64. Kelebihan Dewa.

Saat keluar dari kamar mandi tempat tidur nampak rapi. Di atas meja nakas dekat sofa nampak sebuah mug bertuliskan daddy, disampingnya ada sekotak pizza dan kotak lain berisi donat, muffin, brownies, juga ada beberapa batang coklat di dalam toples.
Tentu minuman dalam mug diperuntukkan baginya saat mencium aroma cappuccino menyergap lubang hidungnya. Dewa langsung meminumnya. Lorna yang selalu menyediakan minuman jenis itu untuknya. Tetapi siapa yang melakukannya? Pembantunya ataukah Lorna sendiri? Lalu siapa pula yang membereskan kamar. Dilihatnya sepatunya masih berada di tempat ketika melepaskannya. Hanya posisinya kini rapi berbeda saat ditinggalkan mandi.
Sepatu tersebut segera dipindahkannya ke luar kamar, samping pintu. Benda itu tak pantas berada dalam kamar yang bersih, apalagi di dalam kamar gadis.
Dicobanya melihat-lihat ke ruang belakang. Rumah yang luas, mewah, namun seakan kosong tak berpenghuni. Di sudut ruang terlihat sebuah piano. Tempat duduk sofa yang luas, berhadapan dengan sebuah tivi digital berlayar lebar lengkap dengan sound sistemnya, sepertinya home teather. Ruang tengah dan ruang belakang dibatasi dinding yang berupa sebuah akuarium yang lebar tapi ramping, di dalamnya penuh ikan warna-warni, melihat jenis ikan dan tumbuhan yang ada di dalamnya menunjukkan bahwa itu adalah akuarium air laut.
Dewa tak menemukan keberadaan Lorna. Hanya ada pembantunya, Titi, sedang merebus sesuatu di dapur.
"Hei..." sapa Dewa.
Gadis itu tersenyum.
"Mencari, Nonik?" tanyanya.
Dewa mengangguk.
"Nonik, sedang ke rumah sebelah. Apa perlu dipanggilkan? Nonik tadi berpesan, disuruh memanggilnya bila mas Dewa sudah selesai mandi."
"Jangan! Biarkan saja."
"Titi tinggal pakai intercom."
"Sudahlah. Rumah sebelah rumah siapa?"
"Om dan Tantenya Nonik."
"Saudaranya. Yang perempuan atau yang laki-laki?"
"Tante, adik dari Maminya."
"Oo..."
Dewa kembali ke kamar Lorna, merapikan isi tasnya. Memisahkan pakaian kotor ke dalam kantong plastik. Tiba-tiba dia teringat akan sebuah kotak yang diberikan nyonya Ivana ketika di bandara Juanda Surabaya. Sebuah kotak terbungkus kertas silver. Kotak itu berada dalam tasnya. Pemilik kotak tersebut sesungguhnya yang memiliki kamar itu. Itu sebabnya tak berniat untuk mengetahui apa isi dari kotak tersebut. Namun dari tulisan embos berwarna putih di sampulnya, tentu isinya adalah sebuah buku catatan harian.
Entahlah apa yang ada dalam pikiran nyonya Ivana. Kenapa kotak itu diserahkan kepadanya, bukannya menyerahkan sendiri kepada yang berasangkutan? Apabila itu berisi catatan harian, tentu bukan haknya untuk mengetahui isinya. Meski ada prasangka bahwa apa yang terkandung dalam catatan itu mungkin ada sesuatu yang menyangkut dengannya. Barangkali itu yang menjadi alasan, kenapa benda itu tidak dikembalikan langsung? Kenapa harus melaluinya terlebih dahulu?
Timbul keinginan untuk meninggalkannya di kamar itu. Lantas bagaimana caranya? Pandangannya berkeliling mencari peluang. Lalu tertumbuk pada laci-laci yang terdapat pada sebuah meja rias. Tempat yang memungkinkan untuk meletakkan kotak tersebut ke dalamnya. Dan berharap lambat laun akan diketemukan kembali oleh pemiliknya. Dewa lekas-lekas meletakkan kotak itu kedalamnya dengan rapi.
Kini, pandangannya tertumbuk pada sebuah pasfoto yang terpanjang di atas meja rias. Karena sepintas lalu ada mengenali wajahnya sendiri. Teringat suasana yang pernah dilalui yang melekat pada foto tersebut. Diambilnya foto itu, lantas diamatinya. Foto Lorna bersamanya berlatar belakang sebuah perahu yang teronggok di atas pasir. Mengingatkan momen yang diambil ketika mereka berdua baru saja terjebur ke air laut. Ingatan itu cukup membuatnya tersenyum, peristiwa itu terjadi di pantai Sendang Biru sekian tahun yang silam.
"Hai, Dewa sudah mandi."
Tiba-tiba Lorna masuk kembali ke kamar. Dewa meletakkan kembali pasphoto di tangannya. Lorna ikut memperhatikan.
"Itu foto kita!" katanya mengingatkan.
Dewa mengangguk.
"Waktu kelas dua," kembali mengingatkan.
"Siapa yang memfoto?"
"Grace, tapi kamera Lorna."
"Tentu banyak foto yang lainnya?" tanya Dewa.
Lorna mengangguk seraya mengusap-usap kaca bingkai photo itu.
"Lorna simpan, tepi terselip entah dimana sekarang," jawabnya. Suaranya bernada kecewa.
"Hanya yang terpajang ini yang tersisa. Slide nya pun sudah rusak," lanjutnya.
"Coba di-scanning lalu diperbesar," Dewa menganjurkan.
Tahu juga Dewa dengan istilah scanning. Kata Lorna dalam hati.
"Sudah, tapi file-nya saja yang kusimpan. Lorna lebih suka melihat yang asli."
"Jangan sampai hilang"
Lorna mengangguk.
"Kalau hilang. Lorna bisa menangis seribu tahun."
"Tapi sekarang banyak foto kita yang Lorna punya."
"Ya, foto kita di Bali. Tapi foto yang ini, tahu nggak, De?"
Dewa memandangnya, mencari jawaban dari makna pandangan mata Lorna.
"Apa?"
"Sesungguhnya ketika itu, Lorna sudah mencintaimu," katanya dengan tatapan masih tertuju ke foto itu. Kemudian melanjutkan, "Tapi Dewa tak tahu."
Tangan Dewa memegang punggung tangannya lembut.
"Lorna pingin mengatakan, tapi sulit."
Dewa membelai rambutnya. Lorna masih menatap foto tersebut.
"Sulit sekali mengatakannya, De."
Dewa memegang dagunya yang bulat.
"Sulit sekali, De."
Dewa mendekap pipinya, menariknya wajahnya agar berhadapan.
"Sulit sekali ketika itu," kata Lorna matanya berkaca-kaca.
Dewa mengangguk lemah. Wajah itu lalu ditariknya ke dadanya. Membenamkannya disana.
"Foto itu selalu kubawa setiap kali berpindah tempat," kata Lorna berusaha menahan isaknya. Kemudian melepaskan diri dari pelukan Dewa. Mengingsut airmatanya.
"Lorna mau mandi dulu ya?"
"Tak mandi pun terasa harum buatku."
Sambl berusaha tersenyum mencubit pipi Dewa.
"Mulai nakal, ya."
Dewa lantas memeluk pinggangnya, dan membenamkan wajahnya ke leher Lorna. Berusaha menggelitik dengan gigitan manja, seraya berkata.
"Kamu kok cantik benar. Kamu kok cantik sekali. Punya siapa sih kamu ini."
Lorna tertawa kecil. Berpura-pura meronta.
"Kalau bukan Dewa, siapa lagi?"
Sesaat keduanya bercanda hingga rontaan Lorna melemah. Membiarkan tubuhnya dipeluk berhadapan. Lalu menunggu apa yang akan dilakukan Dewa saat wajah keduanya saling mendekat. Namun Dewa hanya memadukan ujung hidung ke ujung hidungnya.
"Ya sudah mandilah. Kutunggu sampai selesai."
"Tak lama kok mandinya."
"Lama pun tak apa-apa."
Lorna tertawa, menghilang ke balik pintu kamar mandi.
Titi pembantunya mengamati lelaki yang pulang bersama majikannya. Selama ini tak pernah ada lelaki yang datang ke rumah ini, apalagi sampai menginap. Kecuali tuan Burt, sepupu Nonik. Itu pun bila Papi dan Mami pulang ke Indonesia. Burt pun tak pernah menginap.
Tetapi lelaki ini. Lelaki yang baru pertama kali dilihatnya. Nampak begitu akrab. Dia pun enggan menanyakan itu kepada Nonik. Rasanya usil sekali. Nonik sendiri belum cerita perihal lelaki itu. Apa hubungannya dengan Nonik? Saudarakah atau temankah atau? Titi benar-benar tak tahu, dan membuatnya penasaran ingin tahu. Kalau melihat keakraban mereka berdua, tentu ada hubungan yang amat istimewa.
Kini mereka berdua sedang makan malam. Titi berjaga tak jauh, agar bila diperlukan akan cepat melayani. Dia duduk di kursi dapur. Sejak kepulangannya, ada perubahan yang terjadi pada diri Nonik. Terutama melihat rona wajahnya, nampak ceria dan bahagia sekali. Di meja makan pun nampak Nonik sesekali menyuapi lelaki itu. Demikian akrab mereka. Bila sudah begitu, kalau bukan kekasih Nonik, lalu hubungan apa lagi.
Kehadiran Dewa membuat pembantu Lorna benar-benar penasaran. Lelaki itu sopan sekali serta ramah, wajah yang dimilikinya memang pantas disandingkan dengan Nonik yang molek. Barangkali pak Karyo tahu sekali, siapa sesungguhnya lelaki itu. Akan ditanyakan kepadanya besok karena pak Yo sudah masuk ke kamarnya.
Lorna memanggilnya seusai makan. Saat ini mereka berdua sudah berada di ruangan depan.
"Ya, Non."
Titi sudah berdiri di ruangan itu.
"Tentu kamu bertanya-tanya ingin tahu siapa mas Dewa?" kata Lorna kepada pembantunya.
"Ya, Non."
"Mas Dewa, dulu teman dan sahabat Lorna. Tapi sekarang, mas Dewa adalah tunangan Lorna."
"Betul, Non? Kapan tunangannya?" tanya pembantunya dengan perasaan senang.
"Waktu di Bali kemarin."
"Jadi, waktu Papi dan Mami berlibur ke Bali kemarin?"
"Ya."
"Selamat ya, Non."
"Terimakasih, Ti."
Dewa dan Lorna tersenyum.
"Jadi Titi tidak usah segan. Mas Dewa bukan orang lain bagi kita. Karena sejak dulu mas Dewa sudah dekat dengan Lorna, juga Daddy dan Mami. Lorna tadi, juga sudah ceritakan ke Tante dan Om. Sebentar lagi mereka akan datang kemari.
"Baik Non. Kalau begitu Titi ke belakang dulu."
"Tunggu dulu!" kata Lorna mencegah. "Lorna memanggilmu bukan mau ceritakan itu. Lorna mau minta tolong, kalau Titi mencuci pakaian kotor mas Dewa, besok kira-kira bisa kering nggak?"
"Bisa, Non. Kan setelah di-drying, bisa disetrika sebentar."
"Kalau begitu tolong dicucikan ya. Sebab besok sekitar jam sepuluh pagi, mas Dewa harus pergi."
Dewa kemudian mengeluarkan kembali pakaian kotornya dari dalam tas. Lalu menyerahkan kepada Titi untuk dimasukkan ke mesin cuci.
"Terimakasih, Ti."
"Ya, Mas."
Dewa dan Lorna kembali duduk bersama di ruang depan. Tak beberapa lama, Om dan Tantenya datang berkunjung.
"Halo, selamat malam!" sapa Oom dan Tante Lorna.
"Selamat malam!" timpal Dewa seraya bangkit dari duduknya. Kemudian menyalami keduanya.
"Kami Tantenya Lorna, adik dari Maminya. Dan ini suami saya."
"Ruyus!" kata Omnya Lorna.
"Om Ruyus berasal dari Flores," kata Lorna menjelaskan, "Kalau Tante ya seperti Mami asalnya sama dengan Dewa kan?" Lorna melanjutkan.
"Maaf, seharusnya kami yang berkunjung ke sebelah," kata Dewa.
"Ah, sama saja. Kebetulan tadi masih ada tamu," jawab Tante Ruyus.
"Kami langsung dari Bali mengantar Lorna."
"Ya, Lorna tadi sudah cerita banyak. Bahkan dia juga tunjukkan koran yang ada foto kalian berdua ketika di Bali. Setidaknya kami menjadi tahu siapa mas Dewa. Lorna selama ini tak pernah cerita kalau sudah punya kekasih," kata Om Ruyus.
Tante Ruyus duduk disamping Lorna. Membelai rambutnya, memandangi wajah dan matanya yang selalu menarik baginya.
"Ponakkan saya ini lain dari yang lain. Tertutup dalam urusan seperti ini. Maksud Tante, urusan asmara. Tante jadi paham kalau ternyata sejak dulu pria idaman tersimpan dengan rapi. Pantesan tak pernah tertarik kepada lelaki. Coba, berapa banyak lelaki yang berusaha menarik perhatiannya, seperti teman-teman Burt yang pingin menjadikannya kekasih. Tapi ponakan saya ini sungguh tak pernah tertarik," kata Tante Ruyus kemudian mencium pipi Lorna dengan gemas.
"Jangan didengar, De," sela Lorna.
Dewa tersenyum.
"Kalian sudah makan?"
"Sudah, baru saja," jawab Dewa.
"Jadi, kalian dulu satu sekolah?" tanya Tante Ruyus.
"Ya!" jawab Dewa.
"Satu kelas?"
"Tidak!" jawab Lorna.
"Sejak kelas berapa?"
"Sejak pindah sekolah ke Indonesia? Tadinya kan mau sekolah di Jakarta. Kan Tante sendiri yang sudah mencarikan sekolahnya," kata Lorna mengingatkan.
"Iya, tapi pergaulan di sini tidak baik. maka Mamimu memutuskan sekolah di Malang. Baiklah kalau begitu. Yang penting kita sudah berkenalan. Semoga kalian mendapatkan apa yang menjadi impian kalian. Kepada Mas Dewa, selamat datang di keluarga besar Ruyus. Kalau ada waktu senggang, jangan segan-segan bertandang ke rumah sebelah. Kami terbuka menerima. Nanti kuperkenalkan kepada anak-anak saya. Bagaimana, Pi? Kita permisi dulu ya? Mas Dewa dan Lorna mungkin perlu beristirahat."
"Berapa lama di Jakarta?" tanya Om Ruyus.
"Besok saya harus pulang. Jadi sekalian mohon pamit," kata Dewa, kemudian menyalami Tante dan Om Ruyus.
"Sebentar sekali."
"Dia sibuk!" kata Lorna.
"Sama seperti Lorna, kan," kata tantenya.
Tante Ruyus memeluk Lorna dan mencium pipinya lembut. Seraya berbisik ke telinganya.
"Kekasihmu ganteng dan gagah sekali."
Lorna mencuri pandang ke Dewa.
"Kata Tante kamu ganteng dan gagah," kata Lorna kepada Dewa.
Om dan Tante Ruyus langsung tertawa.
"Saya tersanjung," kata Dewa.
Keduanya mengantar hingga teras. Di luar sinar bulan nampak terang benderang. Tetapi Dewa dan Lorna lebih memilih berada di dalam rumah. Kemudian masuk kembali dan mengunci pintu depan.
Lorna lantas mengajak Dewa berkeliling untuk melihat seisi rumahnya. Dari satu kamar ke kamar lain. Di garasai ada dua buah mobil, satu yang dipakai menjemputnya di bandara, satu lagi jenis SUV warna hitam. Ada sepeda motor dan sepeda gunung yang tak pernah dipakainya.
"Itu hadiah dari klien," kata Lorna, " SUV kupakai kalau pergi ke Bandung atau ke puncak, tapi jarang dipakai."
Dewa mengangguk-angguk. Dalam hatinya, hedipuan Lorna mewah sekali, tapi sikapnya biasa saja.
Kemudain Dewa diperkenalkan kepada penjaga rumah yang merangkap merawat rumah mulai dari kebun dan lain sebagainya.
"Ujang!" kata lelaki yang memperkenalkan dirinya itu, masih muda.
Kemudian istrinya pak Karyo, dengan pak Karyo sudah berkenalan. Setelah itu ke tman belakang rumah yang lengkap dengan kolam yang berisi ikan koi warna-warni.
"Untuk mengingatkan aku padamu," kata Lorna yang masih menggandeng tangan Dewa.
Dewa hanya tersenyum.
Selanjutnya kembali masuk ke dalam kamar Lorna.
"Aku mau mandi, jagain ya?"
Dewa mengangkat alis.
Lorna menariknya masuk melalui pintu yang menghubungkan samping kamarnya. Ternyata di samping kamarnya terdapat kolam renang yang terlindungi. Hanya disudut tempat itu terdapat pintu yang digunakan oleh Ujang bila mau membersihkan kolam renang itu.
"Atau Dewa mau berenang sekalian?"
Dewa menggeleng. Memilih duduk saja di tepi kolam. Menatap Lorna yang melepaskan penutup tubuhnya. Hanya menyisakan bh dan celana dalamnya. Tanpa malu ataupun jengah pada tatapan mata Dewa kepada dirinya.
Hanya lampu-lampu temaram disudut kolam renang membuat tempat itu terasa romantis.
Lorna segera masuk ke dalam air dan mulai berenang. Lalu mencoba tersenyum pada Dewa saat berhenti.
"Masuklah ke dalam air, Dewa." Lorna meminta.
Dewa hanya mengangkat telapak tangan menolaknya.
"Aku ambilkan handukmu saja." kata Dewa yang lalu bangkit ke dalam.
"Dalam kamar mandi, Dewa!" kata Lorna.
Dewa sudah tahu. Dalam kamar mandi Lorna ada almari yang khusus menyimpan banyak handuk. Kemudian segera kembali duduk pada kursi jemur di tepi kolam renang.
"Aku haus, Dewa." kata Lorna lagi.
Dewa kemudian masuk mengambilkan air mineral dari dalam lemari pendingin mini yang ada dalam almari. Tetapi Lorna meminta air minum Dewa yang masih hangat.
"Sorry, Lorna menyuruhmu Dewa."
"Sudahlah!"
"Atau besok pagi kita berenang bareng?"
"Boleh!"
Jawaban Dewa membuatnya senang dan segera menyudahi berenangnya. Kemudian dengan berbebat handuk masuk ke dalam kamar mandi untuk membilas tubuhnya.
Tidak lama kemudian Lorna bergayut ke lengan tangan Dewa. Mengajak Dewa menaiki tangga ke lantai atas. Ingin menunjukkan ruangan di lantai atas. Yang di dalamnya berisi alat-alat elektronik. Ada meja dengan seperangkat komputer. Ada sebuah gitar tergantung pada dinding. Ada sebuah alat musik organ. Saat Lorna mengambil gitar yang bergantung pada dinding. Dewa sudah duduk di depan organ. Mencoba menghidupkan tombol power. Menekan beberapa tombol parameter. Lalu jemarinya mulai memainkan beberapa nada.
Lorna terkesima saat Dewa memainkan organ, sehingga membuatnya tak jadi mengambil gitar yang tergantung di dinding. Tadinya dia berharap Dewa mau memainkan gitar untuknya. Karena dia tahu Dewa pintar sekali memetik gitar, tetapi apa yang terjadi kini, dia benar-benar mendapatkan kejutan lagi dari Dewa. Ternyata Dewa juga bisa memainkan organ. Dengan baik lagi. Cara menyelaraskan kunci nada dengan lagu yang dialunkan terasa pas tanpa kesulitan. Seperti orang yang sudah terbiasa bermain organ. Lorna segera menangkap judul lagu yang dilantunkannya. Release Me.
Lorna sambil terpana memandangi Dewa, melangkah perlahan mendekatinya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang tiada berhenti. Matanya tak berkedip memperhatikan bagaimana jemari Dewa leluasa bergerak di atas tut nada dengan leluasa. Sesekali pandangan matanya menatap Lorna. Lalu tangannya melambai agar Lorna mendekat padanya. Lorna segera menarik kursi lalu duduk disampingnya. Sehingga bisa menangkap suara Dewa yang jernih. Ada vibrasi yang lunak dalam suaranya. Terasa merdu sekali. Dinikmatinya suara itu hingga lagu Release Me selesai.
Setelah itu Dewa merengkuh pinggang Lorna dengan lembut. Lorna masih terpana. Tak tahu harus bilang apa. Yang jelas dia hanya ingin mengatakan ada banyak hal pada diri Dewa yang membuatnya kian penasaran.
"Hai, kenapa diam?"
Lorna merangkul lehernya lalu berbisik.
"Dewa membuat Lorna merasa heran."
"Kenapa heran?"
"Ternyata Dewa bisa memainkan organ."
Dewa tersenyum.
"Kenapa tak pernah bertanya?"
"Ingin sih bertanya, sejak di pantai Kuta. Dewa kan yang memotret kita. Lorna lihat Dewa begitu familiar sekali dengan handycam dan kamera digital. Waktu Lorna memindahkan datanya ke laptop, Lorna lihat hasilnya, perfect sekali. Lorna yakin Dewa pasti menguasai peralatan itu. Benarkan, De?" tanya Lorna seraya membalas pandangan mata Dewa yang sedang menatapnya.
Dewa lantas memeluknya tanpa memberi jawaban. Pelukan dan ciuman sesaat pada pipinya cukup memberi makna jawaban yang diinginkan Lorna.
"Mau bernyanyi berdua?" tanyanya kemudian.
Lorna mengangguk.
"Dewa belum pernah mendengar Lorna menyanyi. Suaramu pasti bagus. Suaramu lunak."
"Suara Dewa yang bagus," sela Lorna.
Sesaat kemudian jemari Dewa mulai mengalunkan intro lagu Love Story Book Children. Lagu tersebut memiliki dua warna vokal. Untuk vokal pertama Dewa yang mengisi dan memulainya. Lalu diikuti vokal kedua yang dibawakan Lorna. Mata Dewa berbinar saat Lorna mulai memperdengarkan suaranya.
Dugaan Dewa tidak salah. Bukan lantaran lafal Inggris Lorna yang kental, tetapi kualitas suara Lorna dan cara bernyanyi ternyata sangat bagus. Itu yang membuat keduanya bernyanyi dengan harmoni. Lorna menghayatinya. Dewa senang bisa membawa Lorna dalam suasana itu. semakin membuat gadis itu kian manja kepadanya.
Selesai lagu tersebut disusul lagu My Special Prayer. Lagu itu adalah lagu-lagu yang sama-sama mereka kuasai syairnya. Lagu-lagu era tahun tujuh puluh dan delapan puluh itu masih sering diputar orang. Diputar di dalam mobil. Di player komputer. Di hape. Di rumah. Di tempat-tempat karaoke. Dimana saja. Karena lagu-lagu itu lagu-lagu nostalgia yang abadi. Yang musik dan syairnya selalu relevan dengan jaman. Walau generasi sudah silih berganti, tapi kenangan selalu terbentuk pada setiap perjalanan hidup seseorang. Lorna memiliki banyak koleksinya. Dan dia sering memutarnya di dalam mobilnya. Menemaninya saat berada di jalan.
Dewa tak menyadari kalau Lorna tengah menghidupkan kamera HDV dan merekamnya. Kemudian dia meminta satu lagu.
"Kemarilah, sayang," Dewa memintanya datang mendekat.
Lalu Lorna datang menghampiri.
"Boleh Lorna merekamnya?"
Dewa memeluk pinggangnya.
"Lakukanlah kalau itu membuatmu senang. Sekali ini ya? Sebab hari sudah malam.Lorna harus beristirahat."
Lorna balas memeluknya.
"I love you, Dewa."
"I love you too, Na."
"I love you so much."
Dewa kemudian memagut bibirnya sejenak penuh perasaan cinta. Lorna memejamkan mata, merasakan getaran cinta yang dialirkan Dewa lewat bibirnya. Sesaat kemudian Dewa melepaskan pagutannya.
"Oh, Dewa."
"Satu lagu ya? Rekam saja dengan pengambilan bebas," kata Dewa.
"Hei, Dewa ini kayak sutradara saja."
Dewa tertawa.
"Lorna yakin, pasti Dewa tahu betul tentang multimedia."
"Ah, sudahlah!"
"Seniman sejati, di era sekarang seharusnya memang menguasai lebih dari satu media. Lorna yakin, Dewa juga menguasi komputer."
"Ah, jadi merekam nggak. Atau mau berbahas?"
Lorna tertawa kecil.
"Berbahas juga nggak apa-apa," jawab Lorna seraya memegang kamera.
"Beri aba-aba bila sudah siap," kata Dewa sambil mulai melantunkan intro.
Dewa memperhatikan kalau Lorna benar-benar menguasai kamera.
"Action!" Lorna lantas memberi aba-aba.
Maka Dewa pun mulai melantunkan musiknya The Scorpion, yang berjudul Always Somewhere. Dan Lorna melakukan pengambilan gambar dengan cermat. Bergerak dari satu sudut ke sudut pengambilan yang lain. Piranti multimedia yang berada dalam kamar itu sesungguhnya sudah di-set untuk kebutuhan seperti itu. Seperti pencahayaan. Sistem suara. Perekaman suara maupun pengambilan gambar. Ruangan yang kedap suara, sehingga tidak berisik bila didengar dari luar.
Lorna mencermati pengambilan gambar, agar penghayatan Dewa bisa terekam dengan detail. Hingga Dewa mengakhiri lagunya. Lalu Lorna mendekatkan lensa kamera untuk pengambilan close up. Setelah itu.
"Cut!"
Lorna lantas mematikan camcodernya. Meletakkanya kembali di atas meja. Dewa pun mematikan alirn listrik yang ke organ. Lalu keduanya berpelukan lama.
Malam sudah meninggi. Ruangan itu kemudian ditinggalkan dengan keheningannya sendiri. Dewa menggendong Lorna turun dari lantai atas. Mambawanya masuk ke dalam kamar. Saat berada di dalam kamar, Lorna tak ingin melepaskan rangkulannya di leher Dewa. Dia ingin malam ini menikmati kebersamaannya. Sebab besok keduanya harus berpisah. Dewa memangku Lorna duduk di sofa. Keduanya masih larut dengan perbincangan.
"Lorna bikinkan lagi yang hangat ya?"
"Jangan, nanti mengganggu."
"Bukan Titi yang kusuruh bikin. Tapi Lorna yang bikinkan."
"Baiklah kalau begitu."
"Ke ruang makan, yuk?"
Dewa pun mengikuti ajakan itu. Menuju ke ruang makan. Pizza di kamar belum tersentuh. Di atas meja makan juga ada sekotak lagi.
Berdua lalu menikmati Pizza, yang terlebih dahulu dimasukkan ke microwave, agar terasa lunak.
Lalu saling menyuap. Dewa merasakan selalu ingin kemanjaan darinya. Sampai minum pun maunya yang ada di gelasnya.
"Hubungi Lorna ya bila sudah tiba di rumah?"
"Nanti Dewa akan menghubungimu."
Lorna lalu duduk dipangkuannya.
"Sering-sering, ya?"
Dewa mengangguk membiarkan Lorna yang membersihkan sekitar mulutnya dengan selembar tissue.
"Ada beberapa hal yang harus kutuntaskan dulu. Setelah itu kita rencanakan langkah kita ke depan. Kita selaraskan waktu dan kegiatan kita masing-masing. Baru kemudian kita rencanakan kapan kita resmikan hubungan kita. Aku tak ingin berlama-lama."
"Harapan Lorna begitu. Tapi terserah Dewa."
Lorna lantas memeluknya ketat.
"Yuk, kita ke kamar tidur. Hari sudah larut. Besok Lorna harus ke kantor. Dewa berharap perpisahan besok jangan Lorna bawa ke dalam pikiran. Itu hanya sementara. Percayalah Dewa tak akan membiarkanmu kesepian."
"Dewa..."
Lorna kian memeluknya erat.
"Bawalah Lorna ke kamar, De. Lorna ingin tidur dalam pelukanmu."
"Akan kupeluk agar kamu merasa nyaman."
Dewa pun kemudian mengangkat tubuh Lorna. Membopongnya kembali masuk ke dalam kamar. Setelah berkumur dan membersihkan wajah. Keduanya lantas naik ke pembaringan. Dewa memberinya pelukan hangat. Lorna pun merasa nyaman merasakan pelukan lelaki yang dicintainya, terasa damai.
Kamar kemudian hening sesaat. Hanya suara angin yang keluar dari kipas ac di dinding terdengar jelas. Hingga Lorna memanggil namanya.
"De?"
"Hm."
"Lorna takut."
"Apa yang kamu takutkan?"
"Aku takut berpisah denganmu. Peluklah aku erat, De."
Dewa kemudian memeluknya erat.
"Kenapa kau berpikir kita akan berpisah?"
"Entahlah, De. Apakah ini akibat perpisahan kita yang sudah terlalu lama?"
"Sudahlah, Na. Lupakanlah yang pernah terjadi."
"Tapi terasa sulit sekali, De. Lorna merasa bersalah meninggalkanmu ketika itu."
Dewa membenamkan hidungnya ke pipi Lorna.
"Sudahlah. Lupakanlah."
"Maafkanlah Lorna ya, De?"
Dewa menatapnya.
"Kamu sayang sama Lorna, De?"
"Aku menyayangimu, Na."
"Seperti yang Grace bilang. Tari dan Dini juga sudah lama mencintaimu."
"Aku tak tahu mereka begitu kepadaku. Aku tak mudah jatuh cinta, Na. Biarlah akan kuhadapi mereka. Aku juga tak ingin mereka kecewa, karena aku mencintaimu. Aku cukup lama mengenalmu, Na. Ibu pun mengatakan padaku kalau kamu bisa menjadi isteri yang baik."
"Ibu bilang begitu?"
"Ya. Karena itulah pilihanku jatuh padamu."
"Oh."
Hening sesaat.
"De, kamu baik sekali kepada Lorna."
"Hm."
"Kamu tak pernah memanfaatkan aku."
"Ah, Na."
"Kalau kamu lelaki lain, barangkali sudah memanfaatkan dan mengambil kehormatan Lorna."
"Ah, Na."
Dewa lalu merapatkan pipinya ke pipi Lorna.
"Aku tak ingin merusak makna cinta yang terjalin di antara kita dengan hal-hal seperti itu, Na."
"Itu yang Lorna rasakan."
"Lorna tahu bagaimana ibuku? Lorna kan sudah pernah dekat dengan ibu. Lorna juga tahu bagaimana kehidupan kami dirumah. Lorna juga tahu sendiri bagaimana aktifitas ibuku di rumah. Begitu gigihnya memeliharaku. Demikian gigihnya menghantarkan aku hingga dewasa. Bagiku wanita siapa pun orangnya, haruslah dihormati. Baik buruknya tabiat seseorang selalu akibat pengaruh lingkungannya."
"Kamu lelaki yang baik, De. Lorna sangat bahagia bisa bertemu denganmu sejak pertama kali masuk sekolah. Apalah jadinya bila saat itu Lorna tidak bertemu dan berkawan denganmu."
"Ah, Na. Saat itu yang aku pikirkan bahwa Lorna kutempatkan seperti adikku sendiri. Aku merindukan punya saudara. Apalagi seorang perempuan. Belum lagi yang memiliki sifat dan kelembutan seperti yang ada pada ibuku. Dan itu kulihat ada pada dirimu, Na. Saat itu kamu tahu betul keadaanku? Bagaimana kami bisa bertahan untuk hidup. Bagimana kami harus melakukan sesuatu untuk mencukupi kebutuhan hidup. Kebutuhan yang jauh dari cukup. Tak seperti keadaan kawan-kawan kita. Dengan orangtua single parent. Dewa yang kerap menunggak pembayaran sekolah. Kerap harus membawa surat pemberitahuan ke tatausaha minta dispensasi pembayaran uang sekolah. Yang selalu tak pernah bisa menerima pembagian rapot pada saatnya, lantaran belum melunasi administrasi. Yang tak pernah bisa menebus buku-buku diktat tahun ajaran baru.
Tapi kamu tak melihat itu. Kamu melihatku seperti apa adanya. Padahal kamu memiliki segalanya. Pulang pergi sekolah dan kemana saja selalu diantar mobil. Tapi aku suka ketika kamu lebih memilih membonceng sepeda pancalku."
"Oh, De. Kasihan sekali kamu waktu itu ya?"
"Aku mencintaimu lantaran apa yang ada dalam dirimu, Na."
"Oh, Dewaku. Manis sekali kata-katamu."
"Aku mencintaimu bukan lantaran apa yang kulihat, melainkan apa yang kurasakan."
"Oh, Dewa." kata Lorna seraya membenamkan bibirnya ke bibir Dewa sesaat.
"Selamat malam, De."
"Selamat malam, Na."
"Selamat tidur, Dewaku."
"Selamat tidur, sayangku."
Dewa memberi kecupan kembali di bibirnya sejenak. Lorna memejamkan mata. Menyembunyikan wajahnya ke leher Dewa. Sebentar kemudian wajahnya yang cantik itu nampak telah larut dalam kepulasan. Dewa lantas mencium keningnya sebelum memejamkan mata.