54. Berita Koran.

Komang menelpon Dewa. Memberitahukan artikel Widi tentang dirinya sudah terbit. Ingin mengantarkan koran yang memuat artikel tersebut. Kalau tak mengganggu, akan ke tempatnya sekitar jam tujuh malam. Dewa tidak keberatan. Saat itu Dewa juga memintanya membawakan gitar untuk hiburan.
"Oke, De. Aku bawakan. Yang lainnya?"
"Cukup itu saja."
Lorna masih berada dalam kamar ketika Dewa menerima, sedang mengeringkan rambut memakai hair dryer. Tubuhnya masih terbebat handuk putih sejak keluar dari kamar mandi. Sambil mengeringkan rambut, dia juga sedang menjawab telepon Rahma.
"Aku sudah sampaikan, Ra. Tapi sepertinya masih enggan membicara reuni. Sejak kejadian itu. aku tahu Beni kesulitan bertemu Dewa. Beberapa kali sudah mencoba menemui, tapi waktunya selalu tidak tepat. Waktu itu ada aku di sana, Beni menghindar. Mungkin tak mau mengganggu keberadaanku di sana."
"Teman-teman melibatkanku di kepanitiaan. Alasannya aku dekat denganmu dan Dewa. Apalagi permintaan Reuni jadi meluas. Banyak yang komplin karena tak dilibatkan. Ada beberapa angkatan menuntut. Aku belum bisa memberi jawaban kalau belum dapat sinyal darimu."
"Bisa dimaklumi kalau mereka iri tak ikut reuni kemarin. Soalnya reuni kemarin kan hanya melibatkan tiga angkatan. Apalagi reuni kemarin itu gagasannya Beni. Alasannya hanya agar aku dan Dewa bisa bertemu."
"Tahu dari mana kamu?"
"Dewa."
"Busyet deh, Beni! Jadi itu akal-akalan Beni?"
"Mau diapakan lagi. Kalau Rahma mau terlibat ya baguslah. Lorna dukung. Tentang Dewa bagaimana nanti. Menurutku sih, tak ada persoalan bila menyangkut dia. Toh dia kan yang diundang bukan yang mengundang."
"Soal itu kuserahkan ke kamu saja. Kamu sekarang lagi ngapain?"
"Habis mandi. Ini lagi ngeringin rambut."
"Mandi basah ya?"
"Ngaco ah kamu."
"Kamu hebat, Na."
"Maksudmu?"
"Dapatkan dia."
"Hei?!"
"Padahal kita tahu. Banyak yang demenin dia."
"Hei ngomong apaan?!"
"Nostalgia tahu!"
"Nostagila kali!"
"Jujur. Aku sendiri waktu itu sempat berpikiran seperti itu."
"Hei, Ra. Sudah mabok ya. Kubilang ke Dewa lho," sergah Lorna.
Rahma tertawa ngakak.
"Bilang saja! Dia memang misteri. Kamu sendiri sampai tak tahu kalau dia mencintaimu."
"Stop! Jangan bahas nostagila itu."
Rahma tertawa.
"Terserah deh. Itu kan nostagila mu. Eh, mana dia?"
"Di kamarnya."
"Kamu nggak satu kamar?"
"Nggak! Kenapa?"
"Ya, bingung aja. Kenapa nggak satu kamar."
"Rahma makin ngaco! Aku mau pakaian dulu. Ini masih pakai handuk. Omonganmu bikin mumet. Dah, sudah dulu ya? Salamku ke Grace."
"Sampaikan sendiri!
Lorna tertawa.
"Ya sudah. Ntar kutelpon dia."
Rahma memutuskan hubungan.
Apa yang dibilang Rahma. Kenapa berada tak satu kamar. Membuatnya jadi berpikir. Pikiran Rahma ada relevansinya. Toh Mami dan Papi sudah pulang. Apalagi penginapan kini lengang. Kamar-kamar kosong. Keduanya berada kamar masing-masing. Tak ada suara lain kecuali suara mereka. Itu pun nyaris tak terdengar.
Lorna membenarkan Rahma. Kenapa mereka berdua tak memutuskan berkumpul satu kamar? Bukankah mereka selama menginap nyaris selalu tidur bersama? Apalagi, bukankah Dewa sudah meminangnya? Artinya Dewa sudah meminta dirinya pada orangtuanya untuk jadi pendamping hidupnya. Lalu kenapa masih tidur terpisah? Kalau urusan resmi dan tidak, itu kan soal legitimasi yang bisa diselesaikan berikut. Apa yang harus dicemaskan bila berdua dalam satu kamar? Apa yang harus dibatasi? Apa yang harus dihindari? Kalau dia sudah pernah melihatku dalam keadaan tak berbusana. Toh dia kini tunanganku. Kalau dia menginginkan keperawananku. Toh aku tidak keberatan dia mengambilnya. Seperti janjinya akan memerawaniku kelak bila benar sudah resmi. Cincin di jari manis ini sebagai simbol tanggungjawabnya bila sampai terjadi sesuatu yang menimpaku?
Lorna tersentak dari lamunan ketika pintu kamarnya tiba-tiba ada yang mengetuk dari luar. Lalu bergegas berpakaian. Takut bukan Dewa.
Kemudian membuka pintu.
"Mengganggu?" tanya Dewa yang menunggu beberapa saat di depan pintu.
Lorna tersenyum menggeleng.
"Ada Komang di bawah. Dewa akan turun menemuinya. Lorna masih belum siap?"
"Lorna menyusul sebentar lagi."
Keduanya saling memandang. Saling melempar senyum.
"Boleh aku memelukmu sebentar?"
Lorna mengangguk. Senang.
"Peluklah."
Lalu memberikan tubuhnya untuk dipeluk. Pelukan Dewa memberinya rasa nyaman.
"Kutunggu di bawah ya?"
Tak memerlukan waktu lama bagi Lorna untuk berpakaian. Setelah itu turun untuk mendampingi Dewa menemui Komang.
"Hei, Komang! Selamat malam," sapa Lorna sambil membawa tiga kaleng minuman.
"Selamat malam, mbak Lorna. Papi dan Mami sudah pulang ya." balas Komang.
"Iya."
Lorna meletakkan kaleng minuman ke atas meja. Di depan mereka.
"Silahkan diminum."
"Terima kasih."
Di atas meja tergeletak dua buah koran. Salah satunya terbuka. Sementara di atas sudut sofa tersandar sebuah gitar. Lorna sekilas menatap Dewa. Ingin bertanya gitar siapa itu. Tapi urung.
"Sudah kemana saja tadi?"
"Hanya ke Sanur Beach."
Lorna menempatkan diri duduk di samping Dewa. Menemani Dewa dan Komang berbincang. Pada kesempatan itu akhirnya Lorna ikut terlibat perbincangan. Karena Dewa mencoba memancing Lorna untuk berbicara perihal pekerjaan yang hendak ditanganinya di Bali. Karena dengan demikian siapa tahu ada solusi bila Lorna mengalami kendala menyangkut budaya Bali. Sebab iklan yang hendak ditanganinya tentang sebuah resor. Perlu sekali memasukkan nilai lokal yang tidak bisa dipisahkan. Siapa tahu bila Lorna membutuhkan segala sesuatu yang berkaitan, setidaknya Komang diharap bisa membantu.
"Prospek di sini sangat baik. Kenapa mbak Lorna tidak membuka cabang di sini?" tanya Komang.
"Bisa saja sih. Membuka cabang kan perlu kajian yang matang dan panjang. Apakah cost yang dikeluarkan akan sepadan dengan peluangnya. Tapi setidaknya saran itu sangat baik sekali. Fokus kita adalah menuntaskan job yang ada ini dulu. Karena hasil dari itu sebagai dasar untuk membuka peluang berikutnya," jawab Lorna dengan sikap yang tenang.
Lorna mengambil kaleng minuman untuk diberikan kepada Dewa. Dewa menerimanya lalu membuka penutupnya.
Dewa pun memahami apa yang dijelaskan Lorna, dan berpendapat akan kecermatan cara berpikir Lorna.
"Benar. Setidaknya perlu contoh, bukan sekedar dummy. Melainkan yang teraplikasi. Seharusnya seperti itu," Dewa menambahkan.
Lorna memegang paha Dewa seraya menanyakan tentang makan malam.
"Komang pasti belum makan. Bagaimana kalau kita ajak makan di luar?" tanyanya kemudian.
Dewa setuju.
"Biar Komang yang mencarikan tempat makan yang khas," kata Dewa ketika mereka sudah berada dalam mobil.
"Mau yang banyak mengandung sayur, daging atau makanan laut?" tanya Komang.
Dewa memandang Lorna.
"Bagaimana kalau sea food?" tanya Lorna.
"Ada tempat di sebuah pantai. Di sana masakkan kepitingnya enak sekali."
Maka Komang yang berada di belakang kemudi, membawa ke tempat yang dimaksudkan. Sesampai di tempat tujuan. Lorna langsung memesan tiga porsi komplit.
Tempat makan itu menyediakan sarana lesehan beralasan tikar. Yang digelar di atas pasir. Penerangan berasal dari lampu minyak yang digantung pada tiang bambu. Walau suasana tempat makan itu sederhana. Namun memberi kesan romantis dan artistik. Yang berminat untuk makan di tempat itu ternyata cukup banyak. Komang memilihkan tempat yang agak jauh dari keramaian pengunjung yang lain. Agar Dewa dan Lorna bisa menikmati masakan dengan suasana yang tenang tanpa terganggu.
"Kamu sering kemari?" tanya Dewa.
"Beberapa kali mengantar turis. Rata-rata mereka menyukai tempat ini. Tidak formal. Dekat air laut. Mereka suka suasananya. Natural."
Lorna melingkarkan sal ke leher agar tak terganggu terpaan angin laut yang bertiup. Ujung-ujung sal disibakkan ke belakang agar tidak mengganggu saat bersantap. Sejak datang aroma masakkan sea food sudah menebar sekeliling tempat itu.
Kelezatan daging kepiting dan cita rasa bumbunya membuat mereka menambah porsi. Dewa cocok dengan masakkan itu. Dia mengeluarkan kuah yang ada dalam cangkang kaki. Menghirupnya. Lorna senang melihat Dewa nampak menikmati. Dia pun ikutan lahap.
"Kapan-kapan kemari lagi," kata Dewa.
"Mau pesan dibawa pulang. Lorna pesankan?" tanya Lorna.
"Jangan. Di penginapan tidak ada yang makan."
Setelah selesai. Seluruh piring dan bekas mereka makan sudah dibenahi. Tempat mereka makan kembali bersih. Tinggal tiga gelas minuman di atas nampan yang tersisa.
Lorna membagi tisu basah kepada Komang dan Dewa.
"Besok kemana?" tanya Komang kepada Dewa.
"Belum tahu. Lorna pingin kemana besok?" tanya Dewa kepada Lorna.
Lorna menggeser duduknya agar dekat dengan Dewa.
"Terserah Dewa!" balas Lorna
"Perlu beli cindermata?"
"Kapan-kapan saja. Toh nanti juga kembali ke Bali untuk urusan itu."
"Atau mobilmu mau kamu pakai?" tanya Dewa kembali kepada Komang.
"Ah, enggak. Biar ditempatmu saja. Dipakai atau tidak biarkan di situ. Siapa tahu sewaktu-waktu pingin keluar tak repot cari taksi," jawab Komang.
"Lorna mau selesaikan pembayarannya dulu?" tanya Lorna.
"Masih mau pesan lagi, Kom?" tanya Dewa.
Komang menolak.
Lorna lalu pergi membayar apa yang telah mereka makan.
Udara malam terasa dingin. Angin laut yang bertiup membuat Lorna merapatkan sal di lehernya.
Sementara bulan di langit terhalang di balik kerimbunan pohon bakau di atas tempat mereka duduk. Beberapa nelayan nampak mulai menarik perahu mereka ke tengah laut. Malam seperti ini adalah malam yang baik buat mencari ikan di tengah laut. Berbekal penerangan lampu accu berharap mendapatkan hasil tangkapan yang banyak.
Lorna duduk bersimpuh di samping Dewa. Menemani berbincang dengan Komang. Kemudian menyandar ke tubuh Dewa. Lorna tidak ingin mengusik keasyikan percakapan mereka. Dia hanya mendengarkan. Menikmati buih ombak yang membentuk garis putih sepanjang pantai. Sesaat muncul sesaat menghilang. Sampai tanpa sadar matanya pun terpejam. Tertidur dengan wajah rebah di bahu Dewa. Dewa merengkuhnya agar tidak terjatuh. Membawa kedadanya.
"Sepertinya ngantuk berat," kata Komang.
"Biarkan tidur. Kita tunggu sampai bangun. Baru kita kembali."
"Jadi lusa langsung ke Jakarta?"
"Ada yang mau kubicarakan dengan pemilik Gallery yang mengundangku menyertakan beberapa gambar untuk dipamerkan."
Setelah Lorna terbangun. Dewa segera mengajak kembali ke penginapan.