60. Mengatasi Bersama.

Akibat teleponnya dimatikan, membuat Mami dan Papinya cemas.
"Honey. Are you all right?"
"I am all right, Daddy."
"Kenapa, teleponmu tidak bisa dihubungi."
"I am sorry, Dad. Sedang charge. Lagi keluar. Tidak bawa ponsel."
"Masih bersama Dewa?"
"Sama siapa lagi, Daddy?"
"Sweety benar tidak apa-apa?"
"Lorna baik-baik, Daddy. No problem!"
"Masih betah di Bali?"
"Ya, Dad. Tapi harus ke Jakarta ada urusan yang tidak bisa ditinggalkan lama."
"Kapan berencana kembali ke Jakarta?"
"Besok, Dad!"
"Okey, your Mommy mau bicara..."
"I love you, Dad!"
"I love you too, my sweety!"
"Hai, Mom!"
"Hai, sweety."
"I am sorry, Mom. Telpon dimatikan. Baterai di-charge dulu. Kita berada di luar. Nggak bawa hape."
"Kemana saja?"
"Berkencan!"
"Berkencan?"
"Ya."
"Dengan Dewa?"
"Mami aneh banget. Siapa lagi."
Maminya tertawa.
"Bagaimana kencannya, bidadariku?"
"Besok kalau sudah di Jakarta, Lorna ceritain. Banyak. Yang penting, Mommy dan Daddy sudah sampai rumah dengan selamat. Banyak yang harus Lorna kerjakan. Jawab email. Sms. Balas telepon yang tak terjawab."
"Ajak Dewa pulang ke Australia."
"Kapan?"
"Ya, kapan waktumu. Mungkin saat bulan Madu nanti. Kuantar kalian ke Inggris. Ke tempat your grandma... "
Wajah Lorna ceria.
"Ide yang bagus, Mom. Sama Daddy?"
"Sure. Empat tahun kita nggak ke sana. Eh, Sesampai di Jakarta, kalau bisa check up lagi kesehatanmu. Okey?"
"Okey, Mom."
"Bagaimana Dewamu?"
"Baik, Mom. Besok Lorna telpon Mommy. Sementara begitu dulu, Mom, bye! Bye Daddy. I love you so much."
"Bye my baby!"
Dewa mendengarkan pembicaraan itu. Keduanya duduk bersantai. Menikmati kebersamaan. Dewa melipat koran yang tadi dibaca, tak ingin mengganggu Lorna yang merebahkan kepala di pangkuannya. Lorna sedang menelpon Rahma.
"Hai. Maapin Lorna ya? Baterai ponselku lagi low. Tadi di-charge dulu."
"Masak seharian."
"Sori. Aku juga sedang keluar dan belum lama pulang. Lalu mandi dan makan malam dulu, baru nyempatkan nelpon kamu."
"Bagaimana Dewa?"
"Baik. Atau mau ngobrol?"
"Ah, jangan! Yang penting. Ikut bahagia banget. Eh, tidurmu bagaimana?"
"Pulas."
"Maksudku tidurmu dengan Dewa bagaimana?"
Lorna diam. Tak paham maksud pertanyaan Rahma.
"Tidur bareng atau sendiri-sendiri?"
"O, itu maksudmu."
Lorna ragu menjawab.
"Kalau diam itu artinya bersama. Betul kan?"
"Sst."
"Kenapa? Dia ada di mana?"
"Mau tahu?"
"Kalau aku tanya artinya pingin tahu."
"Nih. Kepala Lorna lagi rebahan dipangkuannya."
"Ups. Sori!"
"Ah, nggak pa pa. Mm. Sekarang... lagi belai rambut Lorna. Terus mengecup keningku..."
"Jangan bohong, ah."
"Ih, katanya mau tahu. Sekarang lagi mencium pipi Lorna."
"Ih, kamu."
"Kenapa?"
"Porno..."
"Masak begitu porno?"
"Ngeres tahu!"
"Mau bicara? Tapi kutanya dulu ya. Mumpung lagi santai. Atau kita ngobrol bareng saja, ya?"
Lorna lantas menyetel ponsel ke mode speaker.
"Sudah, silahkan ngobrol..."
"Hallo, De!" sapa Rahma.
"Hallo juga. Bagaimana kabar?"
"Baik, De. Yang rukun, ya?"
"Hei, belum-belum sudah nasihatin," sela Lorna.
"Ah, enggak. Kan itu harapanku. Kalau melihat kalian rukun. Hidupku ikutan damai."
Dewa dan Lorna tertawa.
"Memangnya selama ini kamu lihat kita sedang perang apa?"
"Kayak cerita Romeo dan Yuliet."
"Ah, berlebihan banget. Jangan ah. Kita nggak mau berbelit-belit kayak itu."
"Syukurlah, kalau kalian kembali kayak dulu. Ingat dulu. Aku jadi rindu banget kembali ke masa lalu. Setiap hari sering ketemuan, kumpul, ngobrol, belajar bareng, ribut. Ah, pokoknya kangennya nggak ketulungan. Reuni menolong banget melepaskan dahaga kerinduan. Banyak yang kecewa karena nggak ikut diundang. Padahal banyak yang pingin ikut. Begini, De. Mumpung kita bisa bicara bertiga. Soalnya ini menyangkut kalian berdua. Teman-teman yang lain lagi ribut soal kalian."
"Memagnya ada apa?" tanya Dewa sambil mengecup bibir Lorna sejenak.
"Rumor kalian di teman-teman berada di nomer satu. Ingat. Reuni kemarin kalian berdua kan sama sekali tidak muncul. Dan kalian juga belum saling bertemu. Padahal rumor yang ada hubungan kalian sedang bermasalah. Menyusul insiden sampai Lorna masuk rumah sakit. Eh, tahu-tahu kalian muncul bareng di koran. Romantis lagi. Jadi bikin penasaran mereka. Pertanyaannya. Bagaimana ceritanya bisa begitu? Kini mereka pada menuntut reuni ulang. Sekolah jadi ikut terlibat serius. Soalnya ada beberapa angkatan yang menuntut diikutkan. Wah, pokoknya seru sekarang."
"Terus?"
"Mereka minta kalian datang. Lorna kan sudah bilang mau datang. Sekarang tinggal kamu, De. Bisa nggak kamu janji mau datang. Ini anggap saja undangan resmi dariku. Soalnya aku ditunjuk jadi salah satu panitia. Bagaimana, De?"
Dewa diam, menatap wajah Lorna yang juga menatapnya. Lorna mendekap kedua pipi Dewa. Kelopak mata Lorna mengedip, seperti memohon untuk mengiyakan.
"Kok, diam, De?"
"Kamu seperti menaruh pedang damocles di atas kepalaku. Memaksaku janji datang. Lebih baik aku pasip saja. Posisikan aku seperti yang lain."
"Lho, memangnya aku maksa, De?"
"Pokoknya lihat saja situasinya. Kamu kan sudah tahu duduk persoalan reuni kemarin. Kenapa bisa terjadi reuni? Tak lebih sebagai sarana agar aku dengan Lorna bisa bertemu. Untuk selanjutnya jangan itu jadi ukuran. Cobalah cari gagasan baru. Tujuan reuni kan tidak sekedar kumpul bernostalgia. Tapi masukkan agenda yang memiliki nilai lebih bagi kebaikan almamater. Seperti acara bareng-bareng pergi menanam bibit pohon atau istilahnya reboisasi. Itu misalnya. Kemudian, kunjungi keadaan guru-guru kita yang sudah pensiun. Atau teman-teman yang keadaannya memprihatinkan. Kemudian lakukan aksi penggalangan dana untuk keperluan itu. Itu misalnya. Cobalah tentukan dulu arah tujuan reuni nanti," kata Dewa seraya membelai rambut Lorna.
"Kamu benar, De. Kurasa harus begitu. Harus jelas. Kamu cocok jadi penasihat, De," kata Rahma.
Lorna tersenyum.
"Kenapa nggak kamu usulin?" tanya Lorna.
"Kamu paksa pun Dewa nggak bakalan bersedia."
"Lalu siapa ketuanya?" tanya Lorna.
"Tetap Beni."
Dewa mengangkat alisnya.
"Oke, Ra. Lorna coba hubungi Grace dulu ya? Soalnya tadi Lorna sudah janji menghubungi. Nanti kuhubungi," kata Lorna.
"Makasih ya, De. Usulanmu nanti kusampaikan. Da."
Lorna mencoba menghubungi Grace. Terdengar nada sambung. Teleponnya masih dalam mode speaker.
"Hai, malam, Na!"
"Hai, Grace. Maaf, baru sempat nih."
"Ah, nggak apa, yang penting sudah menghubungiku. Tadi mau kuhubungi. Tapi aku nggak mau mengganggu. Jadi kutunggu sampai kamu menghubungiku."
"Terus bagaimana, Grace?"
"Oo, tentang Lorna dan Dewa?"
"Ada apa dengan kita?"
"Mereka pada penasaran. Ingin menghubungi kalian berdua. Membuatku dan Rahma kelabakan cari alasan. Kalau nggak ngasih dipikir bersekongkol. Akhirnya terpaksa. Akibatnya kamu banyak ditelepon teman-teman. Sori banget ya, Na?"
"Ah, nggak apa-apa, Grace. Mereka kan teman kita."
"Mereka penasaran. Hubunganmu dengan Dewa, mereka pikir sekedar persahabatan. Tetapi foto yang terpampang di koran. Aduh, romantis banget! Apalagi di situ dibilang. Si mata biru sumber inspirasi Dewa. Wah, seru jadinya kini. Berarti hubungan kalian dulu bukan sebatas bersahabat, tapi pacaran terselubung. Itu sudah menjelaskan, kenapa selama ini Lorna tak pernah mau dipacarin siapa saja. Padahal banyak yang mengejarmu. Termasuk Ronal sampai sekarang."
Dewa mencibir. Lorna sengit. Lalu menggigit dagu Dewa. Gemas.
"Ternyata Lorna milik Dewa. Selama ini anggapan bahwa Lorna diposisikan sebagai adik oleh Dewa. Ternyata hanya kamuflase saja. Kini rumor kalian dengan berbagai versi yang beredar makin seru."
"Kok, seru, Grace?"
"Bagaimana nggak seru. Lorna kan tahu Dewa? Siapa yang nggak pingin pacaran sama Dewa?"
Dewa tersenyum menggeleng.
"Banyak yang diam-diam mengaku-ngaku berhubungan dengan Dewa. Kita bertiga tahu itu?"
"Terus?"
"Tapi Dewa, kalau nggak kenal dia, akan beranggapan anak itu angkuh banget."
Lorna tertawa kecil.
"Tapi sekarang. Mereka bilang kalian memang pantas berpasangan."
"Begitu?" tanya Lorna.
"Ya. Banyak yang patah hati."
"Hei, kenapa?"
"Eh, kamu tahu nggak. Teman dekat kita ada yang suka Dewa. Sudah lama banget. Tapi baru bilang terus terang. Tapi memaklumi bila pilihan Dewa jatuh padamu."
Lorna melirik Dewa yang menengadah ke langit-langit. Berpura-puran tak mendengar apa yang dikatakan Grace.
"Siapa? Kasih tahu kita."
"Antara lain Tari dan Dini."
Lorna mendekap pipi Dewa. Menariknya agar menunduk menatapnya.
"Masak sih? Terus gimana dong sekarang."
"Ya, salah mereka tak bilang sejak dulu suka pada Dewa."
"Memangnya apa sih kelebihan Dewa?" Lorna memancing.
Grace tertawa ngakak.
"Kamu ini yang tahu bener malah tanya. Kasat mata coba. Jago menggambar, jago main musik, jago menari jawa, jago teater. Ah, pokoknya jagoan deh."
"Jagoan berkelahi," sela Lorna seraya tertawa.
Dewa menyentil ujung hidung Lorna yang bangir.
"Suaranya merdu lagi. Seperti malam itu waktu kita berempat kumpul di halaman belakang rumahmu. Suaranya duh, kalau cowokku bisa nyanyi dan main gitar seperti Dewa. Grace suruh nyanyikan lagu tiap kali aku mau tidur."
"Musik pengantar tidur," sela Lorna lagi.
"Eh, kamu ada di mana?"
"Di ruang tengah. Depan kamar."
"Dewa kemana?"
Lorna menahan tawa.
"Kepalaku rebahan di pangkuannya."
"Yang benar?"
"Benar! Hapeku kusetel mode speaker. Dia ikutan dengerin sejak tadi."
Grace menjerit.
"Mampuuus aku, Na!"
Dewa dam Lorna tertawa.
"Dewaaa, soriiii banget ya?!" teriak Grace. "Keterlaluan banget nih Lorna! Sori banget, De! Jangan marah ya?"
"Kenapa harus marah. Kamu kan teman kita yang baik. Sahabat kita yang baik."
"Ah, Dewa. Bicaramu lembut bener. Kalau begitu Grace nggak mau mengganggu kemesraan kalian. Apalagi kini sudah malam. Waktu kalian istirahat. Sudah sampai sini dulu ya?"
"Oke lah Grace..."
"Daa Grace, selamat malam."
"Sori ya Dewa. Soriiii benar..."
Lorna menutup hapenya. Lalu merangkul Dewa.
"Nah lo! Ada apa dengan Tari dan Dini?" tanya Lorna.
"Memangnya kenapa?"
"Mereka jadi patah hati!"
"Kenapa harus bingung? Biasa saja. Mereka kan teman-teman kita yang baik. Cemburu?"
"Ah, enggak. Lorna percaya."
"Cemburu, nih?"
"Ah, nggak!"
"Ntar, kubikin mereka nggak patah hati lho."
Lorna lalu memagutkan bibirnya ke bibir Dewa untuk sesaat.
"Kalau itu Dewa lakukan. Lebih baik Lorna mati saja."
"Hei! Jangan marah. Aku ingin ada kecemburuanmu padaku..."
"Sejak dulu aku cemburu. Cuma nggak bilang."
"O, begitu. Dipendam ya?"
"Ya, memang. Apalagi sekarang. Dewa sudah resmi milik Lorna, mungkin cemburunya lebih berlipat kali."
Dewa tertawa.
Keduanya lantas saling berpandangan.
"Apakah yang Dewa katakan saat kita makan di restoran kemarin masih berlaku?"
"Apa itu?"
"Tak membiarkan Lorna dimiliki orang lain."
Dewa mengelus ujung dagu Lorna yang halus dan bulat.
"Tentu saja. Kenapa jadi ragu. Kan apa yang kita bicarakan barusan cuma bercanda."
Lorna tersenyum
"Aku tahu!" jawab Lorna tegas.
Dewa balas tersenyum.
"Kamu cantik banget."
"Kamu juga ganteng banget."
"Berada dekat denganmu membuatku ingin selalu ingin bercinta," kata Dewa kemudian seraya menciumi kedua pipi dan leher Lorna dengan kemanjaan. Lorna tertawa kegelian.
"Lakukanlah. Ajaklah Lorna kemanapun Dewa inginkan."
Dewa kemudian mengangkat tubuh Lorna. Membawanya ke dalam kamar. Meletakkan ke atas pembaringan. Sesaat kemudian keduanya sudah terlentang rebah menatap langit-langit kamar. Saling berdiam diri. Lama. Menikmati keheningan malam. Seakan hanya nafas meeka berdua yang terdengar.
"De?"
"Ya?"
"Gitar itu untuk apa?"