59. Makan Malam.
Sebelum masuk ke kamar mandi Lorna pesan pizza serta banyak makanan lain melalui layanan delivery order. Dengan perhitungan. Pesanannya akan datang saat dirinya selesai mandi. Ada Dewa membuatnya tak kawatir. Dia bisa menerimanya jika dirinya masih belum selesai mandi.
Dewa tak mempersoalkan apa yang dipesan Lorna. Tidak ingin mengganggu selera dan kesenangannya. Makan daging. Seperti ayam baginya tak merasa keberatan kalau Lorna memesannya pula. Hanya saja lebih menyukai daging ayam kampung.
Untuk memenuhi seleranya yang tidak setiap hari dengan menu daging ayam. Di rumah memelihara ayam sendiri. Ayam kampung untuk dikonsumsi sendiri. Gino yang mengurusi itu semua. Gino juga pandai perihal urusan dapur.
Kendaraan delivery order sudah datang. Saat Dewa masuk kamar mandi menggantikannya. Lorna bergegas ke lantai bawah. Mengambilnya.
"Selamat petang"
"Selamat petang"
"Mengantarkan pesanan."
"Terima kasih."
Lorna lalu melakukan pembayaran. Serta memberi tip.
"Terima kasih. Selamat menikmati. Kami akan senang melayani bila masih ada pesanan kembali."
"Baik. Nanti ditelpon lagi. Terima kasih."
"Selamat petang."
"Petang."
Setelah petugas delivery pergi. Lorna menutup pintu. Kembali ke atas. Meletakkan makanan itu ke atas meja. Sengaja memesan makanan itu untuk iseng saat malam bila terasa lapar.
Sementara Dewa belum selesai mandi. Lorna menyiapkan laptop. Dewa sudah menjanjikan menemaninya membuka laptop. Melihat perkembangan situasi teman-temannya. Yang sedang meributkan perihal dirinya dengan Dewa.
Suasana kamar terasa sepi. Keheningan yang membuatnya merasa nyaman. Sebab ada Dewa. Walau selama ini terbiasa dengan suasana sepi. Tapi tidak ada membuat hatinya selalu tertekan. Sebab dalam keheningan seperti itu yang dipikirkannya adalah lelaki yang kini berada dalam kamar mandi. Yang bila mandi tak pernah terdengar suaranya.
Keheningan dengan adanya Dewa. Mengingatkan suasana di rumah Dewa. Rumahnya itu selalu sunyi. Yang terisi seperangkat alat musik tradisional seperti kendang, gambang, siter tetapi itu tak lebih sebagai pajangan. Lalu suara yang berkumandang sayup-sayup. Yang berasal dari sebuah radio tua yang usianya jauh lebih tua dari pemiliknya. Siaran yang diperdengarkan selalu berirama musik gamelan atau kalau tidak biasanya keroncong.
Lorna sedang merenung membayangkan dirinya berada di rumah Dewa. Rumah yang membuatnya menjadi rindu untuk menginap di dalamnya. Rumah yang membuatnya selalu ingin berada di dalamnya. Rumah yang sering dikunjunginya ketika mereka masih berteman semasa sma.
Lorna tersadar dari lamunannya. Dan mendapatkan Dewa sudah duduk disampingnya. Kehadiran Dewa yang membuatnya tersadar.
"Melamun?" tanya Dewa.
Lorna tersipu.
"Mau pizza?"
"Nanti saja."
"Apa yang kamu pikirkan?"
"Sepi."
"Kesepian?"
"Ah, nggak kalau sudah ada Dewa."
Dewa duduk di sampingnya. Membantu mengikat rambut Dewa dengan pengikat rambut yang dilepaskan dari ikatan rambutnya. Rambutnya sendiri dibiarkan terurai. Rambut Dewa yang belum lama dikeramasi mulai mengering.
"Bagaimana sudah waktunya kita makan?" tanya Dewa.
"Kita makan di sini saja ya?"
"Tak apa."
"Makan ayam potong."
"Memangnya kenapa?"
"Bukan ayam kampung."
Dewa tersenyum.
"Apa yang kamu beli. Mari kita makan."
"Ayam?"
"Yuk."
"Nugget."
"Iya, mari kita makan."
"Sayap? Pizza?"
Dewa tertawa.
"Ayolah, kita makan. Tak ada persoalan."
"Kupesan sop. Hanya berisi wortel dan makaroni."
Lorna mulai menyuapkan ke mulut Dewa dengan sendok plastik.
"Kurang lada."
"Suka lada?"
"Ya, pedas bikin hangat."
"Suka pedas?"
"Kapasiasin yang terkandung dalam biji cabe mengandung vitamin c yang tinggi."
"Tahu juga."
"Pernah kubaca entah di mana."
Lorna tak biasa makan seperti ini. Selalu di meja makan. Tapi kini terasa santai. Duduk berhadapan di sofa saling menyuapi. Tentu saja saat seperti ini hanya untuk mereka berdua. Bila punya anak. Lorna tak akan mengijinkan anak-anak makan seperti itu.
"Kenapa aku kurang suka makanan seperti ini?" tanya Dewa.
Lorna menggeleng.
"Nggak. Kenapa Dewa?"
"Pertama. Bukan ayam kampung."
"Ya. Tentu. Kedua?"
"Tak ada sayuran seperti kemangi, tomat, kacang panjang, timun."
Lorna tertawa.
"Dan ketiganya?"
"Makanan seperti ini selalu menggunakan saos."
"Tahu begitu. Lorna pesan pecel lele saja."
"Lain kali. Ini juga lumayan."
"Besok di Jakarta kita makan pecel lele," kata Lorna sambil menerima suapan Dewa.
"Jam berangkat pesawat kita ke Jakarta?
"Kan kita pesan tiket untuk keberangkatan sore. Menginap di rumah ya?"
Dewa tak langsung menjawab. Membuat Lorna memandang seksama.
"Menginap ya?" Lorna mengulangi pertanyaannya.
"Mm. Belum tahu."
"Kenapa?" tanya Lorna. Wajahnya nampak kecewa.
"Langsung ke blok M. Tapi nanti Dewa akan antarkan dan mampir di rumahmu."
"Dewa menginap di rumah. Biar sopir yang akan mengantar kemana Dewa mau."
"Terima kasih, Na."
"Atau kita antar Dewa dulu. Lorna ikut Dewa. Setelah selesai urusan Dewa. Dewa bisa menginap di rumah."
"Sudahlah. Kita selesaikan makan dulu."
Harapannya agar Dewa menginap sepertinya pupus. Tapi jawaban yang belum pasti Dewa memberi peluang. Tergantung situasi yang dihadapi Dewa di Jakarta besok. Untuk menghibur diri atas kekecewaan itu. Lorna masih merasa berterima kasih karena diantarkan pulang ke Jakarta. Berusaha menunjukkan pengertiannya. Dan meredam sikap egoisnya.