81. Perasaan Dama.

Dewa baru saja melepaskan pelukan Wulan yang kini sudah terlelap pulas. Dama menunggu Dewa meninggalkan Wulan sehingga bisa tidur disampingnya. Namun Dama belum terasa mengantuk. Tadi siang dirinya sudah banyak tidur sepulang dari menyelesaikan urusan kepindahan sekolah Wulan. Sedangkan Wulan bisa ditinggalkannya karena ada Ayahnya yang menemaninya.
"Tidurlah!"
"Belum mengantuk, Mas. Mas Dewa perlu dibuatkan minum lagi?"
"Nggak usah, nanti kubuat sendiri. Rini sudah tidur?"
"Sudah!"
"Sudah makan?"
"Mas Dewa yang belum makan."
Lalu Dewa mengajak Dama duduk di sampingnya ditepi ranjang Wulan. Dewa menatap Dama sejenak. Dama menunduk.
"Besok aku akan ke Jakarta. Bisa kutinggalkan Wulan bersamamu?"
"Bisa mas. Berapa lama di Jakarta?"
"Tak lama."
Dewa menyibakkan rambut Dama yang menutupi wajahnya.
"Jangan menunduk. Aku ingin melihat wajahmu."
Dama tersipu, ragu dipandang Dewa. Padahal saat di kamarnya kemarin demikian berani mengutarakan sebagian dari kegelisahannya tanpa merasa bersalah, tetapi kenapa kai ini tidak? Apakah takut ketahuan oleh temannya Rini?
"Aku hanya mau mengucapkan terima kasih padamu."
"Kenapa, Mas?"
"Selama ini kamu telah merawat Wulan dengan baik. Kamu baik sekali," kata Dewa seraya mengusap kening Dama dengan perlahan.
"Ah, Mas Dewa sudah mengatakannya kemarin. Mas Dewalah yang baik sekali mencintai Wulan dan merawat mbak Nirmala semasa masih hidup."
"Kamu cantik seperti mbakyumu."
"Terima kasih, Mas. Dama hanya merasa iba sekali pada mas Dewa. Yang begitu tulus dan tanpa pamrih menyayangi mbak Nirma dan Wulan."
"Dia isteriku dan Wulan anakku."
Dama mengangguk lemah.
"Dama mengerti, Mas. Walau itu mas Dewa lakukan hanya sekedar patuh pada orangtua. Dama mengerti bahwa cinta mas Dewa sesungguhnya bukan kepada mbak Nirmala, tetapi kepada mbak Lorna. Sedangkan Wulan bukan darah daging mas Dewa, tetapi mas Dewa mencintainya sepenuh hati. Di tangan mas Dewa itu tentu bukan cincin mbak Nirma?"
Dewa menunjukkan cincin itu kepada Dama. Dan Dama lalu memegang jari manis Dewa, memperhatikan cincin polos seperti cincin yang ada di film Lord of the Ring.
"Bagus sekali cincinnya. Mbak Lorna cantik. Cocok sekali menjadi pendamping mas Dewa yang ganteng."
"Apakah aku ganteng menurutmu?"
Dama menatap wajah Dewa. Dewa pun memandangi wajah Dama.
"Mas Dewa ganteng."
"Terima kasih, Dama. Bolehkan aku memelukmu untuk mengucapkan terima kasihku padamu karena telah merawat Wulan dengan baik?"
Dama tak sanggup menatap mata Dewa yang teduh dan tajam, kemudian mengangguk.
"Peluklah Dama, Mas."
Dewa pun lantas memeluk hangat Dama. Dama pun tak sanggup menolak keinginan Dewa. Lelaki yang baginya begitu dihormati. Lelaki yang hatinya demikian baik. Lelaki yang selalu bicara terus terang. Andai saja tak ada wanita lain yang dicintai mas Dewa, dia pun ingin mendampingi mas Dewa. Tapi apakah dirinya pantas menjadi pendamping Dewa? Ah. Dama berusaha membuang pikiran mengada-ngada itu jauh-jauh. Tak boleh dirinya berpikiran seperti itu. Kebaikan mas Dewa jangan ditafsirkan lain. Kebaikan mas Dewa terhadap dirinya barangkali sebatas memperlakukannya sebagai adik ipar yang telah banyak membantunya.
Dama merasa nyaman dalam pelukan Dewa. Dia ingin mas Dewa memeluknya terus seperti itu. Tetapi itu tak terjadi karena kemudian Dewa melepaskan pelukannya. Dewa membelai rambutnya. Mengelus dagunya.
"Kamu cantik dan hatimu baik. Cincin ini adalah ikatanku dengan Lorna. Aku berharap Lorna akan menjadi Bunda Wulan. Seperti yang selama ini sering kita ceritakan bahwa Bunda Wulan adalah bidadari yang cantik yang masih berada di bulan untuk mengambil selendang. Menurutmu bagaimana?"
"Cocok sekali mas. Mbak Lorna secantik bidadari. Matanya biru. Rambutnya coklat panjang bergelombang. Alisnya mlirit. Bibirnya bagus. Kecantikan wajahnya adalah kecantikan bidadari. Tentu Wulan sangat senang bila Mbak Lorna menjadi Bundanya."
Dewa tersenyum datar.
"Tetapi aku tak tahu apakah dia bisa menerima kehadiran Wulan?"
Dama mengerenyitkan keningnya.
"Kenapa, Mas?"
"Dia belum tahu karena aku tak pernah bercerita perihal Wulan."
"Jadi bagaimana?"
"Tak tahulah. Aku sedang mencari jalan agar tak terjadi persoalan dengan ini semua. Lebih baik kamu diam saja. Biar aku yang mengatasi."
"Ya, tentu saja, Mas. Itu adalah urusan mas Dewa. Dama tak berani mencampuri perihal itu."
Dewa kemudian mengeluarkan sebuah hape dari saku celananya.
"Mas Dewa sekarang punya hape?" tanya Dama seraya melihat hape di tangan Dewa.
"Ini kiriman darinya. Ini hanya khusus untuk berhubungan dengannya. Tetapi aku hanya akan menempatkan nomermu pada hape ini agar aku bisa menghubungimu hubungi bila ada hal-hal yang menyangkut Wulan. Jangan sebarkan kepada siapapun. Hape ini untuk berhubungan dengan Lorna dan kamu. Bagaimana?" tanya Dewa seraya menatap tajam wajah Dama.
Dama mengangguk lembut.
"Ya, Mas."
"Rumah ini kupercayakan kepadamu. Bila perlu pembantu nanti kita carikan orangnya. Lantai atas adalah ruangan studio multimedia. Kamu boleh ke atas. Banyak hal yang nanti kupercayakan kepadamu tentang hal-hal di Griyo Tawang ini. Pak Lurah menginginkan agar aku mengembangkan wilayah ini sebagai desa wisata. Pak Lurah meminta aku agar mengolah dan mengaturnya. Nanti aku akan mengarahkan agar kamu bisa terlibat didalamnya."
"Baik Mas."
"Aku mau membuat minum dulu. Kalau kamu mau berangkat tidur, tidurlah."
"Mas Dewa tidur dimana?"
"Diatas ada tempat tidur. Tapi aku akan tidur disofa depan berjaga bila Wulan mencariku."
"Baik, mas. Benar mas Dewa tidak mau dibuatkan minum?"
"Sudahlah. Aku yang akan membuat sendiri. Tidurlah. Selamat tidur." kata Dewa seraya mencium kening Dama.
Tetapi Dama tiba-tiba menyergap mulut Dewa dengan mulutnya. Suatu perasaan ayng selama ini tak bisa ditahannya bila berada dekat dengan kakak iparnya itu. Walau dia tak berpengalaman dalam urusan berciuman, tetapi dia telah belajar dari film-film yang dia lihat atau dari bacaan.
Dewa tergagap dan terpana saat bibir Dama melumat bibirnya. Pegangan tangan Dama pada wajahnya membuatnya sulit untuk melepaskan diri dari pagutan bibir Dama. Di saat Dewa berusaha untuk menghindari pagutan Dama. Tangan Dama berusaha membawa telapak tangan Dewa ke arah dadanya.
Wajah Dama nampak membara oleh gairah.
Dewa pun dapat melepaskan diri dari pagutan bibir Dama.
"Lakukanlah, Mas. Lakukanlah. Mas Dewa sudah lama tak melakukan dengan Mbak Nirmala. Dama tak menuntut dikawini. Kupersembahkan keperawanan Dama buat Mas Dewa. Dama rela, Mas. Dama rela."
Dewa terpana melihat Dama segera melolosi pakaiannya sendiri hingga tanpa sehelai benagpun yang melekat ditubuhnya.
"Dama..."
"Mas, Dewa. Mohon lakukanlah kepada Dama. Ini untuk membantu Mas Dewa menyalurkan keinginan yang selama ini tak bisa dilakukan..." kata Dama seraya duduk ke atas pangkuan Dewa.
"Dama..."
"Mas Dewa..."
Dewa meletakkan jari telunjuknya saat bibir Dama hendak menyergap kembali bibirnya. Dengan sikap dingin dan tidak ingin menyinggung perasaan Dama, Dewa memeluk tubuh polos itu, mengelus dan menghiburnya ketika kemudian gadis itu terisak-isah menangis di dadanya.
"Maafkanlah Dama, Mas. Maafkanlah, Dama," ratapnya di tengah tangisannya.
"Sudahlah. Kamu adalah adikku, Dama."
"Tapi Dama sesungguhnya mencintai Mas Dewa. Dama ingin menggantikan Mbak Nirmala untuk Mas Dewa. Meski Mas Dewa tak menikahi Dama. Dama rela melakukan untuk Mas Dewa yang demikian baik pada kita semua."
Dewa menyeka airmatanya. Memegang wajah itu. Menatapnya lembut. Menatap mata yang basah. Menatap bibir yang sesaat lalu memilin bibirnya, dan membiarkan saat telapak tangannya di bawanya ke pada dadanya yang subur.
"Aku juga menyayangimu, sepenuh hati dan jiwa, tapi tak lebih melampaui hingga harus melakukan seperti yang baru saja terjadi, apalagi sampai menghilangkan kegadisanmu."
"Oh. Dama ingin memberikannya buat Mas Dewa."
Dewa menutup bibir Dama dengan telapak tangannya.
Lalu perlahan memungut pakaian Dama yang terserak di kakinya.
"Pakailah kembali," bisik Dewa dengan lembut.
Lalu Dama turun dari pangkuan Dewa. Membiarkan dirinya yang polos berpakaian kembali di hadapan Dewa yang memperhatikannya dengan seksama.
Setelah selesai berpakaian, memandang Dewa dengan tatapan sayu. Dewa menarik pergelangan tangannya dan merengkuhnya agar bisa dipeluknya. Dama pun lantas menangis dalam pelukan Dewa. Entahlah tangis lantaran apa. Apakah telah merasa bersalah memperlakukan Dewa seperti itu? Ataukah tangis kesedihan tak bisa meluluhkan benteng pertahan Dewa? Ataukah tangis karena menyadari bahwa lelaki itu tetap tegar dan masih bersikap seakan hal yang baru saja dilakukannya tak pernah terjadi. Dan kini memeluknya seakan menunjukkan kasih sayang seorang kakak kepada adiknya. Hingga tangisnya reda. Dan Dewa mengecup pipinya dengan lembut.
"Temani Wulan tidur, adikku yang cantik."
Ucapan itu membuat airmatanya seketika bergulir kembali. Dia berusaha tersenyum.
"Maafkanlah Dama, Mas."
Dewa menggeleng lemah.
"Aku memahamimu..."
"Terima kasih, Mas."
"Tidurlah. Tapi jaga sikapmu kepadaku di depan temanmu. Oke?"
Dama mengangguk.
"Selamat malam, Mas." jawab Dama yang merasa damai sekali dengan sikap Dewa yang begitu perhatian, ramah dan melindungi.
"Naiklah, berbaringlah dengan Wulan."
Dama menuruti permintaan itu dan Dewa kemudian menyelimuti keduanya dengan selimut. Mencium kening Wulan dan Dama bergantian.
"Dama sayang pada Mas Dewa."
"Aku juga menyayangimu, adikku."
Dewa lalu mematikan lampu besar dan menyalakan lampu tidur. dan menutup pintu kamar Dama dan Wulan. Menuju dapur untuk membuat minuman dan makan malam. Dia ingin menelpon Lorna dari tempat itu sambil minum capucino panas.