Sudah beberapa hari ini Dewa tidak memasuki ruang kerjanya. Dia berada di depan studio hanya ingin menggunakan fasilitas telepon yang ada di depannya, walau ada kursi malas yang biasa dipakainya bula menelpon santai. Kali ini hanya ingin menelpon cepat. Memang hari sudah larut malam, namun niat untuk menelepon Lorna hal yang tak bisa ditunda. Seharusnya sudah menghubungi Lorna sesuai janjinya, bila sampai di rumah. Karena terlebih dahulu ke Jogjakarta, membuat janji memberitahukan tertunda. Keperluan ke Jogja menjemput Wulan tak diberitahukan.
Dewa tak pernah bertanya nomer telepon Lorna, sehingga Lorna pun tidak memberitahukan karena tidak diminta. Dan beranggapan Dewa sudah mengetahui. Nomernya pun bisa ditanyakan pada teman-teman lain. Karenanyai Dewa lalu menanyakan kepada Joy.
"Jo! Ini aku, Dewa. Punya nomer hape Lorna?"
Joy kaget saat Dewa meneleponnya larut malam. Apalagi belakangan ini keduanya tak bertemu sejak kejadian di acara reuni.
"Kamu kemana saja?" tanya Joy.
"Cepat kasih aku nomer Lorna. Kalau tanya nanti. Punya nggak?"
"Sebentar...sebentar. Kulihat dulu. Ada nggak. Ah, sori. Nggak ada De."
"Siapa yang tahu?"
"Ah, harusnya kamu yang tahu."
"Coba, tanyakan ke Beni."
"Matikan dulu teleponmu. Nanti kutelpon balik kalau kudapat nomernya," kata Joy.
Dewa mematikan telepon. Sambil menunggu, pergi melihat Wulan dikamarnya. Gadis itu masih tertidur pulas. Posisinya tidurnya sudah berubah. Dibetulkannya selimut yang menutupi tubuhnya. Setelah itu kembali menunggu menelpon Joy sambil membawa gelas minumnya.
Ditunggunya beberapa saat, tapi tak ada telepon masuk. Lalu ditelponnya kembali Joy.
"Gimana?"
"Kemana saja, kutelepon nggak diangkat?"
"Sori, mengambil minum. Sudah dapat nomernya?"
"Dapat! Tapi Beni tanyakan dulu ke Rahma."
"Panitia gombal! Data telepon saja nggak lengkap. Kalau nggak begini kalian nggak bakal punya nomer Lorna. Mana nomer dia? "
Joy tertawa.
"Termasuk kamu!" jawab Joy.
Dewa menahan tawa sambil mencatat angka yang disebutkan Joy. Lalu menutup telepon Joy, langsung memijit nomer Lorna. Ditunggunya beberapa saat. Muncul nada tersambung, tetapi tak diangkat-angkat. Dicobanya lagi, sama. Setelah berulang kali dicoba, nada yang tersambung diputus dari sana.
Dewa penasaran. Diteleponnya lagi Joy.
"Nomer itu betul nggak sih?"
"Ya, betul, kukutip dari sms Rahma ke Beni yang di-forward ke hapeku. Kamu nelponnya malam begini. Sudah tidur kali dia."
"Kalau sudah tidur, pasti dimatikan. Ini ada nada sambung. Berkali-kali kucoba, tapi malah dimatikan."
Joy tertawa.
"Kamu pernah kasih nomermu nggak ke dia? Mana dia kenali?"
Benar juga, pikir Dewa.
"Oke. Sori, Jo."
"Eh, De. Kapan kita bisa ketemu, De?"
"Mungkin besok."
"Kok mungkin? Kita perlu bicara soal rekaman sendratari di Griyo Tawang."
"Tunggu saja, nanti kuhubungi."
Dewa mencoba kembali menelpon Lorna. Setelah dicoba beberapa kali, baru kemudian diangkat. Tetapi Dewa tak mendengar suara di seberang. Ketika dia mulai bilang, "Selamat malam?"
Terdengar Lorna memekik kegirangan.
"Haiiii ya ampun, Dewa. Ini nomermu ya? Maafkan Lorna ya? Lorna tahu ada kode nomer area dari Malang, Lorna ragu, takut ada yang iseng. Maafkan Lorna ya?"
"Bukan salahmu. Salahku tak memberimu nomer telepon terlebih dulu. Maaf, terlambat mengabari."
"Kukira telepon siapa? Lorna hanya menerima telepon yang sudah kukenali. Yang mencoba menghubungiku harus mengirim SMS terlebih dulu, sehingga aku bisa memutuskan akan menghubungi kembali atau tidak. Maafkan ya, De.?"
"Sudahlah, Na. Nggak ada persoalan. Kamu belum tidur?"
"Belum. Sulit tidur!"
"Kenapa?"
"Karena nggak ada Dewa. Belakangan ini sudah terbiasa bersama Dewa. Jadi seperti kehilangan Dewa."
"Simpan nomer ini, ya?"
"Tentu, De. Ini telpon rumah Dewa, kan?"
"Maaf, ya. Membuatmu menunggu."
"Tak apa bila Dewa sibuk. Lorna mengerti. Mengingat beberapa hari ini waktumu tersita banyak olehku. Tentu meninggalkan banyak persoalan yang harus diselesaikan Dewa."
"Besok kutelepon lagi. Jangan lupa menandai nomer ini. Selamat malam, Na."
"Selamat malam, De. Lorna mencintaimu."
"Dewa juga mencintaimu, Na."
"Bye, Dewa!"
"Bye!"
Kemudian Dewa bergegas ke kamar. Mengkawatirkan Wulan bangun dan mencarinya. Beruntung, disaat membuka pintu, gadis itu tengah membuka matanya, dan melihat kearahnya, lalu memanggil namanya.
"Ayah sini."
"Ya, sayang."
Dewa lantas mendekati dan memeluknya.
"Mau minum susu, sayang?"
"Minum teh saja, Ayah."
Lalu diangkatnya Wulan agar duduk. Diberinya minumnya yang sudah disediakan di meja. Dengan hati-hati gadis kecl itu minum perlahan. Setelah itu minta digendong. Dewa lalu menggendongnya. Membawanya keluar kamar. Di teras dia berusaha meninabobokan kembali. Menepuk-nepuk pantatnya dengan halus.
Dibawah sana, Baba sedang menyalak di kebun belakang.
"Guguk belum tidur, Yah." kata Wulan dengan kepala masih rebah di bahu Dewa.
"Guguknya tidurnya siang. Kalau malam menjaga rumah."
Malam terasa dingin. Udara diam tak berangin. Tak ada bayangan awan di langit. Di kamarnya, Gino menonton bola, tivi-nya menyala.
"Tidur lagi di dalam, Yah," Wulan meminta kembali tidur di dalam.
Dewa membawa Wulan kembali ke tempat tidur. Berbaring, memeluknya Wulan penuh kehangatan. Menutup tubuh mereka dengan selimut. Wulan menempelkan bibirnya ke bibir Ayahnya. Hari ini dia sangat senang bisa berkumpul dan tidur bersama Ayahnya. Sudah lama tak tidur dengan Ayahnya. Hari ini dia juga sangat senang bisa pulang ke rumah Ayah. Bisa mandi air sabun bersama Ayah. Bisa digendong Ayah. Bisa disuapi Ayah. Besok rambutnya akan diikat seperti rambut Ayah. Besok mandi lagi seperti tadi malam bersama Ayah. Hari ini, Ayah tidur memeluknya.
Bagi Dewa hari ini barangkali Nirmala juga berada dalam kamar itu. Merasakan kebahagiaan melihat orang-orang yang dicintainya tidur bersama.
"Wulan sayang sama Bunda, Yah."
"Bunda juga sayang sama Wulan."
"Wulan juga sayang sama Ayah."
"Ayah juga sangat sayang sekali sama Wulan."
Wulan lalu menempelkan bibirnya ke bibir Ayahnya. Tangannya merangkul erat leher Ayahnya.
"Ayah, besok rambut Wulan diikat seperti Ayah, ya?"
Dewa membelai rambutnya.
"Besok sesudah mandi, rambut Wulan diikat seperti rambut Ayah. Wulan nggak lapar, sayang?"
Gadis kecil itu mengangguk.
"Ayah buatkan sup ya?"
Wulan mengangguk.
Maka Dewa bangun membuatkan sup sachet-an. Wulan turut bangun. Dewa mendudukkan di kursi meja makan. Menunggu Ayahnya sedang menyeduh sup dengan air panas.
Ketika Dewa membuka kulkas, isinya lengkap sekali. Lorna yang memenuhinya.
"Pakai telur, sayang?"
Wulan menggeleng.
"Pakai ini?"
Dewa menunjukkan daging sosis kepadanya. Wulan mengangguk.
"Pakai roti ya?"
Wulan mengangguk.
Lalu dengan sabar, Dewa menyuapinya perlahan. Gadis itu nampak senang. Kakinya yang menggantung, diayun-ayunkan. Jam di dinding menunjukkan pukul dua pagi.
Gino muncul di pintu, diam-diam. Wulan memberitahu Dewa, menunjukkan tangannya ke arah Gino. Dewa berpaling. Rupanya Gino naik ke ruang atas tanpa bersuara.
"Saya melihat lampu dapur menyala, Mas."
"Ya, Wulan lapar!"
Gino lalu ikut duduk di meja makan.
"Saya buatkan minum ya, Mas?"
"Ya, kamu juga."
"Ning Wulan mau minum apa?"
"Teh." jawab Wulan.
"Wulan minta teh, Lik Gino," kata Dewa mengulangi permintaan Wulan.
"Di kulkas ada pizza. Tolong dihangatkan ke microwave. Ada dua kotak donat. Ambil satu kotak buatmu."
Gino lalu mengeluarkan kotak pizza. Memasukkan beberapa potong pizza ke dalam mesin microwave. Saat minuman selesai dibuat, Pizza juga sudah terhangatkan. Mereka bertiga lantas menikmati minum dan pizza di meja makan.
"Telur yang menetas sembilan, Mas. Tiga yang tidak jadi."
"Ayam yang mana? Kan ada tiga ekor yang mengeram."
"Si blorok."
"Baguslah."
"Besok mau dimasakkan apa, Mas?" tanya Gino.
"Buatkan sop buat Wulan dan rawon untuk kita. Dikulkas ada daging. Mbak Lorna yang memenuhi isinya. Gino bisa pindahkan ke kulkas di dapur bawah."
Maka Gino segera memindahkan apa yang perlu dipindahkan ke kulkas di dapur di lantai bawah, sekalian pamit kembali ke kamarnya.