63. Semalam di Rawamangun.
Memperhatikan jenis kendaraannya, mencerminkan gadis itu memiliki cita rasa. Sebagai anak tunggal dan bisnis orangtuanya di Australia. Sejak dulu gadis itu tak pernah mengalami kesulitan keuangan. Apalagi dengan bisnisnya sendiri yang dijalankan dengan sepupunya, menjadikannya sosok wanita karir. Meski demikian Dewa tak melihat ada yang berubah pada diri gadis itu. Penampilannya tetap tidak berlebihan. Pandai memilih baik mode maupun kebutuhan sehingga selalu saja nampak elegan. Kepribadiannya membuat Dewa merasa tak pernah ada jarak. Sikapnya yang selalu butuh kehadirannya, membuatnya merasa memilikinya. Apakah ini akibat dari jalinan yang terbina selama bertahun-tahun? Entahlah. Yang jelas hingga kini Lorna masih tetap dengan kemanjaannya. Hanya terhadapnya sikap itu ditunjukkan.
Sejak keluar dari dalam kabin pesawat. Telepon yang masuk ke ponselnya nyaris tak pernah berhenti. Dewa memahami padatnya jaringan yang dihadapi Lorna. Karenanya pada saat dalam mobil. Dewa tidak ingin mengusik kesibukannya saat menjawab telepon yang masuk. Juga tidak bermaksud mendengarkan apa yang sedang dibicarakannya.
Dewa berusaha mengalihkan pendengarannya dengan menikmati irama musik klasik yang mengalun lembut dari speaker mobil. Walau volumenya sudah dikecilkan, tapi cukup jelas di telinganya. Kekedapan ruang dalam mobil cukup baik memfilter kebisingan suara lalu-lintas diluar.
Dewa memandang ke luar jendela. Mengamati lampu-lampu jalan yang berkelebat cepat dalam pandangan matanya. Penuh cahaya warna-warni. Jakarta di malam hari penuh bertabur cahaya lampu. Karenanya, Jakarta nampak indah bila dilihat pada malam hari. Cahaya-cahaya lampu memanipulasi pemandangan sesungguhnya dari Jakarta. Yang berbeda sekali bila nampak pada siang hari. Begitu gersang. Begitu angkuh dengan gedung-gedung pencakar langit yang berlomba menggapai langit. Yang mengangkangi ruas-ruas jalan yang sepi dari pejalan kaki. Jalan-jalan yang dipenuhi mobil-mobil keluaran terkini yang lalu lalang menghabiskan bahan bakar.
Selepas jembatan Semanggi serta melewati jalan Sudirman dan Gelora Senayan. Lorna memanggil namanya. Tetapi Dewa tak mendengarkan panggilannya. Pikirannya tengah menerawang kemana-mana. Lorna memandangi Dewa yang masih asyik menatap keluar jendela. Lorna berpikir bahwa dirinya telah mengabaikannya karena sibuk menjawab telepon yang masuk. Menyadari akan hal itu lalu segera dimatikannya ponselnya, agar tidak ada lagi telepon masuk yang akan mengganggunya.
"De?" Lorna memanggilnya kembali. Suaranya lunak.
Dewa masih tak bergeming. Masih mengamati pemandangan di luar. Lorna lantas memegang dagunya. Menarik wajahnya agar menghadap kepadanya. Dewa terkesiap.
"Dewa kesal?" tanya Lorna.
Dewa menggeleng.
"Kenapa?"
"Maaf Lorna mengabaikanmu."
"Ah, nggak apa. Kenapa?"
"Telepon masuk membuat Lorna mengabaikanmu."
"Ah, nggak masalah. Telepon saja."
"Sudah kumatikan."
"Kenapa dimatikan?"
"Bikin masalah."
"Masalah dengan siapa?"
"Dewa!"
"Hei..."
Dewa memandanginya tajam.
"Berteleponlah. Dewa tidak bermaksud mengganggumu. Dewa tahu ada banyak hal yang harus Lorna lakukan. Hidupkan kembali teleponmu. Berteleponlah. Ini hanya salah paham. Berteleponlah. Oke?"
Dewa masih memandang wajahnya dengan seksama.
Lorna menunduk sejenak. Lalu menengadah kembali membalas tatapan Dewa. Mencoba untuk tersenyum. Dewa membalas senyuman itu.
"Okey, ini hanya salah paham."
Dewa mengangguk.
"Nah, begitu. Dewa tidak apa-apa."
"Terimakasih, De."
Dewa kemudian memberi arahan jalur yang dituju kepada pak Karyo. Tidak berapa lama tujuan yang dimaksud Dewa sudah sampai.
"Tolong tunggu di sini supaya urusanku cepat selesai. Juga biar aku ada alasan sedang ditunggu."
Dewa berbisik ke telinganya. Lorna mengangguk.
"Setelah itu kita cari warung pecel lele."
Lorna tersenyum. Jadi diingatkan, waktu makan semalam di penginapan di Bali, mereka sepakat akan mencari pecel lele bila sampai Jakarta. Dewa memenuhi ucapannya.
Tak berapa lama kemudian, keluar dari pintu gerbang diikuti oleh beberapa orang yang mengiringinya. Orang-orang tersebut penampilannya aneh-aneh. Barangkali begitulah penampilan para seniman. Benarkah seniman seperti itu? Tapi Dewa tak seperti itu. Dewa nampak elegan. Nampak berbeda.
Lorna membuka pintu mobil. Udara panas Jakarta seketika menyergap masuk ke dalam mobil. Dewa memperkenalkan Lorna kepada temannya itu.
"Waduh, ini sih bidadari dari khayangan," kata salah seorang teman Dewa.
"Hanya Dewa yang bisa mendapatkan bidadari semolek ini."
Dewa tertawa. Lorna tersipu.
"Hai!" sapa Lorna
"Hai juga!"
"Lorna!" Lorna menyebut namanya.
"Saya Wisnu cah ayu. Siapa tadi?"
"Lorna!"
"Oh, ya. Sebuah nama yang molek tetapi kesepian. "
"Ah, yang benar saja, kesepian bagaimana?" teman Dewa yang lain menyela.
"Lorna itu artinya sendiri. Coba tanya ke wong Inggris sono, kalau nggak percaya."
"Saya, Sabar! Nama saya Sabar! Ibu saya keliru memberi nama Sabar karena tak cocok dengan karakter saya yang grusa grusu tak sabaran."
"Saya Lorna!"
"Ya, saya sudah dengar tadi. Wuih, matanya biru, Wisnu!"
"Masak? Biru? Oh ya biru. Benar biru tuenan. Kayak kelereng. Weladalah kakang prabu Songkolo Dewo. Itu asli atau pakai lensa, Dewa?" tanya Wisnu pada Dewa.
"Asli!" timpal Dewa seraya mengedipkan mata pada Lorna.
Lorna tersenyum-senyum.
"Bule dari mana, De?" tanya Wisnu.
"Aku arek Malang kok mas," sela Lorna.
"Weladalah, Bar! Cah ayu iki iso ngomong jowo. Arema maneh!"
Lorna yang masih duduk dalam mobil tertawa tertahan.
"Oke, sobat, sampai nanti ya. Yuk aku pergi dulu," kata Dewa untuk menyudahi.
"Yuk, De. Jaga bidadarimu jangan biarkan terbang kembali ke khayangan."
"Selendang ajaibnya sudah kusimpan biar nggak terbang"
"Kayak cerita Joko Tarup saja!"
"Hebat, Dewa! Nggak dapat 'darah biru', malah dapat 'mata biru!"
"Monggo, mas!" sapa Lorna.
"Monggo! Monggo, Dewi Nawangwulan!"
Sepeninggal mereka. Lorna jadi tersenyum-senyum sendiri di dalam mobil. Ucapan mereka membuatnya tertawa geli. Baru sebentar bertemu seniman. Terasa anehnya minta ampun. Bicaranya blak-blakan tetapi tetap sopan.
"Maafkan teman-teman, mereka cuma bercanda."
"Ah, nggak apa!"
"Mereka hatinya baik."
"Lorna yakin begitu."
"Tadi mereka tak percaya kalau aku ditunggu. Mereka sengaja kumpul menungguku sejak sore. Tadinya mau menahanku, seperti yang kubilang. Mereka tak berdaya begitu melihatmu."
"Mereka dari mana saja?"
"Ada yang Jakarta, Jogja, Bandung. Kemana kita?" tanya Dewa.
"Katanya mau mencari pecel lele."
"Lain kali saja. Kita langsung pulang. Eh, hidupkan hapemu, Na," kata Dewa ketika melihat hape Lorna dalam keadaan off. Lorna lantas menghidupkan hapenya, dan langsung menggunakan menelpon pembantunya yang berada di rumah.
"Titi, sudah makan? Ini Lorna, sedang dalam perjalanan pulang. Bisa minta tolong dibelikan pecel lele untuk makan malam. Tolong Titi belikan semua yang ada di rumah. Tetapi sendirikan yang buat Lorna sama Dewa. Ayamnya ditambah ya. Juga, tahu dan tempe, sayurannya juga. Disiapin di meja untuk dua orang. Hati-hati kalau keluar. Okey, begitu dulu, Titi."
Tidak lebih dari sejam perjalanan menuju Rawamangun. Mobilnya keluar dari tol jalan layang di pintu depan kantor Bea dan Cukai, kemudian masuk ke jalur By Pass. Sepuluh menit kemudian mereka sudah sampai di rumah Lorna. Langsung masuk ke halaman. Pak Karyo mengeluarkan koper dan tas dari dalam bagasi mobil.
"Letakkan di kamar tengah, pak Yo," kata Lorna pada pak Karyo.
"Ya, Non."
"Mobil dimasukkan saja ke garasi. Dan pak Yo bisa istirahat. Jangan lupa makan dulu. Tadi sudah dipesankan pecel lele Titi."
"Terimakasih, Non."
Lorna menggandeng Dewa masuk ke dalam rumah. Di pintu, Titi pembantunya menyambut.
"Selamat malam, Non!"
"Selamat malam, Ti. Kenalkan ini Dewa. Titi boleh panggil Mas Dewa."
Dewa menyalami. Gadis itu membungkuk mencium punggung tangannya.
"Titi!"
Dewa manggut-manggut.
"Makan malamnya sudah Titi siapkan, Non."
"Beritahu pak Yo suruh makan dulu."
"Baik, Non."
Dewa duduk di sofa yang berada di ruang tamu. Rumah itu nampak lega. Belum habis menikmati isi ruangan itu, Lorna mengajak masuk ke dalam kamarnya.
"Boleh aku mau mandi dulu?"
"Mandi di kamar Lorna. Tas Dewa dibawa ke kamar Lorna," kata Lorna.
Dewa membawa koper Lorna dan tasnya ke dalam kamar Lorna. Kamar Lorna terasa luas. Tempat tidurnya pun demikian. Ada sofa L berada dekat jendela. Di sofa itu kemudian Dewa duduk. Melepaskan sepatu. Merentangkan tangan dan meletakkan ke sandaran sofa.
Lorna menyalakan ac dinding. Kemudian duduk di samping Dewa.
"Dewa mau mandi dulu?" tanya Lorna seraya menyisipkan helaian rambut Dewa yang terlepas dari ikatannya ke sela telinganya.
"Semuanya sudah ada di kamar mandi. Ada handuk Lorna yang belum digunakan. Dewa bisa gunakan. Lorna tinggal sebentar ya?"
"Yuk."
"Sehabis Dewa, baru gantian Lorna yang mandi."
"Aku tak lama."
Lorna memegang pipi Dewa seraya menatapnya.
"Lama pun Lorna tak keberatan."
"Jangan sibuk gara-gara Dewa menginap disini."
"Siapa yang sibuk? Lorna tidak sibuk. Ini karena sudah beberapa hari Lorna tak pulang. Jadi perlu melihat rumah, apakah semua baik-baik. Selagi belum larut Lorna juga mau pesan pizza dan makanan lain."
"Baiklah, Dewa mandi dulu ya?"
"De?"
"Ya?"
Dari roman wajah Lorna Dewa bisa membaca apa yang diinginkannya. Dewa lantas memberinya pelukan. Mencium rambutnya yang tebal dengan membenamkan hidungnya disana.
"Maafkan Dewa. Sejak tadi belum memelukmu."
Dewa membelai rambut Lorna. Bila sudah begitu, biasanya segala perasaan yang tak nyaman kemudian menghilang.
"I love you, De."
"Aku juga mencintaimu, Na."
"Lorna senang Dewa bisa menginap disini."
"Apapun maumu."
"Lorna milikmu, De."
"Yah, kau milikku, Na."
"Jadi, bebaslah disini."
"Oke, aku akan berusaha bersikap bebas."
Sejenak kemudian Dewa melepaskan pelukannya.
"Lorna keluar kamar dulu ya? Setelah mandi kita makan malam."