55. Laiknya Bulan Madu.
Suasana penginapan sepeninggal orangtua Lorna pulang ke Australia terasa sepi dan lengang. Khususnya di lantai bawah. Karena kamar bagian bawah dalam keadaan kosong.
Dewa dan Lorna mengantar Komang ke tempat kendaraannya dipakir. Mereka berpisah di tempat itu.
"Sampai ketemu besok!" kata Dewa.
"Selamat malam, Lorna!" kata Komang.
"Selamat malam, Komang!" Lorna membalasnya.
Lorna berdiri di samping Dewa. Keduanya mengawasi hingga Komang lenyap dari pandangan. Dewa pun mengunci kendaran pinjaman Komang dan memastikan aman. Lalu kembali. Berjalan santai menuju tempat mereka. Dewa menggandeng tangan Lorna
Setelah mengunci pintu ruang depan. Lalu naik ke lantai atas.
"Gitar siapakah itu?" tanya Lorna.
"Komang. Kupinjamn buat hiburan."
"Mau dibawa ke atas?"
"Biar kubawa sendiri."
"Kalau begitu aku yang bawa makanan."
Lorna membawa makanan dan minuman ke atas. Agar tidak perlu turun ke lantai bawah bila perlu makanan. Sedangkan Dewa membawa gitar. Tak lupa koran yang diberikan Komang.
Sampai di atas Dewa menahannya ketika hendak masuk kamar.
"Ya?"
"Sudah mau istirahat?"
Lorna menggeleng.
"Mau mandi dan ganti pakaian."
"Baiklah. Kita mandi dulu."
"Kalau sudah selesai. Lorna tunggu di ruang tengah."
"Di kamarku saja. Aku tak akan membiarkanmu sendiri."
"Ya?"
"Kita satu kamar saja. Keberatan?"
Wajah Lorna senang seraya menggeleng.
"Lebih baik aku pindah ke kamarmu."
"Dewa pindah ke kamarku?"
"Ya. Bagaimana?"
Lorna langsung mengangguk.
"Barangku tak banyak lebih mudah dipindahkan."
Memang, bila dibanding dengan bawaan Lorna. Setelah Dewa masuk ke dalam kamarnya sendiri. Lorna bergegas masuk ke dalam kamarnya. Membenahi barang-barangnya. Kalau Dewa masuk untuk pindah ke kamarnya, sudah dalam keadaan rapi, terutama pakaian kotor yang belum diambil petugas penginapan untuk dicuci.
Apa yang pernah dipikirkannya ternyata dipikirkan Dewa. Karenanya, pintu kamarnya tak perlu lagi ditutup rapat. Kamarnya akan menjadi kamar mereka berdua. Lorna akan belajar beradaptasi dengan situasi itu. Seperti barang-barang pribadi tak perlu lagi disembunyikan dari hadapan Dewa. Apa saja yang dilakukannya tak perlu lagi menghindar dari perhatian Dewa. Demikian halnya bila mengenakan daster tidur, yang tipis, yang menerawang, bukan untuk mengusik birahi Dewa, tapi begitulah pakaian tidurnya. Meskipun begitu. Dia percaya pada komitmen Dewa yang menghargai privasinya. Dewa tak pernah memelototi tubuhnya bila sedang berganti pakaian, membuatnya merasa nyaman dan tidak risih.
Pikiran seperti itu dibawanya mandi. Tanpa sadar waktu berendam dalam bak mandi sudah berlangsung lama. Apakah kini Dewa juga sudah selesai mandinya? Lalu apa yang kini dilakukan? Membaca koran yang dibawakan Komang tadi?
Saat keluar dari dalam kamar mandi, ternyata Dewa sudah berada dalam kamarnya. Sedang merapikan barang-barangnya, seperti laptop, ponsel, kamera, handycam. Barang-barang Dewa sendiri sudah dimasukkan ke dalam almari, tidak terlihat satupun barangnya berada di luar, sehingga dalam kamar itu seakan hanya berisi milik Lorna.
"Maafkan Lorna lama di kamar mandi."
"Ah, santai saja. Kita ngobrol dalam kamar atau di teras?" tanya Dewa.
"Terserah, Dewa."
"Ya, sudah. Dalam kamar saja. Kita bisa langsung tidur bila mengantuk."
"Makanan dan minuman akan Lorna benahi dari kamar tengah. Kubawa masuk ke dalam saja."
"Dimasukkan ke lemari pendingin."
Tak lama kemudian keduanya sudah berada di atas tempat tidur. Dewa berbaring terlentang. Lorna telungkup di samping Dewa. Wajahnya rebah di atas dada Dewa. Baju tidurnya yang tipis hingga Dewa bisa merasakan kelembutan kulitnya. Juga memperlihatkan bentuk tubuhnya yang jelas terbayang. Menurut Dewa hal itu merupakan kepercayaan kepadanya.
Sebagai lelaki yang normal hal itu sesungguhnya mampu membangkitkan gairahnya. Namun dirinya sudah terbiasa berlatih menahan kegairahan. Antara lain bila kegairahannya terusik dirinya akan mencoba mengingat apa yang pernah berlangsung dalam kehidupan rumahtangganya bersama Nirmala. Yakni tak pernah menyentuhnya sebagaimana seorang suami terhadap isterinya. Bukan karena dirinya tak mau menyentuh. Tapi ada kesepakatan dirinya sendiri. Apa yang terjadi antara dirinya dengan Nirmala sebatas wujud pertolongan semata. Terlebih lagi disaat kemudian Nirmala mengidap penyakit yang pada akhirnya mengakhiri penderitaannya tak hanya fisik, melainkan bathinnya. Namun dirinya tetap memberikan perhatian dan kasih sebagaimana seorang suami. Dan itu membuat Nirmala demikian hormat terhadap dirinya. Dan Dewa tidak seharusnya memikul beban yang diakibatkan olehnya. Namun semua itu dipikul Dewa atas dasar rasa bhakti terhadap orangtua yang telah melahirkannya.
Untuk beberapa saat saling membisu. Hanya tangan Dewa mengelus belakang badan Lorna. Ada pesawat televisi yang menghadap sejajar mereka. Tapi tak pernah dihidupkan. Keduanya tidak suka ada televisi dalam kamar tidur.
"De?" Lorna mulai menyapa.
Dewa tak menjawab. Pikiran Dewa tengah masuk pada pusaran masa lalu dalam kehidupannya bersama Nirmala. Lorna memperhatikan pandangan Dewa yang kosong menatap langit-langit kamar. Beberapa kali memanggilnya dengan suara perlahan dan berbisik. Namun Dewa tetap tak bergeming.
Akhirnya Lorna tak sabar untuk menyentuh pipinya dengan elusan telapak tangan.
"Melamun?"
Dewa tergagap sejenak. Bereaksi dengan mencium rambut Lorna yang masih terasa lembab sehabis keramas. Aromanya harum. Menyegarkan nafas. Lorna membawa pencuci rambut sendiri walau di kamar mandi telah disediakan penginapan.
"Lorna ingin belikan cincin buat Dewa. Agar kita sama-sama memakai," Lorna melanjutkan ucapannya.
"Besok kita keluar untuk membelinya."
"Cincin yang buat Lorna ukurannya tepat."
"Kuukur saat Lorna tidur."
Lorna mencentil ujung hidung Dewa.
"Diam-diam ya?"
Dewa tersenyum.
"Kapan membelinya?"
"Kemarin saat mengambil berkasmu."
"Hei. Jadi itu maksudnya Lorna nggak boleh ikut."
"Sorry..."
"Rupanya mau bikin kejutan buat Lorna, ya."
Dewa memandangnya.
"Terima kasih. Memberi Lorna surprise..."
Kemudian hening.
"De?"
Dewa menjawab dengan mencium rambutnya.
"Kamu baik sekali."
Ruangan kembali hening. Sesungguhnya di lubuk hati Lorna ada pertempuran. Yang bermaksud mengutarakan sesuatu yang selama ini berusaha ditahannya. Barangkali. Sekaranglah saat yang tepat untuk mengutarakan itu. Tetapi dia kawatir Dewa akan menilai buruk. Dia hanya ingin tahu kenapa Dewa begitu tegar melihat dirinya tanpa busana. Pandangannya datar. Reaksinya tak berlebihan. Seakan dia sudah terbiasa dengan situasi seperti itu.
Barangkali dia sudah terbiasa melihat Nirmala tanpa busana. Juga karena sudah terbiasa melakukan hubungan suami isteri. Walau dirinya tidak tahu persis. Tentu Nirmala sebagai isterinya mustahil Dewa tidak menyentuhnya. Ada perasaan cemburu memikirkan itu semua. Karena keperjakaan Dewa telah diberikan kepada Nirmala. Berbeda dengan dirinya yang masih perawan. Karena memang hal itu dijaganya. Dan akan diberikan kepada lelaki yang akan mendamping hidupnya.
Tapi kekecewaan tidak dapat memperoleh keperjakaan Dewa tak sebanding bila tidak memperoleh cinta Dewa kepadanya. Mengingat apa yang terjadi terhadapnya sehingga harus menikah dengan Nirmala. Membuatnya menepiskan kekecewaan. Dia tak sepenuhnya menyalahkan Dewa.
"De?'
"Hm."
"Kok diam?. Bicaralah. Lorna senang bila Dewa bicara."
"Aku kurang suka bicara."
"Lorna tahu kalau Dewa tak suka bicara yang tak perlu. Tapi Lorna rindu kamu bicara. Bicara apa saja."
"Kepergianmu yang membuatku terbiasa dengan kesunyian."
Ucapan itu menghembuskan angin dingin di lembah sanubarinya yang paling dalam. Terasa sejuk.
"Hari-hari kulalui tanpa terlewati memikirkan keberadaanmu."
"Jadi selama ini Dewa memikirkan Lorna?"
"Kehadiranmu mengembalikan suasana yang lama hilang."
Lorna merapatkan wajahnya ke wajah Dewa. Lalu memandanginya.
"Maafkanlah sikapku."
"Tak ada yang harus kumaafkan karena tidak ada yang salah denganmu. Aku yang kurang memahamimu."
Telapak tangan Lorna mengelus pipi Dewa.
"Boleh aku mengutarakan sesuatu.?"
"Inilah gunanya kita berbicara seperti ini."
"Tapi dimaafkan ya kalau tak berkenan. Dan jangan beranggapan buruk."
"Beranggapan buruk bagaimana?"
"Mommy dan Daddy sudah menyetujui hubungan kita. Mereka menunggu kita putuskan, kapan resepsi peresmiannya akan kita tentukan."
Dewa mengecup lembut pipinya.
"Ah, kalau itu bukan hal buruk. Akte perkawinan itu legalitas formal harus dimiliki. Yang akan menjadi kepastian hakmu dan hakku. Yang bersifat mengikat. Tapi itu pun tak abadi. Bergantung pada komitmen dan sikap kita. Apakah akan bersama terus atau berpisah bila pernikahan itu sendiri sudah kehilangan makna."
"Bukan itu yang kumaksud."
"Lalu?"
Tapi Lorna masih enggan langsung mengutarakan hal sebenarnya yang ingin dikatakan.
"Seperti pendapat Dewa tentang cinta. Mengutarakan cinta dengan sikap. Kini kuutarakan cinta itu agar Dewa memahami bahwa Lorna mencintai Dewa. Tidak sebagaimana selama ini yang hanya Lorna pendam, walau tahu bahwa Dewa mencintai Lorna," Lorna mengatakan dengan suara perlahan.
"Bisa kupahami. Karena Dewa tak pernah mengatakan apa yang yang menjadi keinginan Lorna. Setidaknya kini Lorna tahu alasannya kenapa aku bersikap seperti itu. Bagiku. Makna cinta adalah pengorbanan. Memberi tanpa berharap imbalan. Rasa pesimistis membuatku bersikap diam berharap."
"Tapi Lorna rasakan kalau Dewa mempunyai perhatian khusus padaku. Hanya saja waktu itu Lorna tak berani mengungkapkan perasaan Lorna. Disamping ada perasaan bahwa Dewa seperti Lorna anggap sebagai seorang kakak. Dewa sendiri tahu. Lorna ingin sekali memiliki saudara."
Dewa tersenyum.
Lorna mengerenyitkan kening. Heran.
"Kenapa?"
"Sama."
"Sama bagaimana?"
"Lorna pun antara lain juga kuanggap sebagai adik."
"Oh..."
Keduanya saling tersenyum.
"Kita saling melengkapi," bisik Lorna.
Lorna membelai wajah Dewa dengan lembut. Dan kamar itu kembali hening. Dewa masih memeluk dan mengelus punggung Lorna.
"De?"
"Ya."
"Bagaimana perasaanmu kini?"
"Mimpi yang menjadi nyata."
"Kenapa?"
"Menyunting bidadari."
"Lorna tersanjung, De."
Dewa menggeleng.
"Kamu cantik sekali."
Memandangnya dan berkata dalam hati. Kecantikan yang kau miliki tak membuatmu besar hati. Itu yang membuatku terpikat.
Setelah lama dalam keheningan. Lorna mulai mencoba mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. Persoalan yang mengganjal.
"Selama ini. Hanya Dewa yang pernah dan boleh mencium bibir Lorna."
"Aku percaya."
"Selama ini hanya Dewa boleh melakukan apa saja kepada Lorna. Termasuk melihat tubuh Lorna. Kalau Lorna boleh berterus terang. Apakah Dewa tersinggung dengan sikap Lorna?" kata Lorna menatapnya lunak.
Dewa balas menatap mata birunya. Lalu mengecup ujung hidungnya dengan lembut.
"Kenapa tersinggung? Kita kan sudah saling mengerti dan saling mengikat."
Lorna diam sejenak. Tadinya ada keraguan. Berusaha memberanikan diri.
"De?"
Lorna tak melanjutkan ucapannya. Lama dalam keraguan. Membuat Dewa penasaran. Kenapa Lorna tak meneruskan kalimatnya.
"Kenapa diam?"
"Lorna mengijinkan Dewa malam ini mengambil kehormatan Lorna," kata Lorna melanjutkan dengan suara lirih namun cemas, kecemasan yang timbul bila Dewa beranggapan bahwa dirinya menginginkan hubungan intim itu. Cemas bila Dewa menganggap sikapnya vulgar. Tidak pantas disampaikan seorang wanita. Tetapi ucapan itu memang membuat Dewa terkesima. Membuatnya membalikkan badan. Telungkup di atas tubuh Lorna berbaring terlentang. Dewa membelai wajah Lorna penuh kelembutan. Memandanginya dengan teduh.
"Sebagai lelaki normal. Jujur. Dewa menginginkan itu. Tetapi. Dewa tak ingin menimbulkan kesan egois di mata Lorna. Dewa senang Lorna berani mengutarakan itu."
"Ngh..."
"Memang terasa berat bagimu mengatakannya. Tetapi yang perlu dipahami. Bagi Dewa kehormatan wanita adalah diatas segalanya yang harus terjaga dengan baik. Dewa tidak ingin melakukannya di sembarang tempat. Dewa ingin melakukannya di tempat yang sudah Dewa persiapkan dengan baik. Di rumah yang kita miliki. Di kamar kita sendiri. Di ranjang kita sendiri. Ranjang yang telah kita persiapkan. Yang bertabur bunga. Yang tanpa noda. Agar bila Lorna melepaskan kehormatan dalam suasana tanpa beban. Dalam suasana yang nyaman. Tanpa meninggalkan rasa bersalah. Mari kita jaga kehormatan itu sampai benar-benar siap melakukannya. Karena Dewa ingin peristiwa itu menjadi momment kita yang tak terlupakan yang terpelihara di tempat kita. Menjadi momment yang dirayakan oleh semua orang. Saudara-saudara kita. Sahabat-sahabat kita. Kawan-kawan kita. Semua handai taulan. Bukan di tempat seperti ini. Tempat yang menjadi persinggahan banyak orang silih berganti. Dewa tak ingin melepas kehormatanmu dengan kesia-siaan. Tanpa beban dosa. Tanpa beban rasa bersalah. Keagungan kehormatanmu ibarat sebuah kunci pintu masuk sebuah ruangan yang di dalamnya tersimpan barang berharga milik kita. Yaitu bayi-bayi kita. Bayi-bayi yang akan kita rawat penuh cinta kasih. Agar bila keluar dari pintu itu, kelak akan tumbuh penuh percaya diri. "
Dewa terdiam sejenak. Memandang tajam mata Lorna yang mulai berkaca-kaca. Namun bibirnya menyunggingkan senyum.
"Aku belum siap melakukannya, Na."
"Oh, Dewa."
Lorna lantas merengkuhnya ke dalam pelukan.
"Lorna siap kapanpun yang Dewa kehendaki."
"Aku tahu, Na."
"Hanya kuberikan kepadamu, De."
"Aku tahu, Na. Aku percaya."
"Apakah hanya karena alasan itu?"
"Siapa tidak tergoda. Kamu selalu menjadi pusat perhatian. Banyak yang memperebutkanmu. Aku tergoda melihat tubuhmu yang bagus. Dadamu yang padat, penuh dan sehat. Bentuknya yang indah, yang akan memberikan kesuburan dan kesehatan bagi bayi-bayi kita. Puting yang lunak, yang akan memberi kenyamanan sehingga bayi-bayi kita bisa tertidur pulas. Pinggul yang lebar dan bulat, yang akan memberikan kenyamanan bayi-bayi kita. Paha yang padat berlapis kulit lembut, yang akan menjadi tumpuan bayi-bayi kita yang kau letakkan di atasnya. Tak ada bagian tubuhmu yang tak membuatku tak terpesona. Aku ingin melihat semuanya. Tetapi aku tak ingin membuatmu rapuh. Tubuhmu ibarat sebuah lukisan. Keindahannya bisa dinikmati dengan memandanginya dan bukan menyentuhnya.
Lorna lalu memeluk Dewa dengan ketat.
"Aku mencintaimu, De. Kita akan lakukan sesuai keinginan Dewa. Kehormatanku adalah milikmu. Akan Lorna jaga hanya untukmu."
"Marilah kita jaga lukisan itu. Marilah kita jaga kehormatanmu. Marilah kita jaga cinta kita. Marilah kita songsong apa yang ada dihadapan kita. Marilah kita berpelukan. Mari kita berciuman. Mari kita lepaskan semua kerinduan ini. Tetapi mari kita jaga kehormatanmu. Ada tiba saatnya, sayang. Ada tiba saatnya. Mari kita tahan keinginan kita."
"Oh, Dewa. Kau memang Dewa pelindungku."
"Sudah cukup bagiku dengan mencium dan memelukmu."
Lorna mencium lembut pipinya. Bahagia karena Dewa memperlakukannya penuh hormat.
"Bisakah kita bercinta tanpa Lorna kehilangan kehormatan?" Lorna bertanya dengan suara berbisik nyaris suaranya tak terdengar.
Dewa memeluknya erat dan berbisik.
"Bisa, sayang! Melestarikan keperawanan memang membutuhkan banyak disiplin, kontrol diri dan ketabahan, karena kebajikan yang akan dituntut darimu ketika kamu menikah nanti."
"Oh, Dewa. Kaulah Dewaku. Kaulah yang terbaik."
Tak ada yang lebih melindungi serta mencintai selain lelaki yang kini memberinya kedamaian dengan ucapannya. Tak ada yang lebih dipercaya selain lelaki yang kini memberinya kehangatan dengan pelukkannya. Tak ada yang lain. Tak ada yang lain.