Benarkah Lorna memahami sikap Dewa? Tak sepenuhnya. Berbagai pertanyaan masih sering menggelayuti pikirannya. Seperti kenapa Dewa menjauhkan dari ponsel? Karena menciptakan kendala baginya bisa berhubungan dengan leluasa. Sungguh berbeda dengan keinginan kebanyakan orang, yang berusaha untuk memiliki, entah dengan cara bagaimana. Karena piranti itu memudahkan setiap orang bisa saling terhubung.
Untuk memahami sikap Dewa. Lorna menyembunyikan pikirkan itu, dia tak bisa memaksakan yang bukan kehendaknya, barangkali Dewa sudah merasa nyaman dengan sikap yang diambilnya, dan sikap yang diambil sudah tentu bukan tanpa alasan. Berbeda dengan dirinya. Jauh dari ponsel dan laptop, membuatnya tidak berdaya, hidupnya seakan bergantung pada piranti itu. Bila tidak, seperti jauh dari peradaban. Pekerjaan dan networnya tak bisa menjauhkan dari piranti itu. Untuk bertemu seseorang dimasa kini terasa sulit bila tak buat kesepakatan terlebih dulu. Tetapi mengubungi seseorang menjadi mudah dengan piranti itu yang memiliki berbagai fasilitas.
Tentu Dewa punya alasan mengajaknya melupakan sejenak ponsel dan laptop. Apakah Dewa melihatnya sudah tergantung pada piranti itu? Di sisi lain. Dijauhkan dari alat itu, terasa ada benarnya, seperti terbebas dari beban. Apakah itu tujuan Dewa agar tidak disibukkan harus menjawab membaca sms yang masuk? Belum lagi gangguan pop screen atau iklan layanan.
Sejak terakhir Dini menelpon hingga selesai makan siang di hotel. Perhatiannya lebih tercurah kepada Dewa. Tidak terganggu telepon atau sms yang masuk. Tidak menghadapi laptop dan ponsel. Tidak ada yang dilakukan. Banyak orang kini bergantung dengan itu semua. Setiap hari, setiap jam, setiap detik. Alat itu menyatu dalam keseharian. Ah. Dewa membuatnya jadi berpikir tentang itu semua.
Lorna duduk di atas sofa panjang. Tak mengusik ponsel atau laptop. Apa yang dihendaki Dewa untuk melupakan sejenak, diturutinya. Kini hanya memandangi Dewa yang bersandar ke punggung sofa. Dewa pun tengah menatapnya, seakan mengerti apa yang ada dalam pikirannya.
"Kemarilah, gadisku!"
Maka Lorna mendekatinya dan duduk merapat, memberikan dirinya untuk dipeluk, seperti keinginannya sejak duduk. Dewa seperti bisa membaca pikirannya. Lalu mengecup keningnya.
"Duduklah sebentar denganku. Nanti kuambilkan ponsel dan laptop."
Lorna cepat-cepat meletakkan ujung jari ke bibir Dewa.
"Lupakan!"
"Kenapa?"
"Tak seharusnya Lorna selalu berkutat dengan ponsel dan laptop."
"Kenapa?"
"Seharusnya perhatian Lorna lebih tercurah pada Dewa."
Dewa tersenyum.
"Jangan memaksakan diri memperhatikanku."
"Benar Dewa. Seharusnya kebersamaan kita lebih penting. Lorna merasa seperti egois."
Dewa menyanggah jangan sampai Lorna menyalahkan dirinya sendiri. Dewa lalu memeluknya erat. Membenamkan ujung hidungnya ke pipi Lorna. Menghirup keharumannya. Dan berkata.
"Ini hanya soal membagi waktu. Kebiasaan dan kebutuhan tak bisa diubah dalam sesaat apalagi dihilangkan. Aku memahami semua itu. Aku pun tak ingin menjadi egois berani membuatmu untuk melupakan barang-barang itu. Aku ingin kita lupakan itu sejenak. Setuju?"
Lorna mengangguk
"Duduklah dipangkuanku."
Lorna tersenyum senang.
"Tubuhku berat Dewa."
"Biarlah!"
Maka Lorna menempatkan diri duduk di pangkuan Dewa. Lengan tangannya langsung melingkari leher Dewa. Dan wajahnya merapat ke wajah Dewa.
"Dewa benar. Membuka ponsel dan laptop, membuka persoalan."
"Persoalan apa?"
"Akibat artikel tentang Dewa di koran itu. Lorna belum siap menghadapi."
"Nanti kutemani membukanya."
"Lupakan."
"Jangan sensitif"
"Lorna tidak sensitif. Hari ini harusnya hari terindah yang Lorna rasakan."
"Kenapa?"
"Bisa dekat dengan Dewa. Bisa berkencan dengan Dewa. Bisa tinggal seatap dengan Dewa. Kita seperti pengantin."
Dewa membelai wajahnya. Lorna menatapnya.
"Memang. Kau pengantinku."
Lorna mengelus bekas luka di dagu Dewa. Lalu mengecupnya.
"Luka ini Lorna yang menyebabkan ya?"
Dewa hanya tersenyum.
"Nanti bekasnya juga hilang."
"De!"
Wajah keduanya saling berhadapan.
"Ciumlah Lorna."
Dewa membelai wajah Lorna sebelum memagut bibirnya. Dan di atas sofa panjang Dewa mencium Lorna dengan bergairah. Lalu menyudahinya setelah nafas gadis itu tersengal-sengal.
"Terima kasih. De? Kalau Lorna di Jakarta. Sering-sering hubungi Lorna ya?"
"Ya."
"Lorna mencintaimu, De."
Dewa mencium bibirnya sesaat.
"Jangan bosan bila Lorna selalu mengatakan cinta. "
"Aku akan merasa kehilangan bila kau tak mengatakan itu."
"Apakah sikapku berlebihan?"
Dewa menggeleng.
"Barangkali akibat terlalu lama berpisah"
Lorna memagut bibir Dewa sejenak kemudian menariknya kembali.
"Ada perasan ketakutan bila jauh darimu lagi."
Dewa menyibakkan rambut yang menutupi telinga Lorna.
"Apa yang bisa kulakukan yang membuatmu tak merasa seperti itu?"
"Entahlah. Lorna hanya ingin selalu dekat. Setiap hari. Setiap saat. Selalu bertemu. Seperti ini. Boleh Lorna memberimu ponsel?"
Dewa memandangnya. Apakah Lorna serius dengan keinginannya itu? Tapi Lorna lekas menyambung ucapannya.
"Maksud Lorna biar bisa berhubungan langsung. Tak perlu Dewa selalu membawanya. Letakkan di kamar saja. Lorna hanya akan mengirimi pesan sebelum meneleponmu. Lorna berjanji tidak menelpon terlebih dulu. Lorna paham Dewa tak mau terganggu dengan alat itu."
"Aku yang akan menelponmu."
"Mm. Ya, sudah."
Dewa memegang dagunya. Melihat reaksi mata gadis itu.
"Jangan marah."
"Lorna, tak marah," jawab Lorna sambil menggeleng lemah, "Mencoba untuk mencari jalan mudah berkomunikasi. Tapi kalau itu akan jadi gangguan. Tidak perlu dipaksakan."
"Nanti kuberi nomer telepon rumah."
"Ya?"
Nah, benar kan. Ternyata Dewa bisa dihubungi. Kata Lorna di hatinya. Dia sudah melihat ada pesawat telepon di sana. Tapi enggan menanyakan.
"Terima kasih."
"Aku hanya ingin kau mengerti."
"Lorna mengerti."
Lorna mencoba memahami Dewa. Tetapi yang jelas. Dewa tak ingin dipaksa mengikuti setiap kemauannya. Oleh karenanya dia berusaha memahaminya dengan berhati-hati. Padahal kalau Lorna bertanya, tentu Dewa akan memberitahukan.
"Bagaimana kalau Lorna membuat minuman?"
Dewa setuju. Maka Lorna bangkit dari pelukannya. Lorna sudah tahu selera Dewa dalam hal minuman. Dia pun tak keberatan dengan minum yang jadi kesukaannya. Tidak butuh waktu lama menyiapkannya. Dewa membantu membawa makanan dan buah. Mereka ingin menikmatinya di lantai atas. Di sana. Di serambi. Pemandangan keluar bagus sekali. Apalagi menjelang sore hari.
Kini mereka sudah berada di sofa di serambi atas. Seperti biasa Lorna selalu ingin melayani Dewa. Dia ingin berlaku sebagaimana seorang isteri. Dia sedang beradaptasi tentang hal itu.
"Lorna tak menyangka kita akan bersama di sini seperti ini," Kata Lorna seraya meniup permukaan cangkir yang masih mengeluarkan asap. Dia sengaja meniup asap itu agar menerpa wajah Dewa yang berada di hadapannya. Dia ingin menggoda. Dewa pun balas meniup asap itu. Setelah dirasa mulai menghangat. Kemudian meminumnya bergantian. Walau pun tak habis. Lorna meletakkannya ke atas meja.
Keduanya duduk berhadapan. Saling bertatapan. Dewa menyibakan rambutnya yang panjang hingga melewati bahu agar wajah Lorna nampak terbuka.
"Kamu cantik sekali."
Lorna tersipu.
"Apakah karena itu Dewa mencintaiku?"
Dewa menggeleng perlahan.
"Kamu cantik luar dalam. Aku suka itu."
"Oh, ya?"
"Kini kecantikan itu menjadi milikku."
Lorna tersenyum bahagia.
"Tak akan kubiarkan kamu dimiliki orang lain."
"Awas. Jangan biarkan itu terjadi, ya."
"Tidak akan. Kau kini menjadi tanggungjawabku."
"Terima kasih, De."
"Kembalilah dulu ke Jakarta. Lakukan apa yang menjadi kewajibanmu. Sambil jalan, kita berkomunikasi untuk memikirkan apa yang akan kita lakukan mendatang. Aku memiliki beberapa rencana untuk kita berdua."
"Lorna serahkan kepada Dewa."
"Tapi tak bermaksud membelenggumu. Ikatan yang kita jalin jangan ditafsirkan sebagai belenggu. Paham?"
Lorna mengangguk. Tapi Dewa menangkap wajah Lorna dan memandanginya dengan cermat.
"Kamu belum paham. Dewa tak ingin pemahamanmu sebatas untuk menyenangkanku."
"Kenapa?"
"Duniamu bukanlah duniaku. Jadi kamu tetap lakukan kegiatanmu sebagaimana biasa. Membuka hape, laptop. Berkomunikasi sebagaimana biasa kamu lakukan. Tapi kalau menunda hanya sekedar menyisihkan waktu agar kita bisa menikmati kebersamaan seperti ini."
"Maafkanlah Lorna kalau begitu."
Dewa mengecup pipinya dengan lembut.
"Tak perlu meminta maaf."
Lorna memeluknya erat.
"Lorna sangat bahagia bersamamu."
"Aku senang bila itu yang Lorna rasakan."
"Lorna ingin nanti malam kita bercinta."
"Ya, nanti malam kita bercinta."
Dewa memeluknya hangat.
"Kita bercinta setelah kita buka bersama laptopmu dan ponselmu. Banyak yang harus kamu hubungi. Yang jelas Mami dan Papi. Lalu Rahma. Grace dan lain-lain. Belum lagi urusanmu sendiri. Kurasa memang jadi demikian melelahkan. Tapi aku akan menemanimu."
"Kamu baik sekali."
"Kamu cantik sekali"
Lorna melepaskan diri dari pelukan Dewa. Lalu bangkit duduk memandangnya.
Dewa tersenyum. Lorna berusaha mencari tahu.
"Ada. Ada. Teringat aku sekarang," katanya kemudian dengan manja. Matanya berputar-putar melihat ke atas. Lalu menunjuk ke wajah Dewa.
"Apa?" tanya Dewa.
"Gara-gara kecantikanku, takut ditolak bila utarakan cinbta Dewa, begitu kan?"
Dewa tertawa.
"Iya kan?"
Lorna suka baru kali ini melihat Dewa tertawa. Tawanya menyenangkan. Suaranya renyah.
"Itu yang menyiksa Lorna. Seharusnya Dewa bilang sejak dulu. Kalau Dewa bilang, tentu Lorna akan bilang yang sama."
"Habisnya kamu cantik! Pintar! Kaya! Yang mengejarmu juga anak orang berada. Manalagi mereka keren-keren."
"Hai! Hai!"
"Itu dulu!"
Dewa tertawa
Lorna mendekap kedua pipi Dewa.
"Kenapa sulit melihatmu tertawa selama ini, De?"
Tapi Dewa tak menjawab pertanyaan itu.
"Kuambilkan laptop dan hapemu."
Lorna mencegah.
"Jangan! Biarkan!"
"Kalau begitu aku akan mengajakmu bercinta," kata Dewa seraya memondong tubuh Lorna yang tergial kesenangan.
"Ayo!"
"Sepuasnya!"
"Sepuasmu!"
"Sepuasmu!"
Lorna tertawa manja diangkat dan dibawa masuk Dewa ke dalam kamar.