53. Pesan Tiket.

Untuk menghemat waktu. Dalam perjalanan pulang dari bandara Ngurah Rai. Mereka singgah ke sebuah travel biro. Untuk memesan tiket ke Jakarta esok lusa. Biasanya Lorna melakukannya via online.
"Pagi atau malam, Dewa?" tanya Lorna.
"Malam saja!"
Dewa membiarkannya melakukan pemesanan. Menghindari perdebatan siapa yang harus membayar. Karena masing-masing berkeinginan menanggung biayanya.
Petugas yang melayani tiket memperhatikan Dewa dan Lorna. Pasangan muda yang serasi. Yang lelaki elegan dan cool, yang gadis demikian anggun, dengan kecantikan bak aktris dan peragawati. Mata birunya memikat sekali. Senang melihat pasangan serasi dan harmonis seperti itu. Walau tak ada komunikasi lebih dari sekedar melayani tiket.
Setelah meninggalkan tempat itu. Dewa dan Lorna tak merasakan jadi perbincangan gadis-gadis penjual tiket.
Keduanya sudah berada kembali dalam mobil.
"Kita makan dulu, ya?" ajak Dewa.
"Yuk. Kemana?"
"Ke Sanur saja."
Tidak lama kemudian keduanya terdampar di pantai Sanur. Di restoran sebuah hotel yang memiliki pemandangan menghadap laut. Dipilihnya tempat itu karena berada dekat dengan pantai. Agar bisa bersantap sembari menikmati hembusan angin laut dan surutnya mentari di senja hari.
Menu makan Lorna mengikuti pola yang diinginkan Dewa. Sea food. Rajungan dan cumi-cumi. Air kelapa muda yang disuguhkan masih dengan tempurung. Mereka nikmati bersama-sama menggunakan sedotan plastik.
"Bagaimana job pak Robi?"
Dewa ingin tahu perkembangannya.
"Dalam proses proposal. Jakarta sudah kirimkan detil pekerjaan. Termasuk shooting di resor. Ada berbagai item yang harus dikerjakan bersamaan. Apa saran Dewa?" jawab Lorna.
"Terima saja tawaran membintangi iklan itu."
Dewa menatap ke laut lepas.
"Itu yang hendak Lorna tanyakan kepada Dewa. Lorna ingin minta persetujuan Dewa."
Dewa berpaling kembali menatapnya. Lorna sudah mulai menempatkan diri untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan untuk menjaga perasaannya. Dewa tidak ingin gadis itu bersikap seperti itu. Tak ingin menciptakan batasan apa yang boleh dan tidak hanya lantaran mereka sudah bersepakat mengikat tali kasih.
"Putuskanlah sendiri. Tak perlu meminta persetujuanku. Kalau sekedar pendapat tak apa."
"Tapi Lorna tak ingin menjadi perhatian."
"Aku mengerti," kata Dewa seraya menyuapi Lorna dengan potongan daging rajungan yang dicelupkan ke bumbu saus terlebih dulu. Lorna membalasnya dengan potongan daging cumi-cumi.
"Banyak tawaran membintangi berbagai iklan. Iklan resor ini kalau bukan lantaran Dewa, Lorna sebenarnya enggan."
"Kenapa? Ah, kenapa begitu?"
"Melihat story board yang dibuat di Jakarta, saat ini masih mencari bintang pendamping Lorna. Ah, sudahlah. Kenapa jadi mikirin pekerjaan."
"Dipikirkan sambil jalan siapa tahu menemukan solusi yang terbaik."
Dewa memberi Lorna gelas berisi air putih. Lorna minum dari gelas yang dipegang Dewa.
"Lorna hanya kawatir akibat membintangi iklan."
"Memangnya kenapa?"
"Akan membuat perasaan Dewa tidak nyaman. Tidak ingin mengganggu hubungan kita."
"Maksudmu cemburu?"
Lorna mengangguk menghindari tatapan Dewa.
Dewa tersenyum.
"Kenapa tersenyum?" tanya Lorna.
"Bertahun-tahun kita bersama. Hampir tiap hari bertemu di sekolah. Kalau menuruti perasaan seperti itu, mungkin akan jadi siksaan," jawab Dewa sembari memandangi wajah Lorna. Wajah yang bisa menciptakan ecemburuan.
"Jadi selama ini Dewa tak pernah cemburu?"
"Apa yang harus dicemburukan. Kan Lorna bukan pacar Dewa?"
"Lho!"
"Saat itu!"
"O..."
"Kenapa, lho?"
"Katanya cinta Lorna."
"Memang cinta. Tapi kita belum bersepakat kan? Saat itu!"
Lorna menatapnya tajam seakan menyesali kenapa saat itu tak terjadi kesepakatan tentang hubungan mereka ternyata lebih dari sebagai teman, sehingga kehilangan banyak kesempatan bersikap sebagai pacar Dewa saat itu.
Dewa menatap kepolosan wajah yang sedang diliputi kegundahan.
"Tapi Dewa bilang. Cinta tidak harus diucapkan?"
"Ya, tapi Lorna tak menangkap."
"Hei. Lorna menangkap perasaan itu!" sergahnya manja.
Lorna menyeka mulut Dewa dengan selembar tisu.
"Tapi mana kutahu? Aku hanya menghindari kenyataan yang barangkali tidak sesuai dengan harapan. Yang ada hanya keraguan."
Pandangan Lorna tiba-tiba sayu. Tersentuh akan jawaban itu.
"Jadi itu alasan Dewa tak yakin. Takut Lorna tak memiliki perasaan itu kepada Dewa?"
"Ah, tapi aku tak peduli diterima atau tidak."
"Nah, kan sudah merasakan feeling Lorna, kan?"
Dewa tersenyum.
"Tapi sulit mengutarakan."
Lalu mengajaknya pergi ke pantai. Menapaki pasir. Menikmati senja yang kian temaram.
"Seharusnya sejak dulu Dewa bilang."
"Ya. Saat itu. Aku tak punya keberanian mengatakannya. Kemampuanku hanya sebatas menunjukkan sikap, perhatian dan perasaanku yang berharap kamu menangkapnya."
Lorna mempererat pelukan melingkari pinggang Dewa. Apa yang dikatakan Dewa sesungguhnya yang juga dirasakannya ketika itu. Tetapi ada pertanyaan. Apa alasannya Dewa tidak mempunyai keberanian. Kalau dirinya jelas pasif, bawaan setiap perempuan. Bukan tidak berani. Akan timbul kesan tidak baik bila wanita mendahului mengatakan cinta.
"Kenapa tak ada keberanian?"
"Kecantikanmu."
Akhirnya Lorna turut tertawa geli.
"Kenapa dengan kecantikanku?"
"Pertimbangan saat itu aku bukanlah ukuranmu."
"Ragu?"
"Ya. Mungkin lebih dari itu."
"Apa lagi?"
Dewa menatap.
"Aku tak yakin. Belum menjadikanmu pacar saja. Kecantikanmu nyaris membuatku tak sanggup berada di dekatmu."
Lorna membalas tatapan Dewa. Alisnya terangkat. Tak mengerti dan merasa heran.
"Kenapa?"
"Banyak yang memusuhiku..."
Dewa tersenyum.
Lorna menggesekkan pipi ke pipi Dewa.
"Ternyata kecantikanku membawa bencana bagi Dewa," kata Lorna.
"Ironi sekali. Berkali-kali aku harus berkelahi untuk sesuatu yang aku sendiri tidak paham. Tapi yang jelas. Seperti itulah. Dekat denganmu. Dari situ semua masalah bermula."
"Akhirnya Dewa yang jadi pemenangnya. Iya kan," kata Lorna merajuk seraya memberikan bibirnya untuk dikecup. Dewa lantas membenamkan bibirnya ke bibir Lorna dengan lembut.
Angin pantai mengibarkan rambut Lorna.
Keduanya saling memandang setelah merenggangkan bibir yang baru saja saling memagut.
"Seperti menggapai mimpi. Kini kau menjadi tunanganku," bisik Dewa.
Lorna menjawab dengan mengatupkan mata sesaat.
"Lorna bahagia karena kini tak merasa sendiri."
Dewa memeluk tubuhnya dari belakang. Menghadap ke pantai. Memandang laut luas. Merasakan deburan ombak yang tiada berhenti.
"Lorna ingin setiap hari seperti ini."
"Kita akan seperti ini setiap hari."
"Besok tak akan sama sebab kita harus berpisah."
"Untuk sementara..." Dewa menghibur.
"Kunjungi Lorna, ya?"
"Pasti..."
"Jangan biarkan Lorna sendiri."
Dewa mempererat pelukannya.
"Tak akan kubiarkan..."
"Terima kasih, De."
"Kita pulang atau masih mau jalan-jalan?" tanya Dewa.
"Kita kembali saja. Lorna pingin mandi."
"Baiklah. Kita kembali saja. Kita tunggu hingga senja tenggelam."
Keduanya kemudian meninggalkan tempat itu. Seiring kegelapan yang kian menyelimuti pantai. Lampu-lampu di sekitar hotel sudah menyala sejak tadi. Di kejauhan. Di tengah laut. Lentera perahu nelayan yang berangkat melaut berkedip-kedip seperti cahaya bintang di langit.