87. Kawan Lama.

Tempat yang akan dikunjungi kini sudah berubah. Rumah itu tak lagi berupa sebuah rumah hunian semata. Bagian sampingnya sudah menjadi toko yang berjualan pulsa, hape dan asesoriesnya, serta menerima servis komputer. Dan di sebelahnya menjadi restoran dengan tulisan fastfood dengan masakan Cina seperti kwetiauw, nasi goreng jamur, pangsit, dan lain lain.
Awalnya Dewa ragu masuk. Dalam pikirannya, apakah temannya sudah pindah dan tempat itu sudah dijual dan kini ditempati oleh orang lain? Tetapi Dewa masuk saja. Hitung-hitung mengisi perut dengan memesan kwetiauw goreng udang dan segelas air jeruk hangat.
Pelayannya ada dua gadis masih muda. Sementara yang menerima pesanan merangkap kasir seorang perempuan sebayanya. Enaknya kalau masuk restorant cina, cepat dilayani, dan masakkanpun cepat dihidangkan, jadi tak lama menunggu, walau yang pertama disuguhkan air jeruk hangat, menunggu kwetiauwnya selesai dimasak.
Dewa akan menanyakan tentang penghuni rumah ini dulu setelah acara makannya selesai. Namun saat mulai menikmati kwetiauwnya, seorang lelaki muncul dari dalam menuju perempuan penjaga kasir, lelaki itu menukar uang. Setelah diperhatikan Dewa kenal sekali wajah lelaki itu, wajah yang baginya tak asing. Lalu pandangan keduanya bertemu, untuk sesaat saling terpana, lantas saling menuding.
"Dewa ya?"
"Hun Wan?"
Lalu lelaki itu bergegas keluar dari dalam. Keduanya lalu saling memeluk dan menepuk bahu. Lalu kembali berpelukkan setelah sekian lama tak bertemu.
"Ini kebetulan atau sengaja?"
"Aku sengaja!" jawab Dewa tegas.
"Aduh... aduh Dewa! Makin ganteng saja! Makin gagah saja! Aduh, lebih baik kamu habiskan dulu makananmu, atau perlu kubuatkan yang lain."
"Jangan jangan, Hun! Sudah cukup! Duduklah denganku, kita ngobrol!" kata Dewa.
"Hayo hayo betul kita ngobrol. Eh, Lin ini kenalkan kawan lamaku, Dewa."
Lantas Dewa menjabat perempuan yang menjaga kasir.
"Lin Mei!"
"Lin Mei isteriku!"
Dewa mengangguk-angguk sambil tersenyum.
"Lin, ini Dewa teman kentalku saat masih di smp. Dia suka karate. Dia minta aku yang mengajari. Tapi kalau melihat tongkrongannya, wah aku sudah tak ada apa-apanya. Kamu masih beladiri?"
Dewa tersenyum.
"Hebat kamu Dewa. Aku sekarang pasti keok. Kamu dulu tak pernah menang melawanku."
Dewa tertawa.
"Kamu suhuku!"
Hun Wan tertawa ngakak disanjung Dewa.
"Tumben kamu kemari? Ada apa? Atau sekedar mampir? Lin. waktu aku masih bujang dia dulu masih suka menginap disini, waktu Mama dan Papa masih ada," kata Hun Wan pada isterinya.
"Mama dan Papa bagaimana?"
"Sudah lama, enam dan tujuh tahun yang lalu. Biasa sakit tua."
Dewa mengangguk-angguk.
"Sebelah?" tanya Dewa, maksudnya menanyakan toko sebelahnya.
"Oh, itu untuk sekedar tambah-tambah buat ongkos hidup. Jual pulsa dan jual beli hape bekas, dan asesoris hape, servis komputer...."
Ingat hape, Dewa mengeluarkan hape dari sakunya, baterainya drop.
"Kenapa?"
"Baterainya drop, aku tak membawa charger-nya."
"Mana!" Hun Wan lalu mengambil hape dari tangan Dewa.
Hun Wan melihat bentuk colokan kabel, meneliti tipenya. Sebagai orang yang sudah terbiasa menggeluti perangkat telepon seluler dia tahu betul, benda di tangannya harganya mahal.
"Charger hape ini aku tak punya, tapi bisa gunakan charger kodok."
"Apa lagi itu charger kodok?"
"Charger yang bisa dipakai buat segala macam jenis baterai ponsel."
"Ya sudah, tolong charger-nya kubeli satu. Tapi kalau ada kamu jual jenis baterainya kubeli sekalian."
Dewa pun lalu ikut ke toko sebelah, melihat bagaimana Hun Wan mengatasi ponselnya.
"Pasangkan sekalian baterai yang baru sementara aslinya kamu charge."
"Oke, bos!"
Hape Dewa pun kemudian berfungsi kembali.
"Hape mu mahal punya! Kamu sukses sekarang!"
"Ah, ini boleh dikasih!"
Hun Wan tertawa.
"Kalau ada yang ngasih barang seperti ini pasti hebat orangnya."
Dewa tersenyum mendengar ucapan Hun Wan. Tak lama kemudian hapenya berbunyi. Ada panggilan masuk. Dewa sudah yakin itu panggilan berasal dari Lorna.
Dewa meletakkan telunjuk di mulut agar Hun Wan tutup mulut.
"Hai!"
"Dewa ada dimana?" terdengar suara Lorna seperti terisak.
"Maafkan aku, Na! Baterai hapenya drop dan charger-nya tak kubawa. Aku ada di Kelender di tempat kawan, minta tolong mengatasi hape."
"Di mana, Dewa? Lorna takut terjadi apa-apa denganmu. Kenapa sih tidak menunggu di kantor? Lorna cari tadi di Bandara. Lorna hubungi tak ada sambungan. Di Kelendernya di mana?"
Hun Wan membantu menuliskan alamat di atas kertas bon. Lalu Dewa menyebutkan alamat itu.
"Jangan pergi kemana-mana ya? Lorna jemput ke sana?"
"Jangan! Biar aku saja yang ke rumah. Rawamangun kan tak jauh dari sini."
"Nggak mau, nanti tak ketemu lagi! Lorna langsung berangkat."
Dewa mengangkat bahu.
"Siapa?" tanya Hun Wan.
Dewa mengangkat alisnya.
"Perempuan?"
Dewa kembali mengangkat alis. Hun Wan pun tertawa mengerti.
"Pacar?"
"Tunangan!" kata Dewa seraya menunjukkan cincin di jarinya.
"Waduh. Ciamik lu!"
"Orang Jakarta?"
"Anak Malang juga."
"Baguslah! Nggopekgo. Tonggo ngapek tonggo," kata Hun Wan dengan tertawa.
Hun Wan yang sejak tadi penuh tawa dan canda, lantaran gembira sekali ketemu Dewa. Tetapi saat sebuah mobil sedan mewah warna metalik berhenti di depan tempat usahanya menjadi terdiam.
Pintu mobil terbuka. Lorna yang cantik dan seksi berkacamata hitam, keluar sambil berusaha meyakinkan nama restorant yang terpampang di atas. Setelah merasa yakin. Kemudian bergegas masuk ke dalam. Lalu melihat Dewa sedang duduk berhadapan dengan Hun Wan.
"Dewa!" Lorna memanggil.
Dewa bangkit berdiri.
Lorna bergegas menghampiri, mencium punggung tangannya, kemudian menjatuhkan dirinya dalam pelukkan Dewa.
"Kenapa hal seperti ini mesti terjadi?" katanya seraya berusaha menahan isak.
Karena rindunya Lorna mencium bibir Dewa sejenak. Tidak peduli Hun Wan dan isterinya Lin serta pegawainya dan juga beberapa pengunjung yang memperhatikan. Mereka semua terpana. Seperti menyaksikan adegan shooting sebuah film. Para pemainnya ganteng dan cantik. Sedang saling memeluk penuh kerinduan yang mengharukan.
"Maafkan, Dewa!" kata Dewa.
Lorna menutup bibir Dewa dengan telunjuknya. Lorna melepaskan pelukan dan kacamatanya. Maka yang nampak kemudian adalah mata birunya. Semua yang melihat sejak tadi kian terpana.
"Kenalkan temanku, Hun Wan dan isterinya Lin Mei," kata Dewa.
Lalu Lorna menyalami keduanya.
"Hun Wan, teman Dewa sejak smp." kata Hun Wan
Lorna Mengangguk seraya tersenyum walau matanya masih berkaca-kaca.
"Lin Mei!" kata isteri Hun Wan seraya menyalami Lorna.
"Lorna!"
"Hei, Cece kan yang ada di iklan tivi!" kata Lin Mei sembari menunjuk sebuah iklan di layar tv. Mereka yang ada di rumah makan itu ikut melihat ke arah tv. Menyamakan wajah yang di layar tv dengan wajah gadis yang berdiri di hadapan mereka. Lorna kemudian semakin menjadi perhatian.
"Iya betul, cantik banget!" kata seorang ibu.
Lorna tersipu. Dewa menyeka bekas airmata Lorna. Kemudian mereka duduk bersama di restorant itu. Lin Mei dengan hapenya berusaha mengambil gambar Lorna dan Dewa berkali-kali. Hun Wan suaminya, tersenyum tiada henti.
Lorna lalu bertanya apa yang terjadi, kenapa Dewa sampai di tempat itu. Dewa pun kemudian secara singkat menjelaskan.
"Kalau tak ada kejadian, tak bakalan Dewa kemari," kata Hun Wan.
"Ah, dia bercanda, Na. Aku dulu sering tidur di sini."
"Terima kasih!" kata Lorna.
"Dewa sudah cerita kalau tadi ditelepon tunangannya," kata Hun Wan lagi.
"Oh, ya?" tanya Lorna seraya menatap Dewa.
"Habisnya dia tanya, kalau tidak ya tak kujelaskan," jawab Dewa.
"Tacik mau berfoto dengan kita? Sebentar ya kuambil kamera di mobil?" kata Lorna lalu pergi keluar mengambil kamera.
"Cantik sekali!" kata Lin Mei, "Bule ya? Pandai sekali Bang Dewa cari pasangan."
"Pasangan bukan dicari, Cik! Dulu teman sekolah waktu di sma," jawab Dewa.
"O, begitu...."
Lorna kembali sambil membawa kamera. Pak Karyo membantu memotret. Pak Karyo sudah diajarinya bagaimana menggunakan kamera. Tapi terlebih dulu lensa dan parameternya disetel oleh Lorna. Pak Karyo mulai membidik. Beberapa kali diambil posenya. Lalu pengunjung restorant ikutan minta berfoto dengan Lorna dan Dewa. Menggunakan camera ponsel mereka.
Restoran itu kemudian jadi ramai karena kehadiran Lorna dan Dewa. Mereka pikir ada bintang film sedang makan di restoran itu. Gadis-gadis dan beberapa pemuda berkerumun ingin mendekat. Lorna pun sibuk melayani keinginan mereka minta berfoto bareng dengan mereka punya ponsel.
Hun Wan dan Lin Mei merasa kehadiran Dewa seperti membawa hoki.
"Pak Karyo tolong pergi sebentar untuk diprint. Semua foto yang baru diambil, diprint ukuran A3. Dua foto Lorna, Dewa dan Hun Wan serta Lin Mei dicetak ukuran poster ya?"
"Baik, Non." jawab pak Karyo kemudian pergi mencetak foto-foto itu. Pak Karyo sudah tahu langganan Lorna mencetak foto. Foto yang dicetak sedianya oleh Lorna akan diberikan kepada Hun Wan dan isterinya.
"Terima kasih, Ce!" kata Lin Mei.
Apa yang dilakukan Lorna untuk menyenangkan hati sahabat Dewa. Disamping telah bertemu Dewa ditempat itu. Mereka berada ditempat itu seperti reuni. Restorant itu kini nampak sibuk melayani pengunjung yang memesan makanan. Lin Mei terpaksa meninggalkan meja tempat Lorna dan Dewa duduk bersama Hun Wan untuk melayani mereka.
Pengunjung tak berhenti memperhatikan Lorna.
"Ini jadi mengganggu kerjamu...." kata Dewa.
"Ah, ya nggak. Justru kamu datang bawa hoki buat gua." jawab Hun Wan sambil tertawa.
"Sebelah tak ada yang jaga."
"Tapi kelihatan dari sini. Nggak apa-apa. Yang penting kamu datang saja, senangnya bukan main. Apalagi ada bonus bintang film ini."
"Hei, aku bukan bintang film!" sergah Lorna.
"Lalu apa bedanya bintang iklan? Kan sama-sama difilmkan," kata Hun Wan tak mau kalah.
Lorna tertawa seraya membelai wajah Dewa.
"Kalian romantis sekali. Kita semua jadi senang melihatnya," kata Hun Wan.
"Sudah lama tak bertemu. Ini baru bertemu," kata Lorna.
"Oh, ya pantas, Ko!" sela Lin Mei pada suaminya, Hun Wan.
"Kita tunggu sopir saya datang, setelah itu kita pulang," kata Lorna perlahan pada Dewa.
"Aduh, kenapa jadi terburu. Agak lama apa disininya. Mana mungkin kalian akan kemari lagi."
"Hei!" sergah Dewa, "Aku pasti kemari, hanya soal waktu saja. Nanti kuajak kalian ke tempatku. Tapi kalau kalian tak kebertana menutup sesaat dan liburlah ke sana. Ajak pegawaimu."
"Mana ada ongkos aku, Dewa!"
Lorna tersenyum.
"Nanti kita yang ongkosi!"
"Maksudnya?" tanya Hun Wan.
"Kalau kita resmikan hubunganku dengannya, kamu dan Lin Mei dan pegawaimu kuundang untuk datang dan kita yang akan tanggung ongkosnya, begitu maksud Lorna," kata Dewa seraya merengkuh Lorna dalam pelukkannya.
"Kamsia kamsia, Dewa! Kutunggu ya? Kudoakan kalian. Doa sahabat itu manjur, Dewa," kata Hun Wan.
"Aku percaya itu!" jawab Dewa serius.
Maka setelah Pak Karyo selesai mencetak foto. Dan foto tersebut diserahkan kepada Lin Mei. Dewa dan Lorna lantas berpamitan. Namun terlebih dahulu Dewa meninggalkan lima lembar uang ratusan ribu ke kasir. Lin Mei berontak menolak.
"Jangan! Jangan! Koko!. Ini Bang Dewa ninggalin duit!"
"Dewa, jangan! Jangan Dewa!"
Dewa bersikukuh.
"Biarkan disitu, atau aku tak akan pernah kemari lagi. Itu pengganti charger dan baterai dan makanan," kata Dewa. Lorna tersenyum memandang Lin Mei dan Hun Wan yang nampak tak berdaya.
"Tapi itu kelebihan! Aku tak berhitung, Dewa! Kamu bikin posisiku tak enak, Dewa!" kata Hun Wan.
"Sudahlah. Aku tahu kamu tak berhitung. Kulakukan kalau aku ada. Teman bagiku ibarat saudara. Kuberikan apa yang kupunya dengan apa dibutuhkannya."
"Ah. Dewa ucapannya penuh fiilosofi. Dewa ini satu-satunya temanku yang lain dari pada yang lain. Hatinya baik. Selalu perhatian."
Lorna tersenyum dengan mengangguk-anguk membenarkan.
Dewa menepuk-nepuk pundak Hun Wan.
"Sampai ketemu lagi sobat...."
"Oke, Dewa! Semoga tambah sukses!"
"Terima kasih, Ko. Terima kasih, Cik. Selamat malam," kata Lorna.
"Selamat malam. Cantik banget, Cece Lorna." kata Lin Mei.
"Eh, sori, aku lupa tanya. Kalian sudah punya anak?"
"Ada di atas!" kawan Hun Wan dan isterinya hampir bersamaan.
"Ajak turun, aku ingin berkenalan..." kata Dewa.
Lin Mei lalu masuk ke dalam dan kembali membawa tiga anaknya, dan diperkenalkan kepada Dewa dan Lorna. Dan mengajak mereka foto bareng.
"Besok kusuruh Pak Karyo untuk mengantarkan hasil cetakkannya," kata Lorna.
"Kamsia, Ce...kamsia!"
"Kubikinkan bakmi buat dibawa pulang, ya?"
Lorna menolak halus.
Lin Mei dan Hun Wan mengantar keduanya masuk ke dalam mobil mewah yang diparkir depan restorannya. Diikuti banyak pandangan mata, hingga lampu mobil Lorna lenyap di sebuah tikungan.