69. Wulan Sudah di Rumah.

Sesudah makan malam. Dewa membawa Wulan berkeliling rumah, diikuti Gino dan Baba. Wulan masih nampak ketakutan ketika Baba menguntit di belakang. Mata Baba berbinar-binar melihat kearah Wulan. Ekornya tak berhenti mengibas-ibas. Mulutnya juga tak berhenti bersungut-sungut.
"Ayah, guguknya lapar. Minta makan."
Dewa tertawa.
"Bukan. Baba ingin kenal Wulan. Tapi Wulan masih takut. Coba ayah bicara pada Baba ya?"
Wulan mengangguk.
"Baba, duduk!" Dewa memberi perintah.
Baba lantas menurunkan pantatnya kelantai.
Wulan tertawa kecil.
"Tangan. Tangan diangkat!"
Lalu Baba mengikuti perintah itu. Dewa lalu menyalaminya.
"Nah, ayo berkenalan dengan gadis cantik ini. Kasih salam. Tangan, tangan diangkat."
Baba mengangkat tangannya ke atas. lalu Dewa membawa tangan Wulan untuk memegang kaki Baba sebentar. Menggoyang-goyang.
"Terimakasih, Baba. Ini Wulan. Bundanya lagi ke bulan. Kamu tunggu di luar. Tunggu Bunda Wulan pulang..." kata Dewa.
Wulan tertawa geli.
Gino juga tersenyum-senyum sejak tadi.
"Kemarin Mas Beni kemari." kata Gino.
"Sendiri?"
"Sama mas Joy."
"Apa keperluannya?"
"Katanya mau minta ijin menggunakan pendopo untuk rapat besok lusa."
"Kenapa harus minta ijin? Dia kan juga tahu jadwal kegiatan disana."
"Masalahnya keperluannya lain, mas."
"Apa itu?"
"Katanya untuk rapat panitia reuni."
Dewa memandang sejenak kepada Gino.
"Terus?"
"Ya, monggo saja."
"Ya, sudah kalau begitu."
Kemudian Dewa membawa Wulan ke halaman luar. Baba dan Gino masih mengikuti. Baba berlari-larian. Kadang hilang di kegelapan. Lalu muncul dengan mata nampak bercahaya. Wulan tak berhenti memperhatikan tingkah anjing pudel itu.
"Besok kita kesana bersama," kata Dewa
"Kalau begitu, mobilnya kusuruh menjemput. Pagi atau siang, Mas?"
"Pagi saja."
Kemudian Dewa dan Wulan kembali ke lantai atas. Gadis itu nampak senang berada dekat dengannya.
Malam ini Dewa harus menelpon Lorna. Tetapi harus menunggu hingga Wulan tidur dulu. Karena dalam perjalanan tadi, gadis itu sudah banyak tidur, yang membuatnya kini sulit memejamkan mata.
Dewa berbaring dan Wulan berbaring disebelahnya. Lengan tangannya menjadi tumpuan kepala Wulan.
"Ayah, Wulan mau bersama Ayah disini."
Ucapan itu membuat hati Dewa seperti tertikam. Lalu dia mencium pipinya dengan lembut. Sulit sekali baginya untuk menghindari setiap keinginan gadis itu.
"Ya, Wulan akan bersama Ayah disini. Besok Ayah akan tunjukan kamar Wulan yang baru. Di sana nanti Wulan bersama Lik Ti, tapi tunggu Lik Ti datang dulu. Karena harus ada yang menjaga Wulan. Di kamar Wulan ada banyak mainannya."
"Mainan Wulan di rumah bisa dibawa, Yah."
"Nanti Lik Ti yang akan membawanya. Besok Wulan akan Ayah ajak membeli buku, membeli pencil gambar, membeli tas yang baru. Kan nanti Wulan masuk sekolah yang baru."
"Hore, beli buku yang banyak ya Yah. Nanti, Andi kubagi satu, Nenok satu, Lisa satu..."
Nama-nama yang disebutkan Wulan adalah teman-temannya di sekitar rumahnya yang juga teman sekolahnya selama ini. Dewa terenyuh dengan apa yang dikatakan Wulan.
"Ya, semua nanti dibagi satu-satu."
"Kata Yang Tri, jadi anak harus baik."
Dewa lantas menciumi pipi Wulan. Mengecup bibir mungilnya.
"Ya, harus baik. Wulan adalah anak Ayah yang baik sekali."
"Bunda juga baik ya, Yah."
"Oh, iya. Bunda adalah bidadari yang baik sekali. Wulan juga seperti Bunda. Cantik dan baik hati."
Dengan segala kesabaran, Dewa melayani perbincangan Wulan, hingga gadis itu tertidur lelap. Kemudian menyelimutinya. Banyak hal yang kurang dalam kamar itu untuk kebutuhan Wulan. Dia menyadari karena kamar itu tidak pernah ditinggali anak kecil. Tetapi dia sudah menyediakan semua kebutuhan Wulan dan Damayanti di Griyo Tawang bila sudah selesai urusan kepindahannya. Dewa mengecup kening Wulan sebelum meninggalkannya untuk keperluan menelpon Lorna.