111. Pagi Nan Indah.

Pagi yang gelap Dewa telah bangun. Namun Lorna masih terlelap hingga cahaya mentari menerobos ke dalam kamar melalui jendela, menghantarkan bayang-bayang ranting pepohonan.
Titi telah membuatkan minuman yang diletakkan di ruang tengah. Lalu Dewa membawanya masuk ke dalam kamar. Minuman beserta beberapa potong kue brownies dan resoles.
Saat masuk ke dalam kamar Lorna telah membuka mata.
"Selamat pagi, De!"
"Selamat pagi, Na!"
"Kenapa Lorna nggak dibangunkan?"
Dewa meletakkan minuman ke atas meja nakas. Mendekati Lorna dan mengecup bibirnya sejenak. Tapi Lorna membalas hangat. Memancing Dewa untuk melumat bibir itu lebih jauh. Hingga untuk sesaat Dewa bergairah mencumbunya. Meski gadis itu belum mandi, aroma tubuh dan nafas mulutnya terasa segar seperti aroma mulut bayi.
Sinar mentari merayap menjilati kulit punggung Lorna yang terkulai lemas di atas dada Dewa. Wajahnya merona merah dengan mata terpejam. Bibirnya basah. Daster dan penutup tubuhnya yang lain terserak di atas tempat tidur. Demikian halnya keadaan Dewa. Polos.
Nafas Lorna masih tak beraturan. Gemuruh dalam dadanya segemuruh irama degub jantung dalam dada Dewa. Lorna mendengarnya dengan jelas karena telinganya menembel erat di dada itu.
Suasana hening. Sesekali di luar jendela hanya ada suara daun kering yang jatuh di atas jogan.
Jemari Dewa membelai wajah dan rambut Lorna penuh kelembutan. Lorna merasa senang dengan belaian itu. Sesenang perasaannya saat tadi Dewa mencumbui tubuhnya dengan sepuasnya. Dan yang dilakukannya hanyalah merintih dalam kepasrahan, berdesah serta memekik. Mengharapkan Dewa melakukan lebih dari cumbuan seperti biasanya. Namun Dewa tetap menjaga keperawanannya.
Telapak tangan Dewa mengelusi punggung Lorna yang lembut dan halus. Dada Lorna yang padat merekat erat ke dada Dewa. Dan Dewa merasakan kehangatan dan kelembutannya.
"Maafkanlah aku, Na." bisik Dewa lunak.
"Kenapa meminta maaf, Dewa?" tanya Lorna dengan suara yang lembut pula.
"Aku harus menjaga kegadisanmu."
Lorna tersenyum simpul.
"Itu milikmu!"
Dewa rambutnya.
Lorna tersenyum, membiarkan tubuhya yang masih polos direngkuhnya erat kembali dengan lembut. Matanya memandang tajam mata Dewa. Lalu bertanya ragu.
"Dewa sudah mencumbu Lorna dengan baik. Lorna senang. Tak ada masalah dengan diri Lorna. Lakukanlah untuk memuaskan keinginan Dewa. Tapi Lorna hanya bertanya, kalau tak Dewa tuntaskan bukankah itu yang akan menyiksa Dewa?"
Dewa mengelus pipi Lorna dengan lembut. Lalu membisikkan sesuatu dan menjelaskan ke telinga Lorna. Untuk sesaat bola mata Lorna terbeliak. Berbinar-binar. Apa yang dijelaskan dengan bisikkan Dewa membuatnya kemudian mengerti, walau masih berusaha untuk memahaminya.
Sesaat kemudian Dewa menggendong tubuh Lorna masuk ke dalam kamar mandi. Untuk beberapa lama keduanya berada di dalam. Pintu kamar mandi tak tertutup rapat. Namun tak ada suara gemercik air dari dalam. Yang terdengar kemudian hanyalah lenguhan dan desah nafas keduanya. Hingga menyusul suara lenguhan panjang Dewa.
Sementara seekor merbah tengah memuntahkan ulat-ulat putih dari mulutnya untuk dimasukkan ke mulut bayinya yang masih merah dengan mata tertutup. Ada dua ekor bayinya yang harus selalu diberinya makan setiap pagi. Pada pagi hari itu kedua bayinya sudah merasa kenyang dan tertidur kembali sambil menunggu induknya yang pergi entah kemana.
Sesaat kemudian baru terdengar percikkan air mengalir ke dalam bathtup.
"Mual?" tanya Dewa perlahan.
Untuk sesaat hening.
"Muntahkan, bila mual."
Kembali hening.
"Maafkanlah aku, Na."
Lorna menggeleng. Lorna tak melakukan apa yang dikatakan Dewa. Dia punya pandangan sendiri terhadap apa yang baru saja terjadi. Kemudian Lorna bertanya lunak setelah dirinya sudah menguasai keadaan.
"Dewa puas?"
Dewa mengangguk lembut, membelai wajahnya.
"Terima kasih, Na." jawabnya lembut.
"Ini perjakamu, Dewa?" tanya Lorna seraya memandang penuh makna dengan tajam ke bola mata Dewa yang teduh dan sayu.
Dewa mengangguk. Lalu memeluk tubuh Lorna yang hangat dan lembut. Merengkuhnya ke dalam pelukannya. Tubuh keduanya lalu tenggelam dalam rendaman air hangat bathup. Wajah Lorna bersandar di dada Dewa. Merona merah seakan memancarkan kebahagiaan bukan kepalang. Telah membawa Dewa memenuhi kepuasannya, lebih meyakinkan bahwa dirinya seakan telah menerima arti keperjakaan yang diberikan Dewa. Sesuatu yang sesungguhnya asing dan baru pertama kali terjadi sepanjang hidupnya. Sesuatu yang semakin membuatnya mengetahui kualitas bercinta. Tidak seperti yang dilakukan sebelumnya.
"Aku mencintaimu, Na," bisik Dewa lembut.
Lorna membalas mengecup sudut bibir Dewa. Tersenyum.
"Terima kasih." ucap Lorna lembut. Matanya berlinang. Bahagia.
"Kamu cantik sekali."
Lorna mempererat pelukkannya.
"Seperti ini saja Lorna sudah merasa bahagia, apalagi bila Dewa mengambil keperawanan Lorna."
Dewa lantas melumat bibir Lorna dengan penuh kelembutan.
"Nanti kita lakukan dengan baik..." bisik Dewa dengan suara berdesah di telinganya.
Lorna tersenyum dengan memejamkan mata dengan tangan mengelus pipi Dewa perlahan.
Beberapa saat kemudian Dewa sudah duduk dekat jendela sambil menikmati cappuccino hangat bersama brownies dan resoles. Minuman itu dinikmati bersama Lorna sambil duduk bersandar menemaninya.
"Kalau saja Lorna bangun lebih pagi. Inginnya jalan-jalan ke pantai mengajak Grace dan Rahma. Apakah mereka sudah bangun?"
"Mungkin saja. Lorna ingin menemui mereka?"
Lorna menggeleng.
"Lorna masih ingin menikmati kebersamaan bersamamu."
Dewa tersenyum. Memeluknya lembut.
"Hidupku terasa lengkap setiap kali melihatmu di pagi hari saat terbangun."
Lorna menatap Dewa.
"Kenapa, De?"
"Karena keanggunan dan kecantikanmu."
"Benarkah?"
Dewa mengangguk.
"Kamu cantik sekali. Sejak dulu kamu cantik."
"Bukan. Bukan itu! Yang Lorna maksud, Dewa melihat Lorna setiap bangun tidur membuat hidup Dewa terasa lengkap."
"Ya, kecantikkanmu. Mengukur kecantikan seorang wanita adalah di saat bangun tidur."
"Memang kenapa, sayang?" tanya Lorna yang wajahnya berada di leher Dewa.
"Kalau pada dasarnya wanita itu wajahnya cantik, saat bangun tidur tetaplah terlihat cantik."
"Saat bangun tidur Lorna bagaimana?"
"Kan berkali-kali kubilang. Cantik!"
"Benarkah?"
"Kamu cantik!"
"Benarkah?"
Dewa lalu mengecup sudut bibirnya. Tangan Lorna membelai wajah Dewa.
"Dalam kebiasaan masyarakat Jawa. Dalam menutupi kekurangannya, wanita biasanya harus bangun terlebih dulu dari suaminya, agar dia punya kesempatan berdandan, begitu suaminya bangun, isterinya sudah terlihat cantik dan rapi, meski ada kewajiban lain yag harus dilakukan sebelum suaminya bangun."
Lorna tertawa renyah.
"Dewa bisa melucu. Kalau suaminya bangun terlebih dulu?"
"Maka akan lebih sering dan membiasakan melihat wajah asli isterinya."
"Kalau ketahuan rupa aslinya?"
"Suami yang begajul, cenderung mencari kecantikkan yang ada pada wanita lain."
"Iih. Apa itu begajul"
"Berlagak seperti bajul"
"Apa itu bajul?"
"Buaya!"
Lorna tertawa renyah.
"Tapi aku bukan laki-laki begajul," kata Dewa merajuk dengan menggigit manja leher Lorna yang jenjang dan putih. Kulitnya terasa lembut dan wangi.
Lorna tertawa kegelian namun bergairah. Membiarkan bibir Dewa menggigit manja lehernya yang jenjang.
"Ya sudah. Lorna tahu. Lorna percaya. Dewa bukan lelaki bajul."
"Kamu tetap cantik dalam situasi apa pun."
"Ah, itu hanya membesarkan hati Lorna."
"Ya sudah, kamu nggak mau disanjung."
"Lorna nggak mau disanjung."
"Maunya apa?"
"Dicintai!"
"Sudah kuberikan, terus apa lagi?"
"Ya sudah, itu saja cukup."
Dewa kemudian memeluknya erat.
"Aku mencintaimu, Na."
Lorna mempererat pelukan tangannya ke leher Dewa.
"Lorna juga sangat mencintaimu, De."
"Kamu masih manja seperti dulu."
"Hanya padamu."
"Mereka pikir dulu aku memperlakukanmu sebagai adikku."
"Nyatanya?"
"Kamu memperlakukanku sebagai pacar dan celakanya aku tak tahu."
Lorna tertawa seraya memandangi wajah Dewa. Membelainya. Mempermainkan hidung Dewa yang bangir. Mempermainkan alis mata Dewa yang hitam dan lebat.
Pagi itu di bawah jendela, Lorna menikmati pelukan Dewa. Dan suasana pagi berudara segar terganggu oleh bunyi telepon masuk di ponsel Lorna.
Namun Lorna membiarkan saja.
"Lorna mau keluar kamar dulu menemui mereka?" tanya Lorna manja seraya menatap Dewa dengan pandangan lembut.
"Temuilah!"
Maka Lorna keluar kamar untuk menemui Rahma dan Grace.
Saat-saat seperti itu dimanfaatkan Dewa untuk menelepon Dama. Lalu Dewa keluar kamar menuju teras. Berdiri bersandar pada pagar tembok sebatas dada.
"Bagaimana Wulan?"
"Dia baik-baik, Mas. Kapan Mas Dewa pulang?"
"Paling cepat empat hari lagi. Kamu baik-baik?"
"Ya, Mas. Semua baik."
"Semua urusan beres?"
"Ya, Mas!"
"Kalian nyaman di Griyo Tawang?"
"Ya, Mas!"
"Kamu perlu apa selagi aku di Bali?"
"Kaos kalau Mas tak keberatan. Kan di sana musim kaos joger. Buat Dama kuliah."
"Ukuranmu apa?"
"M Mas."
"Kamu suka warna apa?"
"Mas Dewa yang pilihkan."
"Oke, begitu dulu ya? Hati-hati di rumah?"
"Baik, Mas!"
"Ukuran Rini?"
"Sama dengan Dama."
Dewa lalu menutup teleponnya. Berdiri menatap lepas ke kejauhan. Hari ini udara masih seperti kemarin, langit akan cerah lagi.
Tak lama kemudian keluar menyusul Lorna. Tetapi hanya terlihat Rahma dan Grace. Masing-masing memegang cangkir dan kue brownies."
"Pagi, De!" sapa Grace.
"Pagi, semua!" jawab Dewa juga kepada Rahma.
"Minumanmu, De?"
"Sudah kubawa ke dalam."
"Kamu kalau bangun pagi sekali." kata Rahma.
"Kebiasaan saja..."
"Mana Lorna?" tanya Grace.
"Lho bukannya menemui kalian."
"Dia baru bangun?" tanya Rahma.
"Ya..."
Ketiganya memandang ke kejauhan dari teras lantai dua.
"Suara apakah itu, De?" tanya Grace.
"Pantai..."
"Pantai?" tanya Rahma.
"Lorna bermaksud bangun pagi mengajak kalian jalan-jalan kesana. Tapi aku tak membangunkannya. Sebab dia tak cukup waktu buat istirahat. Masih ada lain kali."
"Jauhkah pantainya?" tanya Grace.
"Dekat, cukup jalan kaki."
"Nanti sore atau besok pagi kalau mau."
"Ya, mau dong Dewa." jawab Rahma.
Tiba-tiba Lorna muncul.
"Kalian mengumpul di sini!"
Grace dan Rahma memandang Lorna seksama. Lorna tahu arti pandangan itu.
"What? Kalian masih berpikir mandi basah?" tanya Lorna seraya melirik kepada Dewa.
Grace dan Rahma tertawa.
"Kamu ge er!" ujar Grace.
"Habisnya setiap kali keramas selalu kalian curigai."
"Siapa yang curiga?"
Lorna lantas berbisik ke telinga Grace dan Rahma.
"Kalau pun kami bercinta. Lorna masih virgin."
Grace dan Rahma menahan tawa.
Dewa mengangkat alis dan tersenyum. Merentangkan tangan yang mengisyaratkan terserah apa yang sedang mereka bertiga bisikan.
Grace dan Rahma mengangkat jempol ke arah Dewa.
Sekali lagi Dewa mengangkat alis. Tak mengerti.
"Aku baca sms-mu, Grace. Mau pakai laptopku. Yuk, ke kamar kuantar!" ajak Lorna karena tadi Grace memberitahukan melalui sms.
"Kita ke dalam kamar, De." kata Lorna kepada Dewa dengan lembut.
"Yo'i!"
Dewa lalu pergi turun ke lantai bawah karena melihat Komang sudah datang. Sementara dalam kamar Grace dan Rahma mendesak Lorna meminta penjelasan tentang bisikannya. Ingin tahu rahasianya kenapa Lorna masih tetap virgin walau sudah beberapa kali bercinta dengan Dewa. Lorna pun tak segan-segan menceritakannya. Ketiganya memang sejak dulu tak ada rahasia di antara mereka. Karena ketiganya sejak dulu selalu saling mendukung.
Mendengar penjelasan Lorna, Grace dan Rahma menjadi gemas.
"Hebat! Hebat!" ujar Grace.
Maka mereka kemudian berbincang dan bercanda di atas pembaringan tempat Lorna dan Dewa gunakan tidur bila malam.