"Selamat malam, Lorna!"
"Hai! Selamat malam juga?"
"Mengganggu tidurmu?"
Lorna terdengar tertawa.
"Tak bisa tidur. Lagi nyetel kita lagi nyanyi bersama tempo hari di laptop."
Dewa tertawa.
"Lorna rindu. Jadi ke Jakarta?"
"Besok."
"Lorna akan jemput dimana?"
"Biar aku yang akan mencarimu. Jangan mengganggu aktifitasmu."
"Lorna bebas menentukan waktu kemana dan kapan."
"Aku tahu, Na. Sebab kamu bosnya."
Lorna diam sejenak mematikan player di laptopnya, agar suaranya tak mengganggu pembicaraan mereka.
"Dewa sedang mengapa?" tanya Lorna lunak.
"Minum sambil melepas rindu dengan menelponmu."
"Dewa rindu pada Lorna?"
"Kenapa? Tak boleh merindukanmu?"
Lorna tertawa renyah.
"Lorna yang rindu."
"Kalau begitu sama-sama rindu."
"Dewa berada dimana?"
"Griyo Tawang."
"Griyo Tawang itu apa sih?" tanya Lorna ingin tahu. Sebab dia sering mendengar namun tak pernah tahu.
"Griyo Tawang adalah tempat yang dahulu sebuah lokasi persawahan dengan pemukiman yang tak begitu banyak, yang kini akan saya kembangkan menjadi sebuah desa wisata. Beberapa lahan itu adalah punyaku. Awalnya aku membeli dari milik warisan dari orangtua pak Parman. Yang kujadikan tempatku untuk melukis dan sebagainya. Tempat itu memiliki sumber mata air. Kubangun pula disitu tempat budidaya ikan. Tujuannya agar aku juga punya penghasilan rutin. Secara perlahan aku membeli lahan-lahan yang sengaja dijual padaku. Tetapi aku beli dengan maksud mereka tetap melakukan pekerjaan mengolah sawah tersebut, dengan hasilnya kita bagi bersama. Kutata tempat itu agar menjadi menarik. Agar nampak keharmonisan alam dan lingkungannya. Sawah kubuat tera siring seperti persawahan sistim Subak di Bali. Kubuat beberapa tempat untuk melakukan kerajinan membatik warisan ibu dengan memberdayakan warga sekitar untuk terlibat dan memiliki penghasilan dari produk batik dan turunannya. Ada kubuat tempat memproduksi kerajinan antara lain frame lukisan dan foto, dan tak jauh dari situ kawan-kawan seniman lukis kusediakan tempat agar mereka bisa berkarya. Tempat itu di tepi sungai, dengan pemandangan sawah, pohon bambu, pohon flamboyan, kelapa, randu. Kalau kuceritakan akan panjang ceritanya, Na."
"Bagus sekali," kata Lorna memuji dengan suaranya yang lunak, "Rahma dan Grace cerita tentang pendopo, tentang gamelan, tentang studio musik, tentang taman, semua yang diketahuinya disitu, kapan Lorna diajak kesana?"
"Tempat itu anggaplah milikmu, tak ada yang melarangmu."
"Kenapa kemarin tak mengajakku makan ikan di Griyo Tawang? Kenapa waktu itu kita pergi makan ke desa Punten di Batu? Kenapa nggak ke Griyo Tawang saja. Kata Rahma dan Grace, ikan bakarnya enak sekali."
Dewa tertawa datar.
"Dewa sudah makan?"
"Belum."
"Oh, kenapa?"
"Aku ingin suapanmu."
"Ah, Dewa."
"Besok kita bertemu."
"Naik apa?"
"Gajayana."
"Aduh kenapa naik kereta api? Jadi lusa ketemunya! Naik pesawat saja. Kupesankan tiket online, nanti Lorna beri akses kode tiket, tinggal konfirmasi di Bandara, ya? Dewa naik pesawat biar bisa sampai besok. Kalau Gajahyana jam tujuh pagi lusa baru sampai di Gambir."
"Ke Bandaranya yang repot!"
"Naik taksi ke Abdulrahman Saleh paling sebentar kan? Kan ada Sriwijaya Airline atau apalah yang mendarat di Bandara itu. Kalau ke Juanda kan bisa pakai travel."
"Kamu seperti manajerku saja."
"Lorna ada yang membantu mengurus itu semua."
"Kamu punya menajer?"
"Ada. Imel. Imelda, yang mengurusi job periklanan."
"Kamu mulai jadi bintang iklan?"
Lorna diam sejenak. Entahlah kenapa tiba-tiba dia terdiam. Apakah pertanyaan Dewa itu yang membuatnya terdiam?
"Lorna?"
"Dewa keberatan Lorna jadi bintang iklan?"
"Tidak, kenapa?"
"Kenapa Dewa menanyakan itu?"
"Apa yang salah dengan pertanyaanku? Dewa tak mencampuri urusanmu, apalagi itu kepentingan bisnis perusahaanmu."
"Memang begitu."
"Kalau begitu, ya sudah. Kamu sudah benar. Kenapa lagi?"
"Ah, nggak. Pertanyaanmu nadanya seperti keberatan."
Dewa tertawa lunak.
"Beri aku nomer manajermu atau kantormu."
"Kenapa? Dewa kan bisa berhubungan langsung dengan Lorna?"
"Ah, nggak. Sekedar kubuat dalam catatanku saja. Aku tak terbiasa menyimpan nomer telepon dalam memori. Aku lebih suka menyimpannya dalam lembaran catatan."
"Nanti ku kirim sms. Dewa yang menyalin."
"Terima kasih."
"Beberapa iklan yang Lorna bintangi sudah tayang di beberapa media," Lorna menjelaskan dengan suara ragu-ragu.
"Bagus, tapi aku nyaris tak pernah nonton tv," jawab Dewa.
"Hape yang kukirim ada sarana tv nya kan?"
"Aku tahu, tapi aku tak menonton tv. Dengan hape itu aku hanya menunggu telepon darimu."
"O begitu..."
"Sudahlah, jangan kita bicarakan ini lagi."
"Besok pagi kutelpon untuk konfirmasi pesawatnya ya?"
"Tapi jangan dijemput."
"Kenapa?"
"Pokoknya jangan. Aku akan naik Damri turun di Gambir. Dari situ bisa pakai Busway ke arah Pulogadung. Dan di halte Pulomas turun ke arah kantormu. Di Kelapa Gading kan?"
Lorna menarik nafas sejenak.
"Lorna tak bisa memaksamu."
"Ah, sudahlah. Hari sudah larut. Kamu harus istirahat. Selamat tidur ya?"
"Selamat malam, Dewa."
"Selamat malam."
"Cium Lorna, Dewa?"
Lantas Dewa mengecup keypad hape.
"Mmm, sudah?"
"Terima kasih, De. Bye."
"Bye."