101. Perubahan Rencana.

Rahma, Grace dan Lorna berkumpul di ruang tengah di lantai atas. Mereka berkelakar, suasana nampak meriah. Terlebih Lorna, berkumpul bersama kedua sahabatnya wujud keinginan yang sudah lama dipendam. Sedangkan Dewa berada dalam kamar yang ditempatinya bersama Lorna. Kamar itu adalah kamar yang mereka tempati saat menginap bersama Papi dan Mami Lorna tempo hari. Sedang kamar depannya ditempati oleh Grace dan Rahma. Titi memilih kamar di lantai bawah.
Grace dan Rahma memaklumi bila Dewa dan Lorna menempati dalam satu kamar. Meski Lorna tak mengatakan, antara dirinya dengan Dewa telah mengikat tali pertunangan. Lorna hanya mengatakan, dirinya dan Dewa akan melangsungkan pesta pernikahan tahun ini, tetapi belum bisa memastikan kapan waktunya.
Grace dan Rahma sangat mendukung sekali bila mereka selalu bersama hingga membangun bahtera rumahtangga. Sebab mereka berdua juga ikut merasakan betapa indahnya cinta Dewa dan Lorna. Sebab mereka berdua setidaknya turut terlibat dalam perjalanan cinta mereka.
"Sudah selayaknya kalian harus berpasangan," kata Rahma yang duduk berhadapan dengan Lorna di sofa panjang.
"Kamu seperti habis menangis?" tanya Rahma saat memandang mata Lorna yang nampak bekas menangis.
"Ya, tadi pagi!" jawab Lorna berterus terang.
"Kalian bertengkar?"
"Huss!" sergah Grace, "Mana pernah kulihat Lorna dan Dewa bertengkar."
Lorna tertawa renyah.
"Barangkali."
"Barangkali ya barangkali, tapi yang masuk akal dan sedikit perasaan, yang pasti bukan karena pertengkaran. Tapi memang sulit kumengerti kalau kamu bersama Dewa masih menangis."
Lorna tertawa lagi. Tawa itu yang disukai Rahma dan Grace.
"Memangnya dilarang menangis," kilah Lorna.
"Jangan sedih, besok shooting, mata sembab akan mengganggu jadwal shooting," tiba-tiba Dewa sudah berada di antara mereka.
"Kamu apain Lorna sampai menangis?" tanya Rahma kepada Dewa
Dewa tersenyum.
"Dia menangis bahagia," jawab Dewa datar.
"Iya, bisa jadi. Tangis kebahagiaan!" kata Grace dengan riang.
"Duduklah di samping Lorna!" kata Rahma yang kemudian bangkit memberi ruang pada Dewa agar duduk dekat Lorna.
"Sudahlah, duduklah kalian di situ!"
"Ah, enggak. Dewa yang duduk dekat Lorna. Kita suka keakraban kalian," Rahma memaksa agar Dewa duduk dekat Lorna.
"Dekatlah dengan Dewimu, De!" kata Grace.
"Seharusnya kita panggil mereka Dewa dan Dewi," Rahma menambahkan ucapan Grace.
Dewa mengalah, lalu duduk dekat Lorna yang menyambutnya dengan melingkarkan tangannya ke pinggang Dewa.
"Nah, begitu. Kita berdua jadi senang melihatnya."
"Boleh kita melihat kalian saling 'kiss'?" tanya Grace.
"Ya." Rahma juga ingin melihatnya.
Dewa memandang Lorna. Lorna tertawa.
"Permintaan kalian semakin ngawur!" pekik Lorna.
"Nggak! Ini bener! Kita ingin pembuktian kalau kalian benar-benar saling mencintai sejak kita masih sekolah bersama-sama," kata Rahma.
"Tapi sebentar ya?" kata Lorna.
"Lama juga lebih baik," goda Grace.
"Nah, makin ngawur kan?"
Lalu Lorna memandang Dewa.
"Bagaimana, De?"
Dewa mengedikkan bahu.
"Terserah..."
Dewa ragu untuk melakukannya, padahal Lorna sudah siap.
"Kenapa?" tanya Grace saat keduanya diam tak segera melakukannya.
"Anggap saja kalian sedang shooting dan memerankan adegan ciuman," tambah Rahma.
Lorna tertawa renyah.
Maka Lorna melingkarkan tangannya ke leher Dewa, sedang tangan Dewa merengkuh pinggang Lorna. Lalu dengan mata terpejam Lorna menengadah untuk memberi keleluasaan Dewa yang kemudian memilin bibirnya dengan lembut.
Grace dan Rahma geleng-geleng kepala seraya tersenyum. Keduanya saling berpandangan sesaat. Sejenak kemudian Dewa menyudahi pilinannya pada bibir Lorna. Dan Lorna membiarkan bibirnya basah. Wajahnya merona merah.
"Seperti dalam film Romeo dan Yuliet." kata Grace.
"Kalau bukan kalian kuanggap permintaan ini hal tergila yang pernah kulakukan," kata Dewa yang kemudian memeluk tubuh Lorna yang menyandar ke dadanya.
Lorna melempar Rahma dengan sebutir kacang.
"Dia ngiri, De. Rahma dulu sesungguhnya suka kamu," kata Lorna pada Dewa.
"Ah, itu dulu, De! Sekarang kan seleraku sudah lain."
Grace tertawa ngakak.
"Suka kan nggak apa-apa. Kan begitu, Ra. Coba kamu lihat ternyata ciuman Dewa juga maut," kata Grace mencoba membela Rahma.
"Betul, De. Kamu memang ditakdirkan menjadi 'soulmate' nya Lorna."
"Seleramu sekarang yang bagaimana lagi, Ra?" tanya Grace.
"Kucari yang lebih dari apa yang ada pada Dewa."
Semua kemudian tertawa. Mereka tahu kalau apa yang mereka bicarakan sekedar bercanda. Jadi tak ada yang merasa tersinggung. Di tengah suasana keakraban, tiba-tiba ponsel Lorna ada telepon masuk. Dan Lorna segera mengangkat. Telepon dari Imelda.
"Selamat malam, Mbak!"
"Malam, Mel. Ada perkembangan apa?"
"Dalam rapat barusan pak Robi menanyakan mas Dewa? Karena tadi Imel beritahu waktu rapat kalau mbak Lorna sudah datang bersama mas Dewa menginap di tempat temannya."
"Lalu?"
"Mohon maaf, Mbak. Tadi dalam rapat Pak Robi memberi usulan, kalau Mas Dewa diminta berperan sebagai pendamping Mbak Lorna dalam iklan itu."
"Lho, kok bisa begitu?"
"Imel tak bisa memutuskan. Staff pak Robi juga terpaksa mengikuti apa yang menjadi keinginan Pak Robi. Imel sudah bilang tak bisa memutuskan sebelum melakukan konfirmasi dengan Mbak Lorna dan kesediaan Mas Dewa. Tapi Pak Robi bilang, kalau ada kesulitan, Pak Robi yang akan menghubungi Mas Dewa sendiri."
"Mati aku, Mel!"
Ucapan Lorna membuat Grace dan Rahma tersentak. Tapi Lorna cepat mengangkat tangannya memberi isyarat kepada Grace dan Rahma untuk tenang. Tak ada yang perlu dikawatirkan. Dewa segera bangkit mengambil minuman serta menggeser duduknya agar Lorna bisa leluasa bertelepon.
"Lorna tak bisa memutuskan. Kamulah yang berbicara sendiri dengannya."
"Kalau begitu saya harus ke tempat Mbak Lorna malam ini?"
"Lakukanlah!"
"Baik Mbak. Imel segera ketempat Mbak Lorna bersama salah seorang staffnya Pak Robi, untuk meyakinkan mas Dewa."
"Itu lebih baik!"
Kemudian Lorna memutuskan sambungan telepon Imel. Kemudian merenung seraya menatap Dewa. Didekatinya Dewa kembali, dan menjatuhkan wajahnya ke dada Dewa.
"Ada apa?" tanya Dewa seraya membelai rambut Lorna.
Grace dan Rahma memperhatikan Lorna dengan cemas.
"Imel ingin bicara denganmu, De."
"Soal apa?"
"Nanti Dewa yang berbicara sendiri dengannya. Sekarang Imel sedang dalam perjalanan kemari. Pak Robi menanyakanmu," kata Lorna kemudian membenamkan wajahnya ke dada Dewa. Dewa menarik wajah Lorna agar bisa ditatapnya.
"Katakanlah ada apa?" tanyanya mendesak, "Kuminta jangan bersedih lagi. Kamu besok mau shooting."
"Lorna tak sedih, De," kata Lorna dan berusaha tersenyum.
"Lalu kenapa?"
"Tunggu sampai Imel datang. Masalahnya ada di Imel. Bicaralah sendiri nanti di bawah. Lorna akan menunggu disini dengan Grace dan Rahma."
"Aku tak ingin ada yang mengganggu pikiranmu."
Lorna tersenyum seraya memandang Grace dan Rahma yang memandangnya tak mengerti.
"Hai! Kalian kok bengong? Aku nggak apa-apa. Itu bukan urusan kalian!" kata Lorna seraya melempar keduanya dengan biji kacang kulit.
Sikap Lorna membuat ketegangan Grace dan Rahma seketika hilang.
Lorna lalu bangkit mendekati Rahma dan berbisik ke telinganya, hal yang sama juga dilakukannya ke telinga Grace. Bisikkan Lorna membuat keduanya tersenyum-senyum seraya mengangguk-angguk. Membuat Dewa memandang tak mengerti.
Ketika Imelda sudah sampai ke penginapan. Dewa lalu turun menemuinya di bawah. Lorna tak turut dalam pembicaraan mereka. Dia menunggu di atas bersama Grace dan Rahma.
"Jadi ada perubahan, kalau mereka minta Dewa menjadi pasanganmu dalam iklan itu?" tanya Rahma.
"Aku tak bisa memutuskan. Aku tidak ingin mempengaruhi Dewa. Segala keputusan sepenuhnya ada di tangannya. Imelda yang bertanggungjawab soal ini. Kuminta dia yang berbicara sendiri dengan Dewa," Lorna menjelaskan.
"Tapi memang Dewa pas untuk dipasangkan denganmu," kata Rahma.
"Jangan ikut-ikut!" kata Lorna.
"Aku nggak ikut-ikut, hanya berpandangan."
"Itu sama saja, ikut berpendapat."
"Tak ada salahnya kan berpendapat."
Imelda bersama staff pak Robi masih sibuk berbincang. Dari balkon terdengar ponsel Imelda yang terhubung dengan Pak Robi diberikan kepada Dewa. Kemudian Dewa dan Pak Robi terdengar akrab berbicara. Diseling tawa. Dewa dan Pak Robi berbicara lama sebelum kemudian telepon itu diserahkan kembali kepada Imel.
"Terima kasih, Pak Robi. Selamat malam!"
Imelda memandang Dewa.
"Bagaimana Mas Dewa?" tanya Imel kepada Dewa.
"Yah, terserah kalian. Bicara dulu dengan Mbak Lorna."
Maka Imelda bergegas naik ke lantai atas menemui Lorna.
"Pak Robi sudah berbicara dengan Mas Dewa. Mas Dewa menyanggupi, hanya sekarang minta pendapat Mbak Lorna."
"Itu keputusan kalian, ya harus dipenuhi keinginan klien."
Imelda tersenyum senang.
"Sejak semula Imel yakin kalau Mbak Lorna cocok berpasangan dengan Mas Dewa."
"Hai, kamu menilai dalam hal apa, Mel?"
"Maaf Mbak! Saat pertama melihat Mas Dewa, Imel kira Mas Dewa yang akan memerankan pendamping Mbak Lorna. Eh ternyata betul."
"Aku sudah katakan Mas Dewa kubawa ke kantor tak ada hubungannya dengan pekerjaan itu. Sekarang kamu siapkan blanko kontraknya dengan Mas Dewa."
"Semua sudah dipersiapkan!"
Grace dan Rahma ikut tersenyum memandang Lorna.
"Kalau sudah begini jadi nggak pusing lagi. Sekarang tinggal Mbak Lorna dan Mas Dewa persiapan untuk melakukan shooting besok lusa. Besok mereka masih mengambil gambar-gambar landscaping, situasi dan prasarana. Juga narasi oleh bagian humas," kata Imel menambahkan.
"Ya, sudah."
"Nanti akan kubicarakan dengan Bung sutradara."
"Kenapa nggak kalian ajak sekalian Bung Edwin kemari?"
"Bung sutradara masih memberikan pengarahan kepada staff Pak Robi bagaimana pelaksanaan pengambilan gambar besok. Besok malam saja kita bawa Bung Edwin kemari, supaya bisa bicara dengan Mbak Lorna dan Mas Dewa."
Setelah itu Imelda dan staff Pak Robi berpamitan pulang. Lorna, Grace, Rahma mengantar ke depan.
Sementara Dewa masuk ke dalam kamar, lalu merebahkan tubuhnya. Pikirannya sedang galau. Sekali lagi dia mengalami dilema. Dan harus mengambil satu keputusan yang tepat. Apabila dia tolak tentu akan menimbulkan kekecewaan Lorna. Apalagi pemilik resort yang meminta langsung padanya dengan berbagai pertimbangan. Setiap keputusannya tentu akan berpengaruh langsung pada Lorna. Tidak ingin berdampak buruk.
Pintu kamarnya ada yang mengetuk dari luar. Tetapi Dewa tak berhasrat membukanya. Matanya masih terpejam. Pikirannya menerawang apabila dirinya bersama Lorna menjadi bintang dalam satu iklan.
"Ah!" Dewa melenguh.
Dewa tak menyadari kalau Lorna sudah berada dalam kamar. Berdiri memandanginya. Melihatnya mengeluh. Melihatnya berkali-kali memijit pelipis wajahnya dengan mata terpejam. Dengan sabar menunggu sampai kedua mata Dewa terbuka. Lorna merasa ada hal yang merisaukan Dewa setelah pembicaraan dengan Imelda. Dewa tersentak saat melihat Lorna sudah berdiri di hadapannya.
"Sori, aku merebahkan punggung sebentar," kata Dewa kemudian bangun duduk di tepi pembaringan.
"Dewa sakit?"
"Nggak, kenapa?"
"Kita makan malam dulu. Grace dan Rahma sudah menunggu sejak tadi."
"Kalian makanlah. Aku masih belum ingin makan. Kutemani saja."
Lalu Dewa mengantar Lorna ke bawah untuk makan bersama Grace dan Rahma.
"Makan dulu, De. Lorna bilang ada ikan kesukaanmu."
Dewa tersenyum.
"Aku makan buah saja."
Lorna berusaha menyembunyikan perasaannya dari Dewa dan teman-temannya. Dia tahu ada hal yang sedang dipikirkan Dewa. Tetap Lorna makan seperti biasa, sambil berbincang dengan Rahma dan Grace. Dewa hanya makan buah agar lekas meninggalkan meja makan terlebih dahulu.
"Kutinggal dulu. Lebih nyaman kalau kalian bertiga makan sambil berbincang, kalau ada cowok di antara tiga cewek tentu akan mengurangi kebebasan kalian. Sori aku kembali ke atas dulu."
"Oke, De!" jawab Grace.
Dewa mengedipkan sebelah mata ke Lorna, tetapi Lorna merasakan kerdipan itu sekedar menutupi perasaan yang sesungguhnya.