61. Antara Ngurah Rai dan Soekarno Hatta.
Berat rasanya meninggalkan pulau Bali setelah apa yang dilaluinya bersama Dewa. Waktu yang singkat namun banyak kenangan yang kini melekat. Berharap akan kembali bersama Dewa untuk menambah catatan kenangan di lembaran hidup. Pulau Bali telah mengukir dan memahat tali pertunangan mereka berdua.
Ada perasaan bahagia dan bangga terhadap Dewa ketika memutuskan untuk mengantarkannya pulang ke Jakarta. Semenjak dulu, Dewa selalu memberikan perhatian dan perlindungan. Itu yang membuatnya sulit melepaskan bayangan Dewa selama mereka berpisah. Lelaki itu, seperti dilahirkan untuknya. Yang menjaganya. Yang memenuhi kerinduannya akan arti memiliki saudara kandung. Dewa laiknya kakak baginya. Kehadiran Dewa mengobati kerinduan itu. Selama ini kehadirannya tak ubahnya pelipur kerinduan.
Harapan yang diperoleh ternyata lebih. Dengan menjadikannya sebagai belahan jiwa. Janji yang telah mereka sepakati di tanah Dewata. Janji yang membuat Lorna merasa lebih baik mati bila harus berpisah kembali. Tak berharap mengulangi kesalahan dengan meninggalkan Dewa pulang ke Australia.
Kekecewaan yang semula dirasakannya tak adil. Tetapi keadilan yang dirasakannya tak lebih dari ketidakadilan sepihak. Yang tanpa disadarinya meninggalkan kepedihan yang dalam di hati Dewa. Walau telah menyesali keputusan yang pernah diambilnya. Sebuah keputusan yang tak lebih sebagai gambaran akan kelemahannya dengan tidak bersikap terbuka kepada Dewa. Kini akan menjadi cerminan untuk membuang rasa egoisnya.
Angin yang bertiup di seputar bandara Ngurah Rai mengibarkan rambutnya. Lorna berdiri sendiri tanpa ada yang menemani. Keanggunan dan kecantikannya membuat mata yang memandang akan bertanya-tanya. Siapakah gerangan wanita ini? Apakah turis? Melihat warna rambutnya yang coklat. Kulitnya yang terang. Hidung yang bangir. Belum lagi mata biru yang tersembunyi dibalik kacamata hitamnya. Tentu menyangkanya sebagai wanita turis.
Dewa telah meninggalkannya untuk keperluan sebentar. Dan menduga pergi mencari telepon umum. Kenapa tidak meminjam ponselnya? Awalnya kesulitan untuk mendapatkan jawaban. Hingga sampai pada suatu kesimpulan. Dewa tidak ingin nomer telepon yang dihubunginya akan terekam di memori ponselnya. Dewa menghindarkan seseorang yang dia telepon, akan menelpon kembali ke nomer yang digunakan. Itulah sebabnya kenapa Dewa tidak menggunakan ponsel Lorna.
Lorna gelisah Dewa belum juga muncul. Dia berharap Dewa lekas kembali. Tetapi yang muncul malah Komang. Yang selesai menempatkan mobilnya ke area parkir bandara.
"Kemana Dewa?" tanyanya.
"Entahlah..." jawab Lorna. Lorna enggan menjawab apa yang terbersit dalam pikirannya. Kegelisahannya reda saat Dewa kembali.
"Maaf, Lorna menunggu lama."
"Jam berapa masuk?" tanya Komang.
"Sebentar lagi."
"Berapa lama berada di Jakarta, De?" Komang bertanya kepada Dewa.
"Paling sehari. Harusnya langsung balik. Ada beberapa hal yang tak bisa kutunda di Malang. Aku terburu-buru. Tapi aku tak bisa membiarkan Lorna pulang sendiri ke Jakarta." jawab Dewa seraya mengambil tas laptop dari bahu Lorna. Kini dia yang membawakannya.
Lorna memandang Dewa dari balik kacamata acromatic-nya. Dibiarkannya Dewa menepis helaian rambut yang menyelip di sela kacamatanya. Akibat angin yang bertiup kencang di sekitar bandara. Lorna melepaskan kacamatanya. Memasukkannya ke dalam tas. Komang bisa melihat mata biru Lorna yang indah. Lorna tersenyum.
"Bagaimana Bali?" tanya Komang.
"Bagus sekali. Belum leluasa pergi kemana-mana."
"Ya, lain waktu kembali lagi."
"Tentu..."
"Salam untuk Papi dan Mami di Australia."
"Terima kasih. Nanti Lorna sampaikan."
"Kom?" panggil Dewa.
"Ya, De?"
"Thanks berat ya."
Komang mengangkat alisnya.
"Gitarmu masih di kamar atas. Tolong kau ambil sendiri ya?"
"Biar saja, nanti kuambil"
Seperempat jam kemudian Dewa dan Lorna meninggalkan Komang di pintu masuk. Lalu mengkomfirmasi tiket terlebih dulu. Koper Lorna dimasukkan bagasi. Tas yang berisi peralatan elektroniknya dimasukkan ke bagasi kabin pesawat.
Dewa dan Lorna bergandengan tangan menuju ruang tunggu. Menunggu pesawat yang akan transit ke Jakarta.
Senja kemerahan membersit di kaki langit. Lorna duduk dekat jendela. Menikmati pemandangan seraya bersandar ke lengan Dewa. Pesawat telah melewati saat lepas landas. Penumpang pun diijinkan melepaskan sabuk pengaman. Beberapa penumpang meninggalkan tempat duduk untuk pergi ke kamar kecil.
Lorna membagi Dewa permen penyegar mulut. Dewa menerima langsung ke mulutnya dari tangan Lorna. Permen itu berfungsi pula sebagai pencuci mulut. Jenis permen yang pernah diberikannya dalam perjalanan dari Bedugul menuju Kintamani.
"Terima kasih."
"Lorna ingin Dewa menginap di rumah biar pun semalam." Lorna meminta.
Rambut Lorna yang coklat nampak keemasan akibat pantulan cahaya senja yang menerobos masuk dari jendela pesawat.
Dewa ragu menjawab. Namun melihat pandangan Lorna. Tak sampai hati menolak. Sudah beberapa kali keinginan itu disampaikan.
"Baiklah kalau Lorna memaksa." jawab Dewa datar.
Lorna lantas membenamkan ke pipi Dewa. Bahagia Dewa memutuskan itu.
"Terima kasih, De." Lantas menyelipkan tangan agar bisa memeluk pinggang Dewa. Wajahnya direbahkan ke dada Dewa yang bidang.
"Tapi, aku harus ke Blok M dulu."
"Silahkan. Lorna antar kemana Dewa mau."
"Mudah-mudahan tak lama. Biasanya ngobrol panjang lebar dulu. Beberapa kawan mungkin ketemu di sana."
Lorna tak ingin bertanya lebih lanjut. Saat ini dirinya merasa nyaman Dewa memutuskan menginap di rumah. Sebagai orang yang mencintainya. Beralasan sekali mencemaskannya. Sebab dia tak tahu dimana Dewa akan tidur malam ini? Keinginannya Dewa bisa tidur nyaman ditempatnya. Seperti saat di penginapan.
Dewa menempelkan pipi ke keningnya. Dan Lorna memejamkan mata meresapinya
"Jam berapa Lorna berangkat kerja?"
"Jam sepuluhan."
"Daerah mana?"
"Kelapa Gading."
"Tinggal di mana?"
"Rawamangun."
"Kenapa? Kalau perlu transportasi Dewa bisa diantar pakai mobilku."
"Searah perjalananmu pergi ke kantor. Dewa bisa turun di Jalan Pemuda atau di perempatan Pulomas. Disana bisa gunakan busway atau taksi."
"Mau ke mana?"
"Kalau nggak stasiun Senen, ya Gambir."
"Pulang naik kereta?"
"Ya, yang langsung ke Malang."
"Lorna akan mengantarkan Dewa kesana, baru Lorna ke kantor."
Dewa menatapnya sepintas. Tak ingin berkomentar lebih lanjut.