Kalau pagi biasanya Yu Nah, datang untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian kotor. Setelah selesai baru perempuan itu pulang. Tempat tinggalnya tidak jauh dari rumah Dewa. Yu Nah ikut keluarga Dewa semenjak dia masih perawan. Kemudian dipersunting Parman yang tinggal di sekitar itu. Parman tadinya tukang kayu, kini diberinya kepercayaan mengelola usaha Dewa membuat frame dan pigura lukisan yang berada di komplek Griyo Tawang. Jadi Yu Nah di rumah Dewa juga sebagaimana Gino yang leluasa berada di tempat tinggal Dewa.
Mentari menyinari kulit Wulan dengan kehangatannya. Wulan dijemur Dewa di balkon atas. Dia baru saja mandi. Rambutnya sudah diikat seperti ikatan rambut Ayahnya, seperti keinginan yang disampaikannya semalam. Tak jauh dari tempat Wulan duduk, Dewa tengah berbincang dengan Gino merencanakan memasang tambahan pesawat telepon di depan kamarnya. Agar tidak terlalu jauh dari kamarnya bila ingin menelepon. Sebab kini dia tak bisa jauh-jauh dari Wulan.
"Maksudku begini. Telepon pusat berada di kamarmu. Dari situ telepon pertama kali masuk, baru kemudian bisa didistribusikan ke pesawat di depan studio dan ke depan kamarku. Panggil saja orang telkom untuk mengerjakannya. Kalau bisa hari ini."
"Bukankah kita ada rencana ke Griyo Tawang, Mas?"
"Sore saja kita kesana. Aku mau membawa Wulan keluar dulu ke Alun-alun. Paling orang telkom mengerjakan nggak lebih dari setengah hari. Kita kan masih punya tiga pesawat yang tidak diaktifkan. Bisa kita manfaatkan kembali."
"Baik, Mas. Mumpung masih pagi. Mereka bisa cepat mengerjakannya."
"Telepon saja Pak Joko. Soal telepon biasanya dia yang mengerjakan di tempat kita."
"Ya, saya bermaksud mau menelponnya."
Mobil yang rencananya mau menjemput dan pergi ke Griyo Tawang, adalah kendaraan untuk keperluan mobilitas di sana. Pak Parman datang membawa kemari. Rencana ke Griyo Tawang tertunda karena Gino harus mengawasi pekerjaan instalasi telkom hingga selesai. Pak Parman kembali ke Griyo Tawang menggunakan motor bebek, karena mobilnya mau dipakai Dewa membawa Wulan ke Alun-Alun kota.
"Kalau begitu setelah mereka bekerja saja kumpulnya. Supaya mas Dewa bisa memberi beberapa arahan."
"Inggih, mekaten mawon, pak Man. Supaya tidak mengganggu kesibukkan mereka."
Pagi itu Wulan duduk dalam mobil di sebelah ayahnya. Ini diluar kebiasaan Dewa. Biasanya dia memakai motor besarnya. Semua itu dilakukan karena dia tak mau membawa Wulan pergi memakai motor.
Wajah gadis kecil itu nampak ceria. Dewa mengenakan sabuk pengaman pada badannya yang kecil. Dewa tak ingin Wulan terikat di tempat itu berlama-lama. Tak lebih dari sepuluh menit menempuh perjalanan, Dewa sudah memarkir mobilnya di komplek pertokoan Sarinah. Sengaja tidak memarkir di komplek Alun-Alun Squre yang berada di basement, karena dia ingin memberi sarapan sop di restoran cepat saji yang berada di komplek pertokoan Sarinah.
"Makan sop dulu, ya?"
Wulan mengangguk. Dewa lantas menyuapi Wulan di tempat duduk yang berada di luar. Sambil melihat keramaian di jalan Jendral Basuki Rahmat. Setelah itu menemaninya sebentar bermain pada alat permainan yang tersedia di dalam restoran. Naik tangga dan menuruni lintasan seluncur yang pendek. Lalu ditangkapnya di bawah. Dengan kesabarannya Dewa membuat Wulan merasa senang.
Dewa tak ingin Wulan capai. Dia hanya ingin membawanya untuk bersenang-senang.
Lalu diajaknya ke Alun-Alun Squere. Membelikan pakai, sepatu dan alat-alat sekolah sesuai keinginan Wulan. Membeli permainan yang disukai Wulan. Masuk supermarket membeli makanan dan minuman yang disukai Wulan. Lalu membeli pisang. Karena Dewa ingin membawanya melihat komedi monyet yang biasa dipertunjukan di taman Alun-Alun. Pisang yang dibelinya, untuk diberikan kepada monyet itu.
Hanya dengan suara tabuhan kendang yang suaranya fales. Penabuh kendang memaksakan monyetnya melakukan keinginannya. Memberi perintah melalui tarikkan dan sentakan seutas rantai yang meliliti perutnya. Menyuruh binatang itu berganti-ganti menggunakan peralatan sambil berjalan berdiri. Melompat berakrobatik. Berguling-guling. Bila perintahnya tidak dituruti, maka rantai yang melilit pinggangnya segera disentakkan oleh penabuh kendang. Tentu itu akan menyakitkan bagi binatang itu. Menyiksanya. Lebih baik menurut daripada merasa kesakitan.
Tak banyak penonton yang melihat. Akibatnya tak banyak penonton yang diharapkan bisa memberinya uang imbalan pertunjukkan. Dewa berjongkok menjagai Wulan. Memberi uang pecahan sepuluhribu ketangan Wulan, agar Wulan meletakkannya ke dalam kaleng yang disediakan pemilik monyet di atas tanah. Melihat itu, penabuh kendang lantas bersemangat menabuh gendangnya kian keras.
Tapi Dewa menyuruh penabuh itu menghentikan permainannya. Dewa hanya ingin anaknya melihat monyet itu diam tak bergerak, bisa menikmati pisang yang diberikannya. Wulan tertawa senang saat monyet itu duduk tak jauh di depannya. Menikmati pisang, alis matanya tak berhenti diangkat-angkat ke atas sembari menyeringai kepada Wulan. Cepat sekali buah pisang itu dilahap. Membuat tembolok yang di lehernya nampak menggelantung. Wulan meminta ayahnya memberikan buah pisang satunya.
"Wulan yang memberikan ya?"
Wulan menggeleng.
"Ayah, saja!"
Gadis kecil itu masih merasa takut meski monyet itu sesungguhnya jinak. Maka Dewa memberikan sisa pisang yang masih dipegangnya. Wulan bergerak-gerak kegirangan. Dewa memperhatikan pemilik monyet yang duduk di atas peti kayu tempat menyimpan peralatan pertunjukan topeng monyet.
Lelaki dengan pakai lusuh dan capil yang menutupi kepalanya tersenyum kepadanya. Senyum yang memberi makna sebagai ucapan terima kasih telah diberi imbalan pertunjukan lebih. Dewa tahu kalau, sebenarnya bukan lelaki itu yang memberi makan monyet tersebut, melainkan monyet itu yang sebenarnya memberinya makan dari hasil atraksi ulahnya yang lucu.
Setelah itu, Dewa mengajak Wulan bermain bola di lapangan rumput. Bola yang dibeli dari pedagang asongan yang ada di sekitar tempat itu.
Hubungan semacam ini membuatnya kian bertekat agar Wulan bisa tinggal bersamanya. Selama ini keduanya lebih banyak tinggal terpisah. Berharap Dama cepat menyelesaikan urusan kepindahan sekolah Wulan. Dia ingin Wulan bisa melihatnya setiap saat. Semua itu mengingatkan akan dirinya sendiri. Yang tak memiliki saudara kandung. Yah, betapa terasa sepi hidupnya selama ini. Untuk itu dia tak ingin Wulan mengalami hal semacam itu.
Di Griyo Tawang tentu ada yang akan menemani Wulan, agar tak menghambat Dama bila harus pergi kuliah. Hal itu juga sudah dipikirkannya jauh hari.
Wulan tertidur pulas dikursi saat Dewa membawanya pulang. Dewa menjalankan kendaraan dengan hati-hati. Kemudian membaringkannya di atas tempat tidur, ketika sampai di rumah. Melepaskan sepatunya dengan hati-hati agar tak membangunkannya. Dibukanya jendela kamar agar udara pengap berganti dengan udara segar.
Masalah instalasi telepon nampaknya sudah selesai. Di atas buffet dekat pintu kamarnya sudah diletakkan sebuah pesawat telepon. Gino saat ini masih sibuk di rumah kebun. Yu Nah di bawah sedang menyeterika pakaian. Perempuan itu tadi pagi menemukan pakaian anak kecil yang kemudian dicucinya. Yu Nah tahu, itu pakaian Wulan. Artinya Wulan telah datang. Yu Nah tak segera pulang karena ingin melihat Wulan yang sedang dibawa ayahnya keluar. Yu Nah kangen melihat Wulan. Sudah lama dia tak melihat Wulan. Sambil menunggu kepulangan Wulan, Yu Nah kini sibuk menyeterika pakaian Wulan yang sudah dikeringkan saat dicuci di mesin cuci.
Kalau sudah dilantai atas biasanya Dewa jarang turun ke lantai bawah. Apalagi kini ada Wulan. dia tak bisa melepaskan pengawasannya kepada Wulan, apalagi meninggalkannya.
Siang ini rumah Dewa nampak sepi. Tak ada kegiatan orang. Suasana rumah itu memang selalu terasa lengang. Suasananya memberi rasa nyaman. Ragam dan kesuburan tanaman dan bunga. Menghadirkan burung dan serangga. Kupu-kupu dan lebah selalu nampak terbang dan hinggap dari bunga ke bunga yang lain. Patung-patung yang membisu melengkapi suasana taman.
Siang itu Dewa menemani Wulan tidur dalam kamar.