67. Pesarehan.

Pagi hari udara terasa dingin, tetapi tidak menusuk. Aroma asap kayu yang dibakar untuk menyalakan tungku perapian membuat Dewa terbangun. Kelopak matanya terbuka saat suasana di luar sudah terang benderang. Tidak biasanya dia bangun kesiangan seperti itu. Barangkali rasa nyaman tidur memeluk Wulan membuat tidurnya nyenyak.
Wulan masih nampak masih tertidur pulas. Dewa membetulkan dasternya yang tersingkap. Kemudian menyelimutinya kembali. Sementara diluar terdengar kesibukan penghuni rumah yang sudah bangun sejak hari masih gelap. Dama sudah tak berada disisinya.
Dewa segera ke belakang.
"Mas Dewa kalau mau mandi air panas, sudah Dama rebuskan air," kata Dama ketika bertemu di dapur belakang.
"Terimakasih. Biar airnya buat Wulan mandi. Aku mandi air dingin saja."
Selesai mandi dan merapikan diri. Dewa ikut duduk di bale yang ada di depan rumah. Di situ Eyang Sastro sudah duduk terlebih dulu menghadapi segelas kopi dan sepiring getuk.
"Duduk sini, Ngger. Ngopi-ngopi dulu. Ini kopimu. Sarapan getuk."
"Matur nuwun, Yang."
Dewa ikut duduk. Dia tidak biasa mengopi, tetapi kali ini dia menikmati kopi yang disangrai sendiri. Terasa pahit karena memakai gula merah, tetapi pahitnya kopi asli terasa gurih di langit-langit mulutnya.
"Getuk buatan Yu Nah ini masih hangat. Ayo dimakan."
Dewa lalu ikut makan getuk buatan Yu Nah. Yu Nah kalau pagi jualan makanan di depan rumahnya. Letak rumahnya setelah empat beberapa rumah dari rumah orangtua Nirmala. Getuk adalah makanan yang terbuat dari singkong yang ditumbuk dan diberi tambahan pemanis gula merah, dan dilengkapi parutan kelapa bila menikmatinya. Rasanya gurih dan mengenyangkan. Cocok buat sarapan.
"Bagaimana makam ibumu dan isterimu?" tanya lelaki tua itu.
"Kemarin habis nyekar di sarehannya, Yang. Gino yang selalu melihat dan merawatnya."
"Kamu sebelum berangkat sempatkan lihat sarehan Bapakmu."
"Inggih, Yang. Dama sudah tahu, kalau saya kemari selalu menyiapkan bunga untuk keperluan nyekar ke sarehan Bapak."
"Yo, kudune ngono, Ngger. Ora ono bapamu ora ono kowe."
"Inggih, Yang."
Tiba-tiba dari seberang jalan ada yang berteriak memanggil namanya.
"Kang Dewo."
Dewa menengok ke arah suara. Dia melihat Marijan sambil memanggul cangkul dan sabit melambaikan tangan kepadanya. Lelaki itu melangkah kemudian mendekat.
"Bagaimana kabarnya, Kang?" tanya Marijan seraya menyalami.
"Pengestunya. Duduk dulu, Mar. Ngopi-ngopi dulu. Ini ada getuk."
"Terima kasih. Kapan datang?"
"Semalam kudengar tembang mocopatmu. Itu yang membuatku kangen dengan desa ini."
"Iya, kang. Lagi nglangut. Sudah lama nggak kelihatan."
"Iya, kang. Sibuk golek urip."
Marijan tertawa.
"Hidupnya, Kang Dewo sudah mulyo sekarang. Mana Wulan? Sudah mulai besar dia."
"Masih tidur."
"Dia pasti senang Ayahnya datang."
Dewa tertawa.
"Duduk dulu. Mar. Ngopi sarapan getuk. Ini enak. Getuknya Yu Nah."
"Sampun, terimakasih. Saya permisi dulu, nanti keburu siang. Mau menyiangi bibit cabe sekalian mau dipindahkan. nanti sore saya kemari, bisa ngobrol-ngobrol tombo kangen. Kalau yang lain melihat kang Dewo pulang, tentu banyak yang datang kemari."
"Aduh, maaf, Mar. Sehabis dari arehan Bapak, saya langsung pergi."
"Lho, kok mendadak?"
"Iya, mau mengambil Wulan untuk mengajaknya libur. Mumpung sekolahnya lagi libur."
"Sayang sekali. Tapi mau bagaimana lagi. Pekerjaan tidak bisa ditunda. Saya hanya bisa mendoakan semoga kang Dewo tambah sukses, diberi berkah dan keselamatan."
"Terimakasih, Mar. Titip salam saja ya. Main kesana kalau ada waktu."
"Ya Kang. Nanti kusampaikan kepada siapa saja. Permisi. Monggo, Mbah To."
Eyang Sastro mengangguk.
Damayanti keluar pintu rumah menggendong Wulan yang sudah selesai dimandikan. Wulan juga sudah dikenakan rok yang bagus. Rambutnya juga sudah diikat dengan pita berwarna merah muda. Pipinya masih nampak berlepotan dengan bedak. Damayanti seperti nampak terburu-buru memberinya bedak.
"Hai, sayangku. Sini duduk dipangkuan Ayah," kata Dewa.
Dama lalu meletakkan Wulan ke pangkuan Dewa. Dewa merapikan bedak pada pipi Wulan dengan mengusap-usap. Lalu mencium pipi-pipi itu dengan lembut.
"Maaf, Ayah tak membangunkanmu."
Wulan tak membalas, dia merangkul dan memeluk lehernya. Baru bangun membuatnya masih malas bicara. Wajahnya direbahkan ke atas bahunya. Badannya yang beraroma minyak telon, terasa segar di rongga dadanya.
Tapi kemudian memandang wajah Ayahnya dan menempelkan bibirnya ke bibir Dewa. Lalu kembali merebahkan wajahnya ke bahu Dewa.
"Dik, Dama. Bunga untuk nyekar sudah ada?"
"Sudah, lebih baik pagian saja ke sarehannya, Mas. Wulan biar di rumah saja, biar sambil menunggu kuberi makan dulu. Ke sarehan dengan siapa?"
"Biar aku sendiri."
"Masih ingat tempat sarehan bapakmu?" tanya Eyang Kung.
"Masih, Yang."
"Jangan lupa bawa arit dan sapu duk," Eyang Kung menambahkan.
Mentari nampak bersinar di balik rimbunnya pohon kamboja, saat Dewa sudah berada di komplek pemakaman. Beberapa burung kutilang, berpasangan melintas di atas pepohonan. Hinggap pada dahan pohon dadap. Tanah masih terasa lembab dan basah. Embun pun masih menggelayuti batang-batang rumput. Udara diselimuti kabut putih tipis yang berasal dari asap pembakaran kayu. Aromanya terasa sangit.
Dewa tak sulit menemukan makam bapaknya. Makam itu hanya dikotori oleh daun dan bunga kamboja yang rontok. Sejak dibangun pembatas terbuat dari semen dan batu bata. Makam itu tak lagi diganggu oleh rumput yang cepat tumbuh. Batu nisannya sudah digantinya dengan batu marmer. Tulisan pada batu marmer diukir dengan gravier.
Dewa berdoa beberapa saat di atas makam ayahnya. Setelah itu dia menaburkan bunga yang dibawanya dalam gendok. Air dalam gendok pun disiramkannya hingga habis di atas makam ayahnya. Membuat tanah lembab kian basah. Sebelum meninggalkan tempat itu. Dewa mengedarkan pandangan untuk menikmati suasana sekitar pekuburan itu. Kemudian melihat kembali makam ayahnya. Memperhatikan tulisan yang ada pada batu nisan yang terbuat dari marmer abu-abu.
Ada sesuatu yang hilang saat dia meninggalkan tempat itu. Ada sesuatu yang memberatkannya saat meninggalkan tempat itu. Ada keinginannya makam ayahnya bisa disandingkan dengan makam ibunya. Tapi keinginan itu segera ditepiskan.
Dewa harus menempuh waktu perjalanan sekitar setengah jam dengan berjalan kaki. Dia sengaja berjalan kaki karena ingin menikmati suasana disana. Sepanjang perjalanan masih ditemui pohon-pohon besar. Ladang-ladang penduduk yang tak begitu luas. Padang rumput yang bila siang hingga sore hari banyak ternak merumput disana.
Sepanjang perjalanan banyak penduduk yang berangkat kesawah bertegur sapa dengannya. Ada yang mengenalnya. Banyak diantaranya tak mengenalinya. Karena dia tidak dibesarkan ditempat itu. Tetapi yang mengenalinya tentu akan menghormati karena orangtua Dewa cukup dikenal oleh penduduk lama.
Mentari kian beranjak menggapai langit. Sepasang kupu-kupu putih kecil terbang lincah di antara rerumputan. Bunga-bunga warna kuning mulai bermekaran menyemarakkan cerahnya suasana pagi hari.
Setengah jam kemudian Dewa sudah mencapai pintu pagar rumah Nirmala. Wulan yang duduk bersanding dengan Dama di bale depan rumah berteriak memanggil namanya seraya melambaikan tangan.
"Ayahku datang!"
"Ya, Ayah Wulan datang. Tunggu sebentar sayang. Ayah mau ke belakang dulu membersihkan kaki dan tangan."
"Lik Ti, Ayah sudah pulang!" ujar Wulan kepada Damayanti.
"Ya, Ayah Wulan sudah pulang," jawab Dama.
Bila melihat Damayanti. Dewa teringat Nirmala, sebab wajah keduanya ada kemiripan. Usia keduanya memang terpaut jauh. Namun kini sepintas lalu Damayanti kerap membuatnya terkesiap. Gadis itu sama lembutnya dengan sifat yang ada pada Nirmala. Keakrabannya dengan Wulan membuatnya harus membawanya ke Malang. Apalagi Ada keinginannya untuk bisa kuliah di fakultas keguruan. Dewa berkeinginan membantu agar Dama bisa menjadi guru atau dosen seperti keinginannya sendiri.
"Lik Ti besok menyusul, ya?" kata Dama ketika Wulan sudah berada kembali duduk dipangkuan Dewa.
"Urusan perpindahan sekolahnya bagaimana?" tanya Dewa.
"Kemarin sudah, Dama urus. Bulan depan Dama mulai masuk kuliah. Sekarang Dama berusaha mengejar agar urusan perpindahan sekolah Wulan bisa selesai sebelum Dama masuk kuliah."
"Baguslah. Tapi kamu nanti tinggal di rumah di samping Griyo Tawang. Satu persatu dulu urusan diselesaikan."
"Ya, Mas. Dama mengerti. Mas Dewa juga harus bekerja agar tidak terganggu kosentrasinya."
"Sudah kamu telepon biro travelnya? jam berapa menjemputnya?"
"Sudah semalam. Jam sebelas, Mas."
"Masih lama. SIM mu sudah selesai dibuat?"
"Sudah, Mas. Hanya belum diambil. Kan waktu mau mengambil itu, Dama pergi ke rumah Mas Dewa di Malang."
"Di Griyo Tawang ada motor bebek yang bisa kamu gunakan untuk keperluanmu."
"Terimakasih, Mas."
Damayanti memandang wajah Dewa.
"Ada apa?"
"Boleh Dama bertanya?"
"Tanya saja?"
"Hanya ingin tahu tentang Mbak Lorna saja? Dia bule ya Mas?"
"Ibunya Jawa bapaknya Australia."
"Jadi blasteran?"
"Ya, kenapa?"
"Ah, nggak. Kok cantik sekali. Kenal di mana, Mas?"
"Di sekolah."
"Teman sekolah?"
"Ya, teman sekolah."
"Jadi mas Dewa sudah mengenalnya sebelum bersama Mbak Nirma?"
Dewa tak menjawab. Sebaliknya dia mencium lembut pipi Wulan. Damayanti tahu siapakah sesungguhnya Wulan. Damayanti tahu bagaimana sejarah kakaknya Nirmala hingga menjadi isteri mas Dewa. Damayanti tahu semua perihal sejarah mas Dewa dan kakaknya Nirmala. Karena mengetahui kesemuanya. Melihat bagaimana mas Dewa begitu mencintai Wulan, hatinya merasa mengharu biru. Tak rela bila Mas Dewa jatuh ke pelukan gadis lain, apalagi gadis bule, yang menurutnya seperti yang kerap kali dibaca maupun ditonton di film-film memiliki tabiat yang tak hormat pada laki-laki, mudah berganti pasangan. Menghubungkan dengan kepribadian Mas Dewa. Dia tidak ingin Mas Dewa akan menjadi korban, meski dia demikian menghormat kepada lelaki yang tak hanya berkepribadian baik, wajahnya yang ganteng, bersih dengan badan yang tegap, walau memiliki sorot mata yang tajam, sorotan itu yang kerap membuatnya tak sanggup menatapnya.
"Maafkan Dama, kalau pertanyaan itu mengganggu pikiran, mas Dewa."
"Ah, aku merasa tak terganggu dengan pertanyaanmu."
"Mas Dewa cocok sekali dengan Mbak Lorna," Dama berusaha memancing dan menghibur Dewa.
Dewa memandangnya dengan tersenyum.
"Menurutmu begitu?"
Dama mengangguk.
"Ya, cocok banget. Mas Dewa ganteng, Mbak Lorna cantik. Tapi apakah Mbak Lorna tahu perihal mas Dewa?"
"Tentang apa itu?"
"Tentang Mbak Nirmala?"
Dewa mengangguk ragu-ragu.
"Tentang Wulan?"
Dewa menggeleng. Perbincangan itu membuat Dewa tak menyadari kalau Wulan telah pulas tertidur digendongannya.
"Mari kugendong Wulan, Mas?"
"Biarlah, dia ingin tidur dalam gendonganku."
"Mas Dewa trisno banget sama Wulan."
"Ah, kamu ini aneh. Ya harus begitu lha Wulan ini kan anakku."
"Iya, Dama tahu. Dama melihatnya Mas Dewa ini baik banget."
"Dewo iku kudu tumindak apik, cah ayu," kata Dewa seraya mencubit kecil dagu Dama. Dama suka dicubit Dewa, apalagi ketika Dewa merengkuh bahunya untuk dipeluknya biarpun sebentar.
"Terimakasih, kamu juga baik, kamu selama ini ikut merawat Wulan dengan baik."
Damayanti menunduk dan mengangguk.
"Ini kulakukan untuk kepentingan Wulan kok Mas."
"Ya, aku tahu."
"Cuma Dama berpikir bagaimana hubungan Mas Dewa dengan Mbak Lorna, bila Mbak Lorna belum tahu tentang Wulan."
Dama tiba-tiba melihat cincin yang ada di jari tangan Dewa. Selama ini Mas Dewa tak pernah dilihatnya mengenakan cincin semenjak meninggalnya Mbak Nirmala. Lantas cincin apa pula yang ada di jari tangannya? Tapi agar tak berkesan ingin tahu dan mencampuri segala urusan Dewa, maka Dama kemudian memilih diam.
"Berhubungan dengan wanita itu mesti harus berhati-hati. Salah langkah sedikit, urusannya bisa menyakitkan hati. Bicara dengan wanita harus menggunakan perasaan. Bukankah begitu?"
Dama membalas pandangan Dewa sejenak. Kalau saja mas Dewa ini tak memiliki pacar secantik Mbak Lorna, dalam hatinya, Dama tetap berharap menggantikan posisinya Mbak Nirmala.
"Coba kamu telepon lagi travelnya."
"Baik, Mas!"