57. Cincin.



Pulau Dewata telah mengembalikan Dewa kepadanya. Pulau Dewata telah mewujudkan apa yang selama ini menjadi impiannya. Memiliki Dewa. Mengenakan cincin yang diberikan Dewa sebagai tali pertunangan wujud ikatan cinta, untuk saling memiliki. Lantas tinggal apalagi? Tinggal resepsi peresmian. Dan dimana serta kapan akan dilangsungkan? Setidaknya itu yang ada dalam benak Lorna ketika Dewa mengajaknya makan siang di sebuah hotel. Merayakan apa yang telah terjadi di antara mereka berdua semenjak bertemu di Surabaya.
Di restoran sebuah hotel. Lorna ingin suasana seperti keinginan Dewa yang pernah diutarakannya. Dirinya pun menginginkan hal serupa. Untuk itu dia memesan meja serta pemilihan menu dan suasana yang dimaksud. Dewa menyerahkan sepenuhnya kepadanya karena telah terbiasa menjamu kliennya di restoran dalam situasi apa pun. Jadi dia paling tahu apa yang pantas disajikan pada situasi seperti itu.
Sekalipun di luar cuaca cerah dengan langit biru tanpa awan. Serta sinar mentari demikian menyilaukan. Tak seperti di tempat mereka duduk kini, suasananya temaram, lengkap dengan cahaya lilin, sebotol anggur beserta gelasnya. Lorna sengaja memesan suasana seperti itu. Suasana yang menjadi keinginan Dewa untuk mengajaknya berkencan. Agar terasa romantis di kala menikmati hidangan seperti keinginan Dewa.
Dewa tak lepas-lepas memandangi wajah anggun di hadapannya. Cahaya lilin kian menambah pesonanya. Rambutnya yang coklat. Matanya yang biru. Bibirnya yang berbentuk daun pirus. Dagunya yang bulat. Kulit wajahnya yang nampak seperti pualam. Mulut yang mengunyah perlahan tanpa terbuka. Ah, inikah gadis yang sekian tahun lalu pernah dikenalnya? Yang kini nampak dewasa. Namun masih seperti dulu penuh kemanjaan.
Lorna meletakkan tangannya ke atas meja. Memperlihatkan cincin yang ada di jari manisnya. Cincin itu nampak berkilatan memantulan cahaya lilin. Dewa melakukan seperti yang dilakukan Lorna. Menyandingkan kedua cincin tersebut. Lantas kedua tangan keduanya saling mengait. Wajah Lorna nampak ceria. Menunjukan kebahagiaan yang tengah dirasakannya.
"Terima kasih telah meminangku."
"Sebelum kedahuluan dipinang orang lain."
Lorna tersenyum.
"Siapa?"
"Entahlah!"
"Cemburu? Tak ada Dewa! Hanya kamu, Dewa! Sejak dulu hanya ada Kamu! Tak ada siapa-siapa, kecuali kamu!"
Dewa tersenyum.
"Hanya menggoda!"
"Sungguh tak ada orang lain!"
"Hanya menggoda!"
"Sejak kelas satu, sejak mengenalmu, sejak kamu titipi aku bunga bougenvile..."
Dewa melihat bola mata Lorna berkaca-kaca. Tak menyangka ucapan yang bermaksud menggoda ternyata menusuk dalam ke relung hatinya. Apalagi sampai menyinggung bunga bougenvile. Ah, itu sudah lama sekali. Tentu reaksi Lorna tak main-main.
Dewa lantas segera bangkit mendekati dan memeluknya sebentar sebelum kembali lagi ke kursinya.
"Maafkanlah aku. Ucapanku tak bermaksud sungguh-sungguh."
"Tak ada orang lain di hatiku selain kamu, Dewa. Sungguh..."
"Aku tahu. Aku percaya. Bagaimana dengan bougenvile itu?"
Lorna tak bisa menjawab. Hanya menggeleng lemah. Tapi kemudian menjelaskan seraya menyeka pelupuk matanya yang basah.
"Tetap kusimpan. Hanya lupa menaruhnya," jawabnya dengan suara perlahan.
"Lorna simpan?"
"Ya, kenapa? Lorna tak membuangnya."
Dewa terdiam sesaat. Mencoba berpikir apa yang dilakukan Lorna terhadap bunga bougenvile itu. Bahkan dia sendiri telah lupa. Dan tak menyangka kalau Lorna akan menyimpannya hingga kini.
"Apa yang membuatmu menyimpannya?"
"Kan Dewa yang menitipkan pada Lorna ketika itu."
Dewa terdiam menatapnya.
"Kalau ketemu akan Lorna kembalikan padamu," ucap Lorna lirih.
"Kenapa?"
"Kan Dewa menitipkan untuk kujaga?"
Dewa tersenyum.
"Biarkan tersimpan. Itu simbol cintaku padamu!"
"Dewa?"
"Ya, mengungkapkan cinta bila tak berani berterus terang bisa dilakukan dengan bahasa simbol."
Ucapkan Dewa membuat Lorna tersenyum.
"Jadi, aku mencintaimu juga saat pertama mengenalmu. Pertama karena setelah kuperhatikan, kamu ternyata tidak hanya cantik diluar, tapi di dalam, iner beauty."
Lorna lantas mencondongkan tubuhnya ke depan, memberikan bibirnya agar bisa dikecup. Dewa lantas mengecup bibirnya penuh kelembutan. Lorna meresapi penuh perasaan dengan mata terpejam. Bibirnya basah sepeninggal Dewa menyudahinya.
"I love you, De!"
"I love you, juga, Na!"
"Hanya Dewa yang ada dalam hidup Lorna."
Dewa mengangguk untuk meyakinkan.
"Aku tahu!"
Lorna suka sekali menyuapi Dewa. Dia memberi suapan sepotong sayur pada ujung garpunya ke mulut Dewa.
"Banyak makan sayur, ya?"
Dewa mengangguk.
"Di kebun belakang, Gino menanam banyak jenis sayur"
"Oh, ya?"
"Jadi kalau perlu sayur tak perlu belanja. Belum lihat, ya?"
"Belum. Habis Dewa tak pernah mengajak Lorna berkeliling."
"Nanti kalau Lorna pulang. Bisa diantar Gino berkeliling. Gino yang memasak di rumah."
"Oh, ya?"
"Atau kalau Lorna ingin memasak sendiri. Bisa petik sendiri sayurannya?"
"Wow, boleh. Kita bisa masak bareng. Boleh nanti kita ajak Rahma, Grace, Dini, Tari, teman-teman ke sana."
"Rumah Dewa juga rumahmu."
Bola mata Lorna berbinar.
"Lorna bisa mengajak mereka menginap."
"Sesukamu."
Mata Lorna kian berbinar. Dewa mengangguk.
Sejak pertama kali sampai beberapa kali mengunjungi rumah Dewa, belum sekalipun Lorna melihat apa yang ada di sekitar rumah Dewa. Bahkan bangunan induk hanya beberapa kamar sempat dilihat. Apalagi studio tempat Dewa bekerja, sama sekali belum dilihatnya. Karena dia tidak berani masuk kalau bukan atas ajakan Dewa.
Dewa menuangkan anggur ke dalam gelas. Kini mereka mulai minum anggur.
"Sedikit saja!" kata Lorna.
"Sedikit?"
"Ya, kalau menuang sebatas ini," Lorna menjelaskan, ujung jari menunjuk pada dinding gelas.
"Kalau nggak habis?"
"Ya dibawa pulang. Kan kita bayar satu botol ini. Nanti minta tolong pelayan untuk memasukkan ke dalam tas. Supaya bisa dibawa pulang."
Dewa mencoba mencicipi anggur itu. Karena belum terbiasa. Minuman itu terasa menyengat di langit-langit mulutnya. Antara panas, manis dan getir. Tenggorokkannya terasa seperti tercekik.
Dewa menyeringai. Lorna menahan tawa sembari menutup mulutnya dengan kain serbet.
"Belum pernah?" Lorna bertanya.
Dewa menggeleng.
"Beer?"
Dewa menggeleng.
"Ya sudah. Jangan diminum. Biar saja. Jangan dihabiskan. Sisa di botol kita bawa pulang ke penginapan."
Dewa kemudian mencuci mulutnya dengan minum air jeruk.
"Lorna juga minum sedikit," kata Lorna seraya meminum anggurnya sedikit demi sedikit.
"Entar mabuk..." Dewa mengolok.
"Biar saja. Biar Dewa yang menggotong Lorna ke mobil."
Mereka melanjutkan makan kembali dengan santai. Sambil berbincang. Banyak yang diperbincangkan. Tetapi perbincangan tak mengungkit sedikitpun saat mereka berdua berpisah. Perbincangan seputar saat-saat mereka masih berkumpul. Karena masa-masa selama berpisah seakan menjadi lembaran kelam kehidupan mereka.
Lorna menyuapi kembali Dewa. Tapi kali ini Dewa balas menyuapinya. Lorna menyuapi Dewa lantaran ingin menunjukan perhatiannya kepada lelaki yang dicintainya itu. Telah lama sekali mereka tak melakukan itu. Semasa perkumpul dulu mereka sering melakukan itu. Pernah di kantin sekolah. Atau saat-saat pergi bersama-sama dengan teman yang lain, saat mengadakan rujak party, atau ketika kemping ke Sendang Biru di pantai selatan. Itu semua yang membuat Lorna menambah menu makanan. Lorna ingin saat seperti itu meninggalkan kesan tak terlupakan.
Tanpa terasa waktu bergulir dengan cepat. Tanpa terasa sudah terlalu lama menghabiskan waktu di meja itu. Mereka pun menyudahinya. Makan siang pun selesai. Lorna memanggil pelayan guna menyelesaikan pembayaran. Lorna meminta tolong agar pelayan membungkuskan botol anggur yang masih tersisa banyak. Pelayan mengembalikan kartu pembayaran beserta resinya. Botol anggur sudah dimasukkan dalam sebuah tas berlabel hotel. Lorna meletakkan sejumlah uang tip ke atas nampan kecil.
"Terima kasih. Selamat sore!"
"Selamat sore!" jawab Lorna dan Dewa.