. Lorna tidak yakin hal seperti ini tidak akan terjadi lagi."
"Maafkanlah kalau itu membuatmu sedih."
Lorna mengangguk.
"Ya, itulah perasaanku kini."
Dewa lantas memeluk pinggangnya dan menariknya ke dalam pelukkannya. Dahi keduanya beradu. Kedua mata keduanya saling memadu.
"Apa yang harus kulakukan untuk mengobati kesedihanmu?" tanya Dewa lembut.
Lorna tak menjawab.
"Jawablah!"
"Tak bisa, Dewa!"
Tapi Lorna merebahkan kepala ke bahu Dewa. Tangannya melingkar memeluk pinggang Dewa, membisu.
Kamarpun hening.
"Maafkanlah aku." bisik Dewa lembut.
"Kamu pria yang baik, Dewa." balas Lorna. Suaranya lunak.
"Suamimu..."
Lorna tersenyum haru. Pelupuk matanya mengatup untuk meresapi ucapan Dewa itu. Tangannya semakin erat memeluk pinggang Dewa.
"Pria baik harus menjadi suamimu."
Ucapan itu membuat Lorna tak segan-segan menyambar bibir Dewa dengan bibirnya. Gemas sekali.
"Kututup pintu dulu." bisik Dewa saat lepas dari pagutan bibir Lorna.
Setelah itu. Lorna dan Dewa harus merapikan pakaiannya kembali sebelum pergi meninggalkan kamar yang di dindingnya tergantung lukisan gadis Bali telanjang dada tersenyum lepas.