Gadis kecil itu telah lama tidak dikunjunginya. Tetapi setiap saat dia selalu menghubunginya melalui telepon. Ketika berdiri di ambang pintu. Gadis kecil itu nampak terkejut melihatnya. Dan tanpa membuang waktu lalu menghambur kepadanya.
"Ayahku pulang!"
Dewa lalu berlutut menyambutnya. Memeluk hangat tubuh kecil itu. Mencium pipinya dengan gemas. Mengecup bibir mungilnya. Dan gadis itu pun membalas mencium pipi dan bibirnya berulangkali sekan melampiaskan rasa rindunya setelah sekian waktu berpisah.
"Wulan sudah libur belum, Sayang?"
"Sudah, Yah. Kan Ayah datang menjemput Wulan mengajak libur."
"Ya, ya, Ayah datang menjemput Wulan. Mana Yang Tri dan Yang Kung?"
"Di belakang, Yah!"
Lalu digendongnya gadis itu. Dewa meletakkan tasnya ke atas kursi kayu yang tak berpelitur.
"Oh, ngger Dewa...." kata Eyang Sastro yang muncul dari dalam.
Dewa kemudian mencium tangannya.
"Bagaimana kabarnya, Ngger?"
"Pangestunipun, Yang," jawab Dewa singkat.
"Mana Eyang Putri?"
"Lagi di belakang. Ngurusi sapimu yang baru melahirkan. Ngger Dewa baru sampai? Naik apa tadi?"
"Turun kereta di kota, Yang. Kemarinya naik ojek."
"Lha iya, malam-malam begini kok nekat."
"Soalnya jadwal waktunya berhenti di stasiun jam sembilan, Yang. Mana yang lain, kok sepi?"
"Lagi ngumpul di rumah Lik Parno nonton bola."
"Ngger Dewa sudah makan?"
"Sampun, Yang. Ini kubelikan gudek di kendil."
Dewa lalu mengambil bungkusan yang dibelinya dari kota. Dia sempat beli beberapa kotak bakpia dan sayur gudek dalam kendil. Dan sebuah bungkusan yang berisi permen coklat dan makanan lain buat Wulan dan boneka yang dibelinya di stasiun Gambir..
"Ini buat, Wulan."
"Terima kasih, Yah. Nanti tidur di kamar Wulan lagi ya Yah?"
"Ya, sayang. Nanti ayah tidur sama Wulan di kamar Wulan," jawab Dewa lalu duduk sembari memangku gadis kecil itu. Dewa mencium pipinya lagi. Membantu Wulan membuka bungkusan permen coklat. Menatapi wajah yang sudah lama tak dilihatnya.
"Cerita Bunda lagi, ya Yah? Bunda belum pulang, Yah."
"Ya, nanti Ayah akan cerita Bunda lagi."
"Kapan Bunda pulang, Yah?"
"Bunda masih terbang tinggi ke bulan. Kan Ayah sudah beritahu, Bunda sedang apa hayo?"
"Bundaku pergi ke bulan mengambil selendang buat menggendong Wulan yang tertinggal di sana."
"Betul sekali. Bunda sedang pergi ke bulan mengambil selendang buat menggendong Wulan yang cantik."
"Lama sekali perginya Bunda ya Yah."
"Iya, bulan kan letaknya jauh," jawab Dewa, hatinya serasa tertikam seribu jarum.
Bagi Dewa melayani Wulan seperti itu sudah menjadi kebiasaanya bila bertemu. Baginya Wulan tak lebih dari buah hatinya. Wulan adalah warisan Nirmala yang harus dijaganya. Meski bukan berhubungan darah. Tetapi, bagaimanapun juga Wulan tetap diakuinya sebagai anaknya sendiri, karena status Nirmala pada saat Wulan dikandungannya sudah resmi menjadi isterinya.
Kini Wulan dititipkan pada Kakek dan Neneknya. Karena Dewa tak bisa merawat sendiri sepeninggal Nirmala. Dia tetap berusaha rutin untuk selalu mengunjunginya. Di rumah itu ada Damayanti, adik Nirmala yang ikut merawatnya. Rencananya Damayanti akan kuliah di Malang. Dengan begitu dia bisa memboyong Wulan ke sana. Damayanti bisa membantu merawat Wulan di rumah. Sejak datang tidak dilihatnya Damayanti.
"Sedang keluar membeli makanan," kata Eyang Putri yang kemudian muncul sambil membawa segelas teh panas.
Dewa segera mencium punggung tangannya.
"Bagaimana kesehatan, Yang Putri?"
"Syukurlah, yang penting diparingi slamet lan sehat. Kamu juga ngger, yang penting sehat dan selamat. Hidup cuma itu yang dicari manusia."
"Inggih, Yang."
"Tadi si Dama keluar mau beli sayur tumpang kesukaanmu. Dia tahu ngger Dewo mau datang. Jadi to membawa Wulan liburan."
"Inggih, Yang. Sios. Besok pagi rencana naik travel saja. Kalau menunggu kereta harus malam berangkatnya."
"Ya, bawalah anakmu kerumahmu. Biar dia bisa liburan."
"Inggih, Yang. Mungkin sebaiknya Wulan kubawa kesana kalau Dama dapat sekolahan di sana."
"Ya, itu terserah kamu ngger. Mau mandi dulu atau mau istirahat. Kalau mau mandi kurebuskan air panas. Tidur di kamar Yanti sana."
"Inggih, Yang."
Dewa pun lantas menggendong Wulan ke luar rumah. Kebetulan bulan dilangit nampak bundar. Cahayanya terang benderang, berwarna putih. Sekelompok awan tipis nampak terlihat melintas dalam bayangan bulan yang putih.
"Wulan belum mengantuk, sayang?"
Gadis itu merebahkan kepalanya kebahunya. Dewa mengusap-usap punggungnya. Agaknya gadis itu terbuai dalam gendongan Dewa. Tangannya masih menggenggam batangan coklat yang tak habis dimakan. Dewa segera mengambil dan memasukkan ke dalam saku celananya.
"Cium pipi Ayah dulu, sayang."
Seketika gadis itu menegakkan kepalanya. Lalu mencium pipi Dewa kiri dan kanan, kemudian bibirnya dilekatkan ke bibir Dewa.
"Terimakasih, sayangku. Tidurlah kalau Wulan sudah mengantuk."
"Wulan belum ngantuk, Yah," jawabnya sambil merebahkan wajahnya ke bahunya.
"Liburan besok naik apa, Yah, " Wulan tiba-tiba bertanya.
"Wulan pingin naik apa?"
"Naik kereta api, Yah."
"Tapi besok naik mobil dulu ya? Besoknya lagi kita naik kereta api."
"Lik Ti ikut ya Yah?"
"Nanti Lik Ti menyusul. Besok Wulan berangkat dengan Ayah dulu."
Tak lama kemudian Damayanti muncul membawakan baju hangat buat Wulan. Damayanti mencium punggung tangan Dewa, kemudian memberikan pipi-pipinya untuk dicium Dewa. Serta memberikan tubuhnya untuk dipeluk sesaat.
"Sudah lama datangnya, Mas?" tanya Dama.
"Lumayan!" jawab Dewa.
"Hai, sayang. Pakai jaket dulu ya? Biar nggak dingin diluar," kata Dama kepada Wulan. Wulan pun lalu bangun dari bahu Dewa. Merentangkan tangannya agar mudah memakaikan baju hangatnya. Hati Dewa sesungguhnya terenyuh. Wulan demikian penurut. Tak pernah membantah. Rambutnya yang panjang, dikepang dua, memperlihatkan wajahnya yang bersih. Bola matanya bulat dan besar. Dengan bulumata yang hitam dan panjang, wajahnya pun cantik, seperti ibunya, juga seperti Dama.
"Masih mau gendong Ayah, atau Lik Ti?"
"Wulan mau tidur sama Ayah, Lik Ti."
"Ya, sudah. Lik Ti ke dalam dulu ya? Mas Dewa, Dama sudah siapkan makan di atas meja."
"Baiklah. Tadi sebenarnya aku sudah makan di dekat stasiun. Tapi nggak apa-apa, sebentar lagi aku akan ke dalam."
"Mumpung masih panas, Mas."
"Wulan masuk ke dalam saja, Yah. Ayah mau makan dulu, biar Ayah tidak sakit."
"Betul sayang, kita harus makan supaya tidak sakit. Yuk, kedalam. Kita makan berdua ya? Wulan mau Ayah suapi, mau nggak?"
"Mau, Yah."
Maka Dewa pun makan yang sudah disediakan Damayanti di meja makan. Lalu makan berdua dengan Wulan. Dia lebih banyak menyuapi Wulan. Walau gadis kecil itu lambat makannya, dan lebih banyak bertanya. Dia tetap sabar melayaninya dengan bercerita. Setelah makan Wulan memintanya dibawa ketempat tidur. Dewa pun lantas membawanya ke kamar setelah keduanya menggosok gigi.
"Dik Dama, tolong disiapkan pakaiannya Wulan, Ya."
"Sudah, Mas. Dama sudah siapkan. Tinggal memasukkan ke dalam tasnya Mas Dewa. Apa mau dimasukkan sekarang?"
"Masukkan saja. Kamu nanti tidur dimana?"
"Tidur sama Yang Putri."
"Ya sudah, aku tidur sama Wulan di kamarmu ya?"
"Silahkan, Mas."
Dewa pun kemudian berbaring ditempat tidur Damayanti. Tempat tidur ini juga tempat tidurnya Wulan. Mereka berdua tidur di kamar ini. Dewa kemudian melepas pakaiannya, dan menggantinya dengan kain sarung. Setelah itu, terlentang merebahkan diri. Wulan tengkurap di atas perutnya. Dewa memeluknya hangat. Kepala Wulan rebah di atas dadanya. Nafasnya terdengar teratur. Kelopak matanya nampak berat untuk dibuka. Sepertinya dia sudah mulai terkantuk-kantuk. Dia ingin terbangun untuk mendengarkan cerita Ayah tentang Bundanya, tetapi matanya tidak bisa diajak tetap terjaga. Dewa hanya melantunkan lagu pengantar tidur dengan suara lirih. Hingga akhirnya keduanya pun tertidur dengan pulas.
Suara tonggeret dan tokek terdengar di pohon waru di belakang rumah. Sesekali terdengar lenguhan sapi di kandang. Tak jauh di sebelah. Sayup-sayup terdengar Marijan sedang menembang mocopat.
Tak lama kemudian nampak wajah Dama dari balik pintu. Dewa yang belum tertidur melihatnya.
"Masuklah!" kata Dewa.
Lalu Dama masuk ke dalam kamar. Lantas duduk di tepi kasur di kaki Dewa.
"Dama hanya mau memastikan tidurnya, Wulan," kata Dama dengan suara perlahan.
Dewa memaklumi sikapnya yang memperlakukan Wulan selayak anaknya sendiri yang dirawatnya sejak bayi.
"Semua pakaian Wulan sudah Dama rapikan ke tas Mas Dewa," kata Dama menjelaskan bahwa segala keperluan Wulan untuk keberangkatan besok sudah siap.
"Duduklah dekatku," kata Dewa yang dituruti Dama dengan duduk pada kursi yang berada didekat kepala Dewa.
Dewa memandang wajah Dama. Wajahnya mengingatkan pada Nirmala karena wajah keduanya mirip. Dama sesungguhnya tidak tahan bila ditatap Dewa berlama-lama seperti itu. Wajah Dewa adalah wajah yang selalu dirindukan dan diharapkan lekas pulang mengunjungi dirinya dan Wulan. Bukan lantaran wajah Dewa yang tampan, tetapi lebih dari itu dia berharap Dewa memperlakukannya lebih dari sebagai adik ibunya Wulan, dia berharap Dewa memperlakukannya sebagai bakal pengganti almarhum kakaknya, Nirmala.
Dalam pikiran Dama adalah apakah selama ini Mas Dewa tidak kesepian setelah ditinggalkan kakaknya Nirmala? Selalu berangan-angan bila Dewa tak datang-datang. Dan kerap bermimpi menemukan dirinya menjadi pengganti kakaknya Nirmala, bermimpi tidur dan bercinta dengan Dewa, bermimpi hidup bahagia bertiga bersama Wulan. Belum lagi lamunan-lamunan yang berharap menjadi kenyataan.
Tetapi saat diingatkan kepada sosok seorang gadis bule yang bernama Lorna. Gadis cantik bak bidadari itu telah membuat hatinya seperti terkoyak. Betapa tidak kemunculannya seakan merebut Dewa darinya. Keakraban yang ditunjukkan gadis itu pada Dewa sudah menunjukkan arti hubungan keduanya. Namun kemudian membuatnya bertekat untuk mempertahankan Dewa. Karena selama ini, merasa dirinyalah yang berhak memiliki Dewa. Dirinya yang berhak menggantikan posisi sepeninggal kakak perempuannya, bukan untuk dirinya sendiri tetapi juga demi kebaikan Wulan. Kepentingan Wulan tak boleh dikorbankan.
"Hei!" panggil Dewa perlahan.
Dama tergagap dan tersadar dari lamunannya.
"Melamun?"
Dewa lalu memintanya lebih dekat. Dan Dama pun berlutut di tepi tempat tidur.
"Maafkanlah aku telah membuatmu repot harus mengurus Wulan."
Dama segera menggelengkan kepala.
"Mas Dewa jangan berkata begitu, itu sudah tugas dan kewajiban Dama untuk merawatnya, anggap saja Dama ini Mbak Nirmala, Dama akan melayani apa pun yang Mas Dewa minta."
Dewa membelai rambut kepalanya.
Mata Dama berkaca-kaca.
"Mas Dewa, baik sekali."
"Ah, kamulah yang baik."
Dama lalu merebahkan kepala di samping kepala Dewa.
"Dama sulit tidur bila tak di dekat Wulan."
Dewa lantas mengecup kening Dama.
"Bila Wulan kubawa pergi, tentu besok kamu kesulitan tidur."
"Biarlah, nggak apa Mas, itu kan sementara."
"Kemarilah!" kata Dewa tahu bahwa Dama ingin dipeluk bila berada dekat Dewa, Dama merasa nyaman karena Dewa memperlakukannya sebagaimana adiknya sendiri, apalagi kini hanya Dewalah yang dimiliki sepeninggal kakaknya Nirmala. Maka Dama merebahkan wajahnya ke dada Dewa yang bidang.
Kemudian hening. Kamar pun terasa sunyi senyap. Namun kedua mata Dewa dan Dama masih terjaga. Hanya saling membisu, seakan larut oleh pikiran masing-masing. Sampai kemudian Dama harus mengatakan sesuatu yang selama ini memberati pikirannya.
"Dama mau melayani keinginan Mas Dewa bila merasa kesepian," suara Dama perlahan dan halus, namun cukup menyentak hati Dewa.
Tetapi Dewa tidak ingin bersikap yang bisa menimbulkan gadis itu merasa tak nyaman. Sebaliknya Dewa lebih ingin mengetahui apa yang menjadi keinginan gadis itu.
"Maksud Dama?" tanya Dewa seakan tak paham.
Pertanyaan Dewa sesungguhnya menimbulkan pengertian bercabang menurut penafsiran Dama. Apakah dia akan berterus terang ataukah tidak meneruskan niatnya. Tetapi Dewa mendesak yang membuatnya lalu mengatakan apa yang dipikirkannya.
"Mas Dewa sudah lama tidak tidur dengan Mbak Nirmala sejak kepergiannya. Bila Mas Dewa menginginkannya Dama bersedia menggantikannya."
Dewa mengusap-usap punggung Dama.
"Kenapa kamu berpikiran seperti itu?"
"Dama kasihan pada Mas Dewa."
Dewa tersenyum.
"Kamu tahu apa akibatnya bila itu kulakukan terhadapmu?"
"Dama menerima resikonya, Mas."
"Apa?"
"Dama kehilangan keperawanan."
Dewa menggeleng.
"Yang penting Dama jangan sampai hamil," lanjut Dama dengan suara perlahan.
Dewa menggeleng seraya memeluknya erat. Pelukan yang dilakukannya adalah pelukan kepada seorang adik yang disayanginya. Kini menjadi mengerti apa yang ada dalam pikiran gadis yang mau berpasrah berusaha menolongnya keluar dari siksaan bathin setelah lama ditinggalkan isteri. Tentunya keinginannya untuk berhubungan badan yang selama itu tak bisa disalurkan bisa dilakukan terhadapnya. Tentu saja alasan Dama memasrahkan dirinya untuk membalas kebaikan yang selama ini sudah diberikan Dewa. Padahal Dama tidak tahu bahwa selama beristrikan kakaknya Dewa tidak pernah tidur apalagi menidurinya.
"Sudahlah lupakan pembicaraan ini. Tidurlah di sampingku bila kamu tak bisa tidur bila tidak dekat dengan Wulan."
Maka Dama menempatkan dirinya berbaring di samping Dewa.
"Lakukanlah bila Mas Dewa menginginkan. Kapan saja."
"Sudahlah."
"Dama rela, Mas."
"Kamu adalah adikku, aku tak bisa melakukannya. Bila kulakukan, aku harus mengawinimu," kata Dewa menanggapi desakan Dama.
Dewa menyadari bahwa Dama pun memiliki kecantikannya sendiri. Tubuhnya pun semampai. Pinggulnya mekar. Buah dadanya pun padat. Kulitnya kuning langsat. Tatapan matanya selalu nampak sendu. Rambutnya hitam lebat. Aroma tubuhnya juga segar. Tetapi Dewa tetap bersikap sebagai seorang kakak yang akan tetap menjaganya. Tutur bahasanyapun halus. Tetapi ungkapan Dama membuatnya gelisah. Namun tak ingin menyinggung perasaan gadis itu. Biarlah dia mengungkapkan unek-uneknya, biarlah dia sampaikan apa yang menjadi keinginannya. Dengan begitu jadi tahu apa yang sesungguhnya yang sedang terjadi dalam sanubari gadis itu terhadap dirinya.
Setelah keduanya saling membisu Dama lalu berkata dengan suara lirih.
"Mas Dewa tak harus mengawini, Dama. Karena Dama sudah merasa memiliki Mas Dewa."
Dewa menatapnya. Dama membalas tatapannya, berharap Dewa melakukan sesuatu pada dirinya, setidaknya Dewa akan menciumnya, ciuman yang selama ini hanya dilihatnya difilm-film di televisi, ciuman yang belum pernah dilakukannya, ciuman yang hanya singgah dalam mimpi dan lamunannya, dia berharap lelaki yang menatapnya akan melakukannya.
Tetapi harapannya tak terkabul. Dan itu yang membuatnya tersiksa serta bertanya-tanya. Kenapa Mas Dewa demikian gigih untuk tidak tergoda dengan tawaran yang diberikannya. Mana ada lelaki menolak bila diberikan peluang seperti yang telah diungkapkannya. Tetapi Dewa tetap tegar. Sikap yang ditunjukkan kepada Dewa dengan bermanja, melendot, memeluk, padahal dirinya bukanlah anak-anak lagi, dirinya sudah gadis remaja dengan tubuh sudah matang, sudah menstruasi. Tetapi Dewa seakan tak bergeming, ataupun terbangkitkan gairahnya.
Berbaring seperti itu, Dama membayangkan dirinya adalah isteri Dewa dan Wulan adalah anak mereka. Namun dalam anggapan Dewa selalu Wulan adalah anaknya dan Dama adalah adiknya.
"Mas..."
"Ya?"
"Dama sayang, Mas Dewa."
"Terima kasih. Mas Dewa juga sayang kamu."
"Mas Dewa perhatian pada Dama dan Wulan."
"Karena kalian adalah bagian dari hidupku. Aku harus menjaga kalian."
Kemudian hening. Sementara Marijan masih asyik menembang, menikmati cahaya terang dari bulan bundar penuh di atas langit.
"Tidurlah, adikku. Hari sudah larut. Tentu kamu sudah capai."
"Dama ingin memeluk Mas Dewa."
"Peluklah bila itu yang kamu inginkan."
Maka Dama memeluk tubuh Dewa. Memperhatikan Wulan yang pulas memeluk tubuh ayahnya.