56. Heboh.

Dewa terjaga. Sudah pagi tapi suasana di luar masih gelap. Lorna yang memeluk tubuhnya ikut terbangun. Selimut mereka terdesak ke ujung kaki. Membuat tubuh mereka yang tak terbungkus pakaian nampak terbuka. Dewa menarik kembali selimut tersebut ke atas. Menutupi kembali tubuh keduanya.
"Moorning, Dewa," sapa Lorna.
"Pagi, Lorna!"
Lorna memeluk kembali tubuh Dewa.
"Jam berapa?"
Jam di dinding menunjukkan pukul empat lebih sepuluh menit.
"Jam empat!"
"Waktumu bangun..."
Lorna sudah memahami kebiasaannya. Sebelum turun tempat tidur. Dewa memberinya peluk. Merasakan kelembut tubuhnya. Membenamkan hidung ke pipinya. Menghirup aromanya. Membuatnya merasa diperlakukan penuh kasih sayang. Seperti yang dirasakan bila tidur bersama Mami. Ada persamaan kenyamanan yang diberikan.
"Boleh turut bangun?"
"Bukan kebiasaanmu."
"Memang. Tapi kini sudah bangun. Mau ikutan Dewa olahraga?"
"Baiklah."
Dewa melepaskan pelukan. Namun Lorna merangkul sejenak dan berkata.
"Terima kasih mengajakku bercinta semalam. Pertama kali bagi Lorna."
Dewa balas pelukannya. Ucapan itu adalah apa yang dikatakannya setelah mereka selesai bercinta semalam.
"Maafkan Dewa bila berlebihan."
"Jangan bilang begitu. Lorna bahagia, De."
Bercinta hingga tanpa merengut keperawanannya. Apakah itu berlebihan? Bercinta hingga tak ada batas lapisan yang menyekat kulit dan pandangan. Apakah itu juga berlebihan? Lalu apa yang tidak berlebihan kalau begitu? Demikian pertanyaan yang timbul dalam benak Lorna. Sebab Dewa tak melewati setiap bagian tubuhnya saat menggumulinya semalam. Ah! Semalam Dewa telah membuatnya terpekik dan menjerit kecil tanpa sebab. Membuatnya melayang tanpa pegangan. Ah, Dewa!
Lalu melepaskan pelukan. Menyusul Dewa turun dari pembaringan. Membereskan pakaiannya yang terserak. Daster dan pakaian dalam. Tanpa canggung membiarkan dirinya polos diperhatikan Dewa hingga selesai mengenakan trinning. Pandangan Dewa membuat dirinya merasa sebagai isterinya.
"Trinning Dewa di mana? Lorna ambilkan."
"Biarlah. Kuambil sendiri."
"Aku mau mandi, Dewa," kata Lorna karena merasa tubuhnya terasa bekas keringat semalam akibat bercinta.
"Mandilah, nanti kususul."
Lorna tersenyum. Artinya Dewa akan menemaninya mandi.
Saat Dewa masuk. Lorna sedang berendam dalam air di bathup. Lorna memperhatikan tubuh Dewa yang atletis. Tegap. Otot bisepnya berisi. Setahunya dulu dadanya tak memiliki bulu. Tapi kini sudah ditumbuhi. Apa yang dilalui semalam, semakin membuat cintanya kepada Dewa terasa lengkap. Betapa tidak. Benda pribadi Dewa yang baru pertama dilihatnya membuatnya semakin memperoleh kesempurnaan. Yang akan memberinya kepuasan lahir bathin.
Dewa pun tak risih bertelanjang di hadapan Lorna. Lalu masuk berendam bersama.
"Nggak jadi olahraga?" tanya Lorna yang kini bersandar di dada Dewa.
"Sudah semalam."
"Dewa, nakal!"
Lorna biarkan Dewa melakukan apa yang diinginkannya saat memeluknya, yag membuatnya memejamkan mata, menikmati sentuhan Dewa, menikmati pagutan bibir Dewa, membuatnya terlena, membuatnya gemas, membuatnya juga harus membalas sentuhan pada tubuh Dewa, membuatnya pasrah saat Dewa menuntun dan mengajarkannya sesuatu yang belum pernah terpikirkan, membuatnya bersemangat saat diajak Dewa mengunjungi nirwana, membuatnya kini mengenal apa itu bercinta.
Beberapa saat kemudian suara kecipak air dan lenguhan nafas Lorna reda. Tak ada lagi pekik tertahan dari bibir Lorna yang gemetar. Kecuali suara air yang mengucur dari keran.
"I love you, Dewa..."
"I love you, Lorna..."
Lorna memeluk Dewa sembari meredakan deru gemuruh dadanya. Setelah itu membersihkan badan tanpa terburu-buru, sebelum meninggalkan kamar mandi.
"Kita minum dan mengisi perut dulu."
Lorna menelpon meminta layanan kamar. Memesan minuman hangat dan kue brownis dan makanan lain. Membawanya ke teras. Dewa membantu membawa dua botol air mineral yang diambil dari 'bar kecil'. Lalu duduk bersama menikmati kue dan minuman hangat.
Suasana pagi yang sepi seiring langit yang kian tersibak. Udara pagi bernafas terasa segar. Melapangkan isi dada.
Rambut Lorna coklat dan lebat diikat ke belakang. Memperlihatkan lehernya yang putih dan jenjang. Dipenuhi rambut pirang yang lembut.
Dewa minum dari cangkir yang dipegang Lorna. Bagi Lorna, berada dekat dengan Dewa hidupnya terasa romantis. Belaian Dewa pada rambutnya seperti kebiasaan Mami kepadanya. Jauh dari Mami dan Papi tak lagi terasa sepi lantaran ada Dewa. Membiasakan hidup mandiri. Kehidupan Dewa mengajari tentang itu semua.
Dewa membuka koran yang belum sempat dibacanya. Koran kemarin dari Komang.
"Hei, itu kita?" Lorna berseru saat melihat halaman yang dibuka Dewa.
Lalu ikut membaca. Artikel perbincangan dalam wawancara kemarin.
"Bisa saja. Masak Lorna dibilang Si Mata Biru."
Dewa tersenyum.
"Sebutanmu di sma," kata Dewa
"Iya, Caption-nya berlebihan. Masak si mata biru sumber inspirasi Dewa."
"Itu felling Widi."
"Lorna nampak narcis. Numpang ngetop."
"Ya nggak. Perasaanmu saja."
"Korannya disimpan ya?"
"Simpanlah. Komang memberi dua. Buat Lorna satu. Satunya buat klipping."
"Tentu klippingmu banyak."
"Tahu dari mana?"
"Felling saja."
"Gino yang mengliping. Bila ada tentang aku. Selalu menggunting bagian itu."
"Kalau begitu boleh Lorna lihat klipping itu?"
"Siapa melarang? Tanya saja ke Gino."
"Oke. Nanti kupinjam padanya."
Jam lima. Satu jam kemudian. Dewa dan Lorna sudah berada di pantai. Lari santai. Kadang berjalan. Kadang berhenti. Lorna menikmati kebersamaan itu. Sikapnya penuh kemanjaan. Cermin sifat anak tunggal yang tak pernah kekurangan apapun. Minta dipeluk. Pelukan memberinya rasa aman dan nyaman. Lalu minta gendong. Karena itu membuatnya merasa disayang dan diperhatikan.
"Kita nanti beli cincin ya?" Lorna mengingatkan.
"Ya!"
"Jam berapa kita pergi?"
"Paling cepat jam sepuluh. Toko buka sekitar jam itu."
Setelah bermain di pasir dan di air laut. Dewa mengajak Lorna meninggalkan pantai. Sinar mentari mulai merayap di permukaan pasir. Kembali kepenginapan dan membersihkan diri. Setelah mandi kemudian sarapan. Menu yang disediakan penginapan seperti biasa. Ada nasi goreng. Telur dadar. Kerupuk udang. Hotdog yang dimatangkan dalam microwave. Roti potong serta selai kacang dan selai nanas.
"Besok ke bandara biar diantar Komang," kata Dewa saat Lorna bertanya kapan mobil Komang dikembalikan.
"Di Jakarta tinggal dengan siapa?"
"Pembantu."
"Lorna bawa mobil sendiri?"
"Nggak. Pakai sopir. Supir yang di rumah. Kan sudah berangkat ke Jakarta bersamaan kita berangkat ke Bali. Besok menjemput kita di Soekarno Hatta. De! Mobil di rumah tidak ada yang memakai. Maukah Dewa yang memakai?"
"Jangan!"
"Kenapa? Kan bisa untuk tranportasi Dewa."
"Sudahlah..."
Lorna tak mau memaksa. Dia sampaikan keinginan itu karena mobil itu jarang digunakan. Kalau dipakai setidaknya mobil terawat. Mesinnya pun selalu stand by. Tetapi tak bertanya lebih lanjut alasan penolakan itu.
Selesai sarapan Lorna sibuk menjawab telepon. Dewa memasang kabel power laptop ke stop kontak. Sebab batereinya lemah. Lorna menekan botton power.
"Terima kasih, De."
Dewa menepuk halus pundak Lorna seraya berbisik.
"Kalau perlu sesuatu. Aku di teras."
Lorna menjawab dengan anggukan. Dewa kemudian keluar kamar. Tidak ingin mengganggu privasinya. Setiap pagi sepanjang yang Dewa perhatikan. Lorna selalu disibukkan menerima telepon. Membuka sms. Membuka laptop dan online sebentar.
Namun belum lama Dewa berada di teras. Lorna berteriak memanggil.
"Dewa!"
Dewa bergegas ke kamar.
"Ada apa?"
"Sms dan emailku penuh komentar berita kita yang ada di koran!" kata Lorna merajuk kesal mau menangis.
'Memangnya kenapa?"
"Rahma bilang. Banyak terima telepon dari teman-teman. Menanyakan nomer telepon dan emailku. Bagaimana ini, De? Artikel koran itu sudah menyebar ke teman-teman."
Dengan manja Lorna memukuli dada Dewa.
Ponselnya berbunyi kembali.
"Grace! Dari Grace, De. Apa yang harus kubilang?"
Dewa mengedikkan bahu.
"Bantuin Lorna!."
"Bantu apa?"
"Menjawab..."
"Itu teleponmu!" Dewa bukan mau mengelak.
"Dewa di sini saja. Temenin Lorna. Jangan pergi!"
"Ya, sudah. Cobalah jawab dengan tenang. Kalau aku yang menjawab dari ponselmu, membuatmu makin sulit berdalih."
Lorna menerima saran itu.
"Hai...Grace. Apa kabar?"
Grace tertawa.
"Apa kabar? Ya, kabarmu yang apa? Sudah jadi selebriti ya? Mentang-mentang keasyikan honeymoon di Bali lupa ngasih kabar. Teman-teman pada ribut bicarain kamu dan Dewa. Terutama Dewa. Mereka bilang. Sekarang sombong. Sulit ditemui. Nggak mau ngumpul. Reuni kemarin kan dia sama sekali nggak kelihatan. Nggak mau ketemu kawan-kawan. Mereka jadi tahu sekarang. Ternyata kalian sudah berpacaran lama, tapi nggak bilang-bilang. Kalian pandai menutup rahasia."
"Hei... hei...tunggu dulu!" Lorna menyela, "Maaf kan Lorna dan Dewa kalau membuat mereka berpendapat begitu."
"Nah, sudah jadi pembela Dewa ya?"
"Bukan... bukan maksudku seperti itu. Kita kan tahu betul siapa dia."
"Terus?"
"Itu semua salah paham saja."
"Makanya bagaimana caranya agar mereka semua tak salah paham. Kalian harus memberi jawaban. Ikut reuni lagi atau enggak. Soalnya Rahma yang ditunjuk ikut jadi panitia belum bisa jamin kalian datang."
"Hei. Soal itu. Lorna jamin Dewa pasti datang. Hanya masih enggan membicarakan. Lorna belum tahu alasannya. Barangkali esensi reuni berikut tujuannya harus dijelaskan. Jadi jangan melibatkan kepentingan pribadi. Kurasa begitu, Grace."
Dewa menatapnya.
"Kenapa?"
"Memangnya Rahma belum ngasih tahu kamu?"
"Soal apa?"
"Ya, soal reuni kemarin."
"Ada apa dengan reuni kemarin?"
"Reuni kemarin itu kan akal-akalan Beni untuk mempertemukan aku dengan Dewa."
"Hey, fitnah lho."
"Mana pernah Lorna bohongin kamu, Grace!"
"Dari mana kamu tahu itu akal-akalan Beni?"
"Dewa."
"Hah?"
"Iya."
"Masak sih? Tapi kamu kan yang diuntungkan."
"Ah, Grace. Maksud Beni sih baik. Tapi kalau sampai ada yang tahu duduk persoalan sebenarnya. Reuni berikut nggak bakalan ada datang. Bahkan bisa jadi sarana character assasination"
"Karakternya siapa."
"Kamu ini gimana. Ya, Aku dan Dewa!"
Dewa mengangkat alis mata.
"O, barangkali itu alasan Rahma tidak memberitahuku."
Ada nada telepon masuk.
"Grace ada telepon masuk. Sebentar. Nanti kutelpon."
"Oke, si mata biru." Grace menggoda.
Lorna tertawa sengit. Menerima telepon berikut.
"Hei, Dini ya?"
"Iya, Na. Sudah baca emailku?"
"Barusan. Lorna ikut kok. Kalau soal Dewa coba tanyakan kepadanya sendiri. Emailnya? Memangnya Dewa punya email."
"Lho, kok malah tanya."
"Aku nggak punya. Sungguh!"
Dewa menyandarkan kepala ke punggung sofa sambil memejamkan mata. Lorna yang ditemaninya masih sibuk menjawab telepon masuk. Tiba-tiba Dewa bangkit memberesi laptop Lorna. Lorna memperhatikan apa yang dilakukannya. Dewa mematikan komputer tablet Lorna. Cara mematikan. Cara keluar dari browsing online. Cara keluar dari aplikasi. Hingga men-shuts down. Membuat Lorna terpana. Sepertinya Dewa memahami komputer.
Laptop dibenahi. Dimasukkan ke dalam tasnya. Lalu berbisik ke telinga Lorna yang masih terpana memandangnya.
"Masih ingin beli cincin?"
Lorna tergagap. Itu yang terpenting di atas segalanya.
Beberapa saat kemudian mereka sudah meluncur di jalan. Lorna masih terdiam. Ponselnya tidak dibawa. Untuk mengisi baterai bisa dilakukan di mobil. Tetapi Dewa meminta untuk ditinggal. Bukan lantaran baterainya yang lowbad. Tetapi Dewa tak ingin Lorna terganggu telepon.
"Dewa bisa mengoperasikan komputer?"
Dewa tertawa renyah.
"Anak kecil pun bisa,"jawab Dewa pendek.
Lorna menggelengkan kepala.
"Maksud Lorna. Cara Dewa tak seperti anak kecil mengoperasikan komputer."
Dewa tersenyum.
"Lorna lihat Dewa familiarsekali dengan komputer."
"Di masa sekarang siapa sih yang tidak paham komputer."
Lorna terdiam. Lorna tidak yakin kalau Dewa tahu komputer hanya sekedar mengoperasikan. Tentu lebih dari itu. Bila pengguna komputer familiar tanpa melalui menu. Itu mengindikasikan pengguna sudah terbiasa. Selama ini Lorna pikir Dewa blank soal komputer. Setidaknya yang terbersit dalam benaknya selama ini Dewa menjauhi piranti itu. Tapi nyatanya Dewa familiar. Bila teringat saat di pantai Kuta. Dewa juga familiar dengan piranti digital seperti handycam dan kamera digital. Hasilnya pun ketika ditransfer ke dalam laptop. Hailnya luar biasa. Lorna yakin hasil bidikan Dewa bukan suatu kebetulan. Hasil bidikannya profesional. Dirinya tak merasa menyetel diafragma maupun pencahayaan ataupun fitur kameranya. Ah, Dewa ada apa denganmu. Kejutan apa lagi yang belum kamu tunjukkan.
"Hai!" Dewa menyapa Lorna.
Dewa menggerak-gerakkan tangannya di depan mata Lorna.
"Melamunkan apa. Ayo kita turun."
"Oh, sudah sampai?" tanya Lorna tergagap.
"Benarkan? Sekarang jadi banyak pikiran. Kita lupakan komputer. Kita lupakan ponsel. Kita cari apa yang Lorna mau. Setuju?"
Kemudian dan Dewa bergandengan tangan menuju toko di mana Dewa pernah membeli cincin yang kini ada di jari manis Lorna. Sepanjang jalan keduanya menjadi perhatian. Keduanya seperti pasangan selebriti.
Mereka sampai ke tempat yang dimaksudkan Dewa.
"Selamat siang!" Lorna menyapa ke penjaga toko.
Kemudian keluar perempuan yang dulu melayani Dewa. Pemiliknya.
"Selamat siang. Oo, Mas yang itu ya? Apa yang bisa dibantu?" jawabnya seraya melihat Dewa.
"Seperti kemarin, Cik. Saya mau pesan lagi. Tapi untuk ukuran jari tangan saya."
"Kalau dulu buat perempuan. Sekarang buat si Mas."
"Carikan motif yang sama dengan yang dulu," kata Dewa.
"Yang mana ya? Gua lupa?" jawab pemilik toko.
Kemudian Lorna mengulurkan tangan. Memperlihatkan jari manisnya. Perempuan itu memandang Lorna. Terkesima.
"Jadi ini? Pacar si Mas?" tanyanya.
"Kalau sudah pakai cincin bukan pacar lagi, Cik. Ya tunangan atau isteri."
"Kapan married."
"Sekarang!" jawab Dewa.
Yang ada di toko itu semua tertawa. Dewa dan Lorna kini menjadi pusat perhatian. Maka pemilik toko segera melayani kemauan Dewa dan Lorna. Menemukan pasangan cincin di jari manis Lorna. Kemudian Lorna menuliskan kata untuk cincin tersebut. Setelah itu keduanya menunggu. Lama waktunya seperti saat Dewa menunggu cincin yang di jari Lorna diproses. Lorna tak merasa risih lagi menjadi pusat perhatian. Karena keberadaan Dewa membuatnya percaya diri. Lorna menggelayut manja di lengan Dewa. Mereka yang melihatnya senang melihat pasangan ganteng dan cantik itu.
Apalagi saat cincin sudah selesai dikerjakan dan Lorna selesai dengan urusan pembayaran. Maka detik-detik yang membuat mata Lorna yang biru berkaca-kaca adalah saat dia langsung menyematkan cincin itu ke jari manis Dewa. Dewa mencium kening Lorna dengan lembut. Sesaat kemudian terdengar tepuk tangan di sekitar mereka. Rupanya yang menyaksikan turut bergembira.
"Oke, Cik. Terima kasih. Selamat siang!" kata Dewa.
"Terima kasih, Tante!" kata Lorna.
"Budha memberkati kalian. Selamat ya. Semoga langgeng sampai tua. Kalian seperti Sam Pek Ingtay!" kata pemilik toko emas itu.
Lorna dan Dewa membungkuk bersamaan.
"Kam sia, Ce!" kata Dewa.
Lantas Dewa dan Lorna meninggalkan tempat itu diiringi pandangan mata yang terpesona.