88. Kembali.

Lorna memandangi wajah Dewa saat sudah di dalam mobil. Kemudian tangannya membelai wajah Dewa dengan lembut. Bola matanya yang indah berkilat nampak kembali berkaca-kaca. Sejak tadi dia ingin menangis, tapi karena berada pada situasi dimana dia harus menghormati Dewa di depan temannya, maka sekuat hati menahan perasaan itu. Padahal tadi sempat larut dilanda berbagai perasaan yang berkecamuk.
Dewa balas menatap ke mata Lorna yang kini berair.
"Maafkanlah aku," kata Dewa dengan lirih.
Lorna berusaha tersenyum, namun senyum itu tetap saja getir.
"Sekalah airmataku, De. Kamu yang biasa menyekanya."
Dewa lantas mengingsut bawah matanya yang basah.
"Maafkanlah aku," Dewa mengulangi kembali permintaan maafnya.
"Lorna mengerti, karena Dewa tidak terbiasa dengan hape."
"Kini sudah direpotkan..."
Lorna berusaha tersenyum.
"Jangan begitu..."
Dewa minta tisu basah untuk membersihkan tangannya karena ingin membelai wajah Lorna. Dan Lorna tersenyum senang saat wajahnya dibelai lembut. Matanya yang indah berkaca-kaca.
"Aku sudah mendatangi kantormu. Di Gambir tadi seharusnya aku menelponmu dari wartel, tapi ingatanku teralihkan karena harus membantu mengangkat koper orang ke halte busway."
Oh, Dewa! Jerit hati Lorna. Kamu masih saja memikirkan kepentingan orang lain.
"Kamu mau memaafkanku?" tanya Dewa.
Lorna masih tetap diam, hanya pandangannya saja masih menatapnya lembut. Pikirannya masih digeluti berbagai hal. Kenapa masalah sepele, hanya tidak bisa berkomunikasi, membuat hatinya resahnya bukan main. Barangkali karena kerinduan yang meledak-ledak, membuatnya tak kuasa menahan setiap keinginannya lekas bertemu dengan Dewa.
"Kenapa diam?"
Dewa menarik tubuhnya dan memeluknya.
"Maafkanlah aku..."
Lorna balas memeluknya erat.
"Lorna tak bisa jauh darimu, De."
Dewa mencium keningnya.
"Kini kita sudah bersama."
"Seharusnya Lorna tadi tidak keluar kantor mencarimu ke bandara. Seharusnya Lorna menunggu saja. Lorna tidak mendengarkanmu, De. Lorna merasa bersalah sekali, karena kamu sudah bilang yang akan mencariku."
"Ya, sudahlah. Kita sudah bertemu. Kamu harus istrahat dulu setelah mandi."
Lorna mengangguk.
Maka setelah sampai di rumah dan selesai mandi. Mereka berdiam dalam kamar. Tidak keluar. Dan untuk sejenak melepaskan kerinduan. Sementara di luar. Bulan di langit tengah bercumbu dengan berjuta bintang, kerlipan cahayanya adalah kerlipan sinar yang menembus hingga jarak ribuan tahun cahaya. Menembus setiap keinginan mata yang ingin memahami, yang tak mampu ditepis bila ada kabut yang menghalangi. Keinginan setiap mata adalah keinginan untuk menelanjangi, bagaimana cahaya yang berpendar di setiap keheningan malam, patut untuk dinikmati. Udara dingin pun seakan kian membuat cumbuan bulan dan bintang semakin terasa lekat. Setelah larut, angin malam pun perlahan meninggalkan bulan dan bintang kembali dalam keheningannya.
Nafas Lorna kembali teratur dengan wajahnya berada di atas dada Dewa. Keduanya lantas duduk bersandar pada kepala pembaringan. Lorna dengan manja berada dalam pelukan Dewa. Wajahnya yang merona merah nampak berkeringat. Dewa mengambil sehelai tisue dari atas meja nakas, kemudian menyeka keringat di wajah tersebut.
Untuk beberapa lama, terdiam dalam keheningan. Tak satupun bunyi suara terdengar dalam kamar itu, selain hembusan angin yang keluar dari lubang kisi-kisi ac dinding. Nafas yang tadi terasa hangat dan bergemuruh, segemuruh kerinduan yang bisa reda setelah diledakkan. Kini kembali teratur. Kerinduan telah tersalurkan. Kerinduan telah tersimpan kembali di tempatnya. Lama kemudian, Lorna mulai membuka pembicaraan setelah larut dengan keheningan.
"Boleh aku menelpon Rahma?"
"Silahkan...teleponlah."
"Sejak siang tadi, ada telepon Grace dan Rahma masuk."
"Teleponlah. Mereka tentu menunggu."
"Dewa ikut mendengar ya?"
"Tapi jangan melibatkan aku."
Lorna lalu mencium pipi Dewa dan mulai menghubungi Rahma. Setelah terhubung, Rahma pun terdengar marah-marah sebentar. Kemarahan Rahma sebagai wujud kepeduliannya pada dirinya, maka Lorna tak begitu menanggapi. Toh pada akhirnya nanti kemarahannya itu akan reda sendiri.
"Sudah?" tanya Lorna setelah Rahma terdiam.
"Sudah apanya?"
"Marahnya..."
"Grace yang belum!"
"Nanti kudengar marahnya kayak apa."
Mereka berdua lalu tertawa. Dewa yang turut mendengar, hanya tersenyum seraya membelai rambut Lorna yang terasa lembut di tangannya.
"Di sini heboh." kata Rahma.
"Aduh, ada apalagi sekarang...."
"Kamu yang bikin kehebohan itu, Na."
"Aduh, kenapa denganku? Kenapa mesti Lorna yang selalu jadi biang kehebohan?"
"Iklan-iklan yang kamu bintangi."
"Kenapa? Apa ada yang keliru?"
"Ya, tidak sih. Cuma Lorna yang kita kenal, Lorna yang kini kian terkenal."
"Lorna tak ingin jadi terkenal, Rah. Itu hanya tuntutan profesi."
"Aku tahu, tapi ketenaran sejalan dengan waktu. Saat ini, tuntutan teman-teman supaya kamu ikut reuni tak bisa dielakkan."
"Kan sudah kubilang aku akan ikut reuni. Kenapa mesti kamu pikir aku tak akan hadir."
"Hanya yang daftar di sekretariat selalu tanya kamu."
"Terus?"
"Hubunganmu dengan Dewa sekarang kok jadi lain."
"Lho, lainnya bagaimana?"
"Sekarang kalian resmi pacaran."
Lorna menatap Dewa. Dewa mengedipkan sebelah mata. Ekspresi wajah Dewa seakan tak keberatan bila dirinya mengomentari ucapan Rahma, karena Dewa sudah mengingatkan agar tak melibatkan dirinya.
"Rahma...." Lorna diam sejenak, seakan sedang berusaha menyiapkan jawabannya, "Kalian yang paling tahu hubungan Lorna dengan Dewa. Kalian yang paling tahu bagaimana Lorna mencintai Dewa. Dan kalian juga tahu bagaimana sesungguhnya cinta Dewa kepada Lorna. Dan apa yang selama ini diperhatikan oleh kawan-kawan, memang seperti apa yang terlihat dipermukaannya. Mereka tidak melihat apa yang sesungguhnya yang berada di bawahnya. Jadi tak bisa kusalahkan apabila mereka tidak melihatnya secara utuh. Mereka tak melihat bayangan yang ada dibawahnya. Sedangkan kamu sendiri, yang berada di dekat saja, kadang melihat bayangan itu, kadang juga tidak. Dan saat kini, Lorna dan Dewa sudah keluar ke permukaan, dan kalian telah melihat hal seutuhnya. Itulah yang kini terjadi. Tapi, terus aku harus bagaimana? Apakah aku tak boleh mencintai Dewa secara terbuka?"
"Kenapa tidak sejak dulu? Itu pertanyaan teman-teman."
"Lalu apa bedanya dulu dengan sekarang. Sedangkan cinta itu sendiri tak pernah berubah."
"Aku kan hanya menginformasikan apa yang jadi pembicaraan teman-teman."
"Terima kasih, Ra. Terima kasih sahabatku. Aku tahu, Ra. Aku tahu, bagaimana kamu dan Grace menilaiku. Selama ini hanya kalianlah teman dekat yang kumiliki, yang acap kali kumintai pertimbangan. Lorna tak tahu apa jadinya tanpa kalian selama ini. Makanya aku sedih bila kalian marah, sebab bila kalian marah, itu menunjukkan bahwa aku telah melakukan kesalahan pada kalian."
"Ya, sudah. Cuma aku repot, mereka selalu bertanya yang tidak-tidak."
"Terus bagaimana? Sebab kalian yang dekat denganku."
"Sejak dulu, di sekolah kamu memang selalu jadi bahan pembicaraan."
"Lorna sejak dulu berusaha menghindari itu, dengan diam."
"Sama halnya Dewa, diam, tak banyak bicara, menjauh sekali-kali. Kalian berdua memang misteri. Joy bilang, Dewa hari ini ke Jakarta."
Lorna diam sejenak.
"Kenapa dengan Dewa?"
"Saras semalam datang ke Griyo Tawang, menemui Beni menanyakan Dewa."
Dewa dan Lorna saling memandang.
"Terus?"
"Beni tak bilang apa-apa. Beni sendiri sudah lama tak ketemu Dewa. Hanya Saras kesal karena seakan Beni dan Joy seperti memproteksi Dewa agar sulit ditemui."
Lorna memandang Dewa. Dewa mengangkat alis matanya.
"Beni sebenarnya ingin bicara denganmu, tapi dia merasa tak enak dengan Dewa."
"Kalau tak ada hubungan dengan Dewa, kenapa merasa tidak enak?"
"Hanya soal reuni, tapi dia takut akan timbul salah paham kembali."
"Besok kutelpon, biar dia tak merasa kuatir terjadi kesalahpahaman."
"Bisakah kamu bujuk Dewa untuk ikut reuni?"
"Kenapa aku yang harus bujuk?"
"Hanya kamu yang bisa mengajaknya terlibat reuni."
"Hei, Rah. Kenapa sih kalian semua memandang Dewa seperti itu? Kenapa dengan Beni? Dewa tak ada masalah dengan Beni. Dewa tak pernah bicara soal kamu, Beni, Joy, Saras, siapa saja. Dia tak pernah bicarakan itu. Dewa hanya bicara tentang masalahnya, itu pun sebatas yang perlu. Selama ini Dewa juga tak pernah peduli kalian semua bicara apa saja soal dirinya."
Dewa turun dari pembaringan. Membiarkan Lorna bicara bebas dengan Rahma. Lalu duduk di sofa seraya menghabiskan minumannya yang sudah dingin. Dia tak ingin terlibat pembicaraan mereka. Dia tak ingin mendengar apa yang dibicarakan. Kemudian dia masuk ke dalam kamar mandi. Entah apa yang dilakukannya di dalam sana. Lorna hanya mengawasi dengan pandangannya sampai tak bisa dilihatnya lagi.
"Kamu sudah bertemu Dewa?" tanya Rahma.
"Dia ada disini."
"Aku yakin begitu. Dia tahu kita bicara?"
"Ya, tapi sejak dulu, kan kamu tahu dia tak mau terlibat pembicaraan orang lain. Dia ada dalam kamar mandi."
"Soal iklan tayang untuk acara reuni, kamu pernah menyanggupi membantu."
"Email kan saja berkasnya nanti kuurus iklan layanan masyarakat itu."
"Mereka yang ingin terlibat reuni, ada di facebook yang sudah dibikin Joy."
"Nanti kulihat, kasih tahu nama facebooknya. Jangan beritahu kalau Dewa bersamaku."
"Percayalah, Na. Aku dan Grace ngerti banget hubungan kalian."
"Jangan salahkan dia. Dia baik banget, dia selalu mengalah, dia sibuk, banyak yang diurusi, jadi jangan diberi beban persoalan. Soal Joy, soal Beni, dia sudah anggap tak pernah ada persoalan lagi. Hanya kebetulan, Beni belum ketemu waktu yang baik untuk berjumpa Dewa."
"Aku ngerti, Na. Apalagi kalian kini sedang jadi sorotan teman-teman. Mereka ingin mendaulat kamu dan Dewa dalam acara reuni nanti."
"Ah, jangan, Ra. Aku juga masih belum paham benar alasan sebenarnya dia enggan bicara soal reuni. Bukan lantaran dia tak punya kepentingan lagi. Tapi ada sesuatu yang tak ingin membicarakannya denganku."
"Reni bilang padaku dan Grace, kalau Dewa itu banyak talentanya. Yang kita tahu sebatas yang kita lihat selama ini. Tapi kalau di Griyo Tawang. Reni yang sering terlibat disana, kalau Dewa bisa apa saja yang bisa memberi hiburan pertunjukkan."
"Aku nggak tahu soal itu, Rah."
"Ya, kamu memang banyak belum tahu."
"Tapi aku merasa banyak kejutan yang ditunjukkan padaku. Waktu menginap disini tempo hari, dia mengajakku nyanyi bareng, ternyata dia juga pandai main organ."
"Dia bisa ndalang, dia bisa menari, dia bisa teater tradisional, banyak kebisaannya kata Reni tadi siang."
"Oh, ya?"
"Makanya Reni memberi tahu agar aku membujukmu, supaya kamu bisa membujuk Dewa ikut menyumbang kebisaannya pada acara reuni nanti. Entahlah apa yang akan diberikan, terserah padanya."
"Tapi aku sungguh tak tahu apa pun tentang keahliannya seperti yang baru kamu bilang. Jadi aku tak tahu harus memulai dari mana? Aku pun tak bisa memanipulasi atau memanfaatkan walau itu untuk kepentingan kawan-kawan. Kasihan aku padanya, Rah. Aku tak tega. Sepertinya aku tak sanggup melakukan itu. Kusarankan, kalianlah sendiri yang meminta padanya, entah bagaimana caranya, yang penting jangan membuat posisiku tak nyaman."
Lorna termenung setelah mengakhiri pembicaraan dengan Rahma via telepon. Dewa masih berada dalam kamar mandi. Sambil menunggu Dewa keluar dari sana. Lorna melihat minuman Dewa dalam cangkirnya telah habis. Kemudian dia keluar kamar untuk membuatkannya lagi seraya mengambil makanan kecil untuk dibawa masuk ke dalam kamar.
Di dapur Titi masih menonton acara televisi.
"Nonik dan mas Dewa belum makan," katanya.
Apa yang dikatakan pembantunya memang benar. Mereka berdua belum makan. Sebab tadi di restoran teman Dewa, mereka berdua sudah makan kwetiauw. Makanan berminyak itu agaknya membuat perutnya terasa kenyang.
"Biarlah, nanti kalau aku lapar, akan kuambil sendiri. Kalau kamu mau istirahat, tidur saja."
"Ya, Non."
Lorna kemudian masuk kembali ke dalam kamar. Namun Dewa masih belum keluar dari kamar mandi. Lorna mulai cemas. Apakah Dewa sedang sakit? Kecemasannya hilang saat Dewa keluar tak seperti yang dipikirkannya, Dewa keluar seperti tak ada beban, dan tak berkata apapun, apalagi mengatakan, bahwa dirinya baru saja selesai menelepon Wulan di Malang.
Dia menelpon hanya menghilangkan kecemasannya bila Wulan menanyakannya. Untuk itu dia menelpon sekedar menenteramkan Wulan agar tak mencarinya. Dewa menutupi persoalan ini dari Lorna. Belum saatnya untuk menjelaskannya.
Lorna perhatikan bahwa Dewa nampak sehabis berkumur, dan membasuh wajahnya.
"Sudah Lorna buatkan minum lagi," kata Lorna yang duduk di sofa menunggunya.
"Terima kasih. Sudah selesai menelponnya?"
"Jadi ke kamar mandi untuk menghindari mendengar pembicaraan tadi?"
Dewa tersenyum.
"Habis mau kemana? Keluar kamar?"
"Maafkan pembicaraan Lorna barusan ya, De? Kenapa tidak bilang. Lorna kan bisa mematikan mode speakernya."
"Sudahlah. Sudah menelpon Grace?"
"Belum. Nanti Dewa pergi masuk kamar mandi lagi."
"Teleponlah, jangan biarkan dia menunggu terlalu lama."
"Dia pasti marah."
"Dengarkan saja. Kemarahannya tentu beralasan karena teleponmu tak bisa dihubungi, apalagi Lorna tak juga membalas sampai malam ini. Teleponlah!"
Dewa lalu duduk menemani Lorna menelpon Grace. Seperti halnya Rahma, Grace pun awalnya marah karena kesal, tapi pada akhirnya kemarahannya mereda. Lorna hanya mendengarkan, dan kali ini dia tak banyak menanggapi.
Dewa lalu mengangkat tubuh Lorna dari sofa. Lorna yang sedang berbicara dengan Grace, melingkarkan tangannya ke leher Dewa. Wajahnya nampak senang sekali ketika Dewa mengangkat tubuhnya, dan meletakkannya ke atas pembaringan. Lalu keduanya berbaring di atas tempat tidur.
Lalu Dewa memeluk tubuh Lorna dengan hangat. Kelopak matanya mulai dipejamkan. Dibiarkannya Lorna panjang lebar berbicara dengan Grace. Wajahnya menempel di samping wajah Lorna. Sesungguhnya dia mendengar setiap ucapan Grace dengan jelas, tetapi tak mempedulikan. Jemari tangan kanan Lorna nampak dalam genggaman jemari Dewa diatas perutnya yang tengah memeluknya, mempermainkan cincin yang ada dijari manisnya. Nafas Dewa yang hangat dan teratur menyapu di samping pipinya.
Tengah malam Dewa pun terjaga. Didapatinya wajah Lorna menyelusup dibawah lehernya, tangannya memeluknya erat, sementara satu kakinya menumpang di atas pahanya. Wajahnya yang anggun nampak pulas dengan irama nafasnya yang teratur. Dewa kembali memejamkan mata.
Sementara hari telah larut pagi. Jam dinding telah menunjukkan pukul dua. Kamar itu terasa hening sekali.