89. Pagi di Rawamangun.

Jam empat pagi Dewa sudah bangun. Pergi keluar ke halaman belakang untuk berolah raga beberapa saat. Setelah berkeringat dan meredakan nafas kemudian masuk ke dalam kamar mandi membersihkan diri.
Sementara lingkungan masih terasa sepi. Semua penghuni masih terlelap tidur. Lorna saat ditinggalkan dilihatnya masih terlelap. Namun saat keluar dari kamar mandi. Gadis itu sudah bangun dan duduk di tepi pembaringan, seakan merenung, dan menunggunya karena tahu Dewa berada dalam kamar mandi. Jam dinding menunjukkan waktu yang telah dilewati Dewa sebagai kebiasaanya.
"Selamat pagi!" sapa Dewa.
"Selamat pagi, De!"
Dewa menghampirinya lalu mengecup bibir Lorna sesaat.
"Kenapa ikut bangun? Tidurlah kembali. Jam bangunmu jangan mengikuti jam bangunku."
"Lorna ingin bangun saja..."
Lorna pun lalu masuk ke dalam kamar mandi. Dewa duduk di sofa. Mengambil sebuah majalah yang ada di bawah meja nakas. Majalah yang berisi jadwal penerbangan, tetapi di dalamnya berisi berita tentang iklan-iklan tujuan wisata, budaya, kuliner, shopping dan lain sebagainya. Dewa membuka-buka sekedar mengisi waktu menunggu Lorna selesai dari kamar mandi. Tak ada yang dilakukan.
Masih memikirkan jadual hari ini dalam kepalanya. Dan Lorna menanyakannya ketika mereka berdua sudah berada di ruang makan.
"Bolehkah Lorna ikut acara Dewa hari ini?" tanyanya seraya meletakkan secangkir capucino panas di atas meja di hadapan Dewa.
Lorna lalu duduk di atas pangkuannya.
"Bolehkah?" tanya Lorna. Dahinya ditempelkan ke dahi Dewa. Matanya menatap mata Dewa. Dan tangannya melingkari leher Dewa.
"Tak mengganggu jadwalmu?"
"Bisa diatasi...."
"Jangan sampai mengganggu jadwalmu."
"Hari ini acara pembukaan pameranmu kan?"
"Hanya melengkapi pamerannya teman-teman. Bukan tunggal."
"Dewa mau buah atau sarapan?"
"Buah saja."
"Ini ada plum dan kiwi. Mau plum atau kiwi?"
"Terserah mana saja."
Tapi Lorna membawa keduanya.
"Kita cari dulu di penginapan mana Pak Parman dan Darso menginap."
"Orangnya Dewa?"
"Ya, Lorna pernah bertemu mereka waktu di Surabaya."
Lorna menyuapkan potongan buah kiwi yang berwarna hijau muda ke mulut Dewa.
"Jam berapa acaranya nanti dimulai?"
"Sebetulnya pagi, tapi kita siang saja kesana. Kalau pameran tunggal, aku harus ada pada saat pembukaan. Kusengaja lambat datang, biar fokusnya ke teman-teman."
"Kita mampir dulu ke kantor Lorna, ya?"
"Okey!"
Tetapi sebelum mereka berangkat ke kantor Lorna. Dewa tak mau mengganggunya sibuk menerima telepon, juga saat menghubungi Beni. Tak ingin mengabaikan teman-temannya yang sibuk mempersiapkan reuni akbar.
"Selamat pagi, Ben. Sorry, mengganggu. Ini aku, Lorna."
"Hoi, pagi, Na! Tumben. Apa kabar? Sudah sehat?"
Lorna tertawa renyah.
"Kamu pikir masih sakit? Hei, Ben. Thanks berat ya."
"Terima kasih soal apa, Na. Tumben."
"Kamu ini dari tadi bilang tumben-tumben melulu."
"Ya, karena tak biasanya kamu menelponku."
"Begini Beni. Pertama, aku mau bilang terima kasih, telah mempertemukan kita."
"Maksudmu?"
"Mempertemukan aku dengan Dewa!"
"Wow. Salah besar, Na!"
"Kok salah, Ben?"
"Aku bahkan mencegahmu agar tak bertemu Dewa waktu kamu dibawa ke rumah sakit."
"Aduh, Ben! Kenapa sih kamu ini. Kamu kan yang sengaja bikin reuni itu. Tujuannya kan supaya aku dan Dewa bertemu."
Beni diam tak menjawab.
"Ben?"
"Ya, Na!"
"Aku dan Dewa sudah bertemu di Surabaya."
Beni tertawa.
"Kok ketawa, Ben?"
"Lucu!"
"Apanya yang lucu?"
"Hidup ini, Na!"
"Kamu menganggap hidup ini lucu ya Ben."
"Memang! Penuh ironi. Terakhir ketemu Dewa setelah peristiwa di pintu gerbang sekolah itu, setelah itu sampai sekarang belum ketemu. Justru, kamu Na, yang sering bertemu dengannya."
"Memangnya ada apa?"
"Ah, nggak tahu!"
"Kamu pikir Dewa kesal sama kamu?"
"Nggak tahu, Na!"
Lorna tertawa renyah.
"Kenapa tertawa?" tanya Beni.
"Lucu!"
"Lucu bagaimana?"
"Bagaimana tak lucu. Dewa sendiri tak pernah bicara tentang kamu. Sekali kutanya soal kamu, dia balik tanya. Kenapa yang sudah-sudah dipersoalkan. Dia tak pernah mempersoalkan. Peristiwa itu sudah berlalu, jadi menurutnya sudah selesai. Kalau toh belum ketemu kamu, bukan berarti dia menghindar. Dia cuma sibuk. Kamu kan yang lebih tahu betapa sibuknya dia."
"Memang betul, Na!"
"Nah. Kan kamu sudah mengerti sendiri. Jadi kenapa kejadian itu masih saja jadi beban pikiranmu. Aku dan Dewa sendiri sepakat kalau kamu yang berperan mempertemukan aku dengannya. Dia hanya berusaha menghindari, jangan sampai ada yang tahu kalau tujuanmu membuat reuni itu sebagai jalan agar aku bisa bertemu dengannya kembali. Jadi untuk acara reuni itu, jangan sampai nanti ada anggapan ada tujuan yang terselubung seperti itu lagi. Paham kamu, Ben?"
"Oyi, Na. Paham. Aku paham. Thank's. Dewa kemarin ke Jakarta. Sudah ketemu?"
"Hari ini dia sedang pameran bersama teman-temannya. Ya ketemulah, Ben."
"Sampaikan salamku ke Dewa."
"Kusampaikan nanti, Ben. Eh, Ben, kalau aku pulang ke Malang, ajak aku cari rujak cingur ya?"
Beni tertawa ngakak.
"Beres, gadis cantik. Tapi kamu yang traktir ya? Jobmu kulihat bagus. Iklanmu bagus sekali. Tapi tolong iklan buat reuni akbar kita ya?"
"Kirim materinya ke emailku, nanti kuurus. Oke, Ben?"
"Oke, Na!"
"Bye, Ben!"
"Bye, Na!"
"Dapat salam dari Beni!" kata Lorna kepada Dewa saat mereka sudah berada di dalam mobil yang dalam perjalanan ke kantor Lorna.
Dewa mengangguk tak bereaksi. Matanya tertutup kacamata hitam. Kepalanya bersandar pada punggung jok mobil, menikmati alunan musik klasik, Sonata For Piano [C-Sharp Minor] No.14, Beethoven, yang mengalun lembut mengisi ruang mobil.
Lorna memberinya permen penyegar mulut. Dewa menerima dan menelannya, dalam sekejap benda itu telah larut menembus segenap rongga mulutnya, terasa sejuk. Sementara Lorna masih disibukkan telepon-telepon lain yang masuk, antara lain dari Imelda.
Dewa mengambil koran pagi yang terselip pada kantong di belakang tempat duduk di depannya. Dia hanya membaca head line dan judul-judul di halaman lainnya. Sengaja hanya membaca dan membuka sepintas, tak berhasrat membaca serius. Dia hanya mengisi kekosongan waktu saat Lorna sibuk berbicara dengan Imel.
Intisari pembicaraan telepon Imel adalah permintaan maaf soal tamu Lorna kemarin. Imel mengkuatirkan Lorna tidak datang ke kantor hari ini akibat peristiwa itu. Tetapi Lorna sudah tak mempersoalkannya lagi. Oleh karenanya begitu sampai di kantornya sikap Lorna biasa saja.
Di pintu masuk, Imel dan beberapa stafnya berada di situ menyambut.
"Selamat pagi!"
"Selamat pagi, Mel. Selamat pagi semua."
Imel lalu menyalami Dewa yang mendampingi Lorna. Imel nampak riskan berhadapan dengan Dewa. Begitu pula Tia, gadis resepsionis yang kemarin sudah bertemu dengan Dewa. Kedua gadis itu seperti tak mampu berkata apa-apa saat Dewa menyapa mereka. Dan mengiringi Lorna menuju lantai atas.
"Itu, Dewa, Kak Imel?" tanya Tia berbisik.
"Ya, aku juga baru tahu kali ini. Aku yang mengurus tiket kedatangannya kemari."
"Siapa dia?"
"Mana aku tahu?"
"Bukannya bintang iklan yang rencananya mendampingi Bu Lorna?"
"Mampus aku, Tia! Aku sampai saat ini belum dapat persetujuan pemeran pendamping untuk iklan itu. Bintang yang ditawarkan agensi masih belum ada yang pas. Masih ditolak."
"Apakah lelaki itu yang Bu Lorna cari sendiri?"
"Aku juga tak tahu. Tapi aku akan coba tanyakan."
Maka Imel naik ke lantai atas bermaksud menemui Lorna di ruangannya.
"Masuk!" terdengar panggilan Lorna dari dalam.
"Boleh Imel bertemu sebentar?"
"Masuklah Mel. Duduklah!" kata Lorna.
Dewa duduk pada sofa yang ada di ruangan itu. Lorna beranjak dari kursi kerjanya, dia baru saja meletakkan telepon memesan minuman buat Dewa.
Imel nampak ragu untuk duduk di kursi di seberang Dewa. Imel berusaha tersenyum padanya, tetapi Dewa nampak tersenyum datar. Senyum itu yang membuatnya salah tingkah. Untungnya tatapan Dewa teralihkan dengan lembaran koran yang ada di tangannya, bila tidak dirinya tak memiliki bahan untuk dibicarakan.
"Ada apa, Mel?" tanya Lorna yang kini duduk di samping Dewa.
"Imel mau laporan perkembangan iklan resort di Bali," Imel mulai menjelaskan.
Dewa menggeser duduknya memberi ruang pada Lorna.
"Jadi bagaimana?"
"Bintang pendamping yang disodorkan agensi masih ditolak. Belum ada yang pas dalam jawaban email dari Bali. Padahal tenggat waktunya mepet sekali. Jadwal berangkat shooting tiga hari lagi."
"Lalu?"
Imel melirik ke Dewa.
"Imel hanya mau bertanya, apakah Abang ini yang Mbak Lorna sendiri sengaja cari untuk kebutuhan itu?"
Dewa menatap Lorna sepintas, yang juga dilakukan Lorna.
"Kenapa kamu berpikir begitu?"
"Menurut Imel Abang ini cocok untuk peran pendamping dalam iklan itu."
Lorna tertawa datar seraya memandang Dewa sebentar.
"Panggil saja Mas jangan Abang, dia orang Jawa," Lorna menyelaskan, "Dewa datang kemari tak ada hubungan dengan itu."
"Tapi penolakan dan tuntutan itu, kita kesulitan memenuhinya."
"Itu urusan kita, bukan urusan Dewa."
"Apa yang harus kita lakukan, Mbak?"
"Habis ini aku mau pergi menghadiri pamerannya Dewa di sebuah gallery di Blok-M. Kalau memang tak ada pemeran yang cocok untuk memenuhi tuntutan mereka, coba pelajari kembali, bila terjadi pembatalan. Kita sudah mengajukan, mereka masih menolak. Coba kamu balikkan, bagaimana bila mereka yang menyediakan pemeran pendamping yang menurut mereka cocok agar tak menyulitkan."
"Kurasa begitu, Mbak."
"Tapi, bila tidak. Yang penting jangan sampai kita yang membatalkan. Biarlah mereka yang membatalkan. Tapi tetap usahakan sampai hari akhir."
"Oke, Mbak kalau begitu. Dan kemarin Imel juga sudah memberikan kesepakatan untuk sebuah iklan produk kosmetik dan mobil. Apakah kita perlu bicarakan?"
"Nanti saja, Mel. Fokuskan ke iklan resort itu. Yang itu tetap di-follow up. Siapkan materinya untuk dibahas dalam rapat. Perlu dipelajari kualitas produknya. Jangan sampai nanti salah mengambil keputusan."
Imel kemudian meninggalkan ruangan Lorna. Dewa meminum teh yang baru saja disajikan, sedang Lorna minum air putih yang sudah disediakan di atas mejanya.
"Kamu sibuk sekali." kata Dewa.
Tak lama kemudian pintunya diketuk dari luar. Lorna memberi isyarat masuk. Ternyata Burt, saudara sepupunya yang mau masuk.
"Morning, Lorn!" kata Burt.
"Morning, Burt. Kenalkan ini Dewa."
Dewa dan Lorna bangkit dari duduknya. Dewa dan Burt bersalaman.
"Siapa?" tanya Burt pada Lorna.
"Kekasihku, Burt." jawab Lorna pendek.
"Wow, surprise!" kata Burt dengan wajah ceria.
"Burt, adalah anak dari adik opa Daddy." Lorna menjelaskan pada Dewa singkat.
Dewa mengangguk-angguk.
"Dia sedang belajar bahasa Indonesia seperti Daddy. Tapi Burt lumayan perkembangannya."
"Ya, saya masih belajar berbahasa Indonesia."
"Oke, Burt. Apa keperluanmu?"
"Ah, tidak. Aku hanya mau melihat apakah kamu sudah baikkan?"
Lorna tersenyum.
"Tak ada masalah, Burt. Lorna baik-baik saja. Lorna mau pergi mengunjungi pamerannya di sebuah Gallery di Blok-M."
"Pameran apa?" tanya Burt.
"Painting!" jawab Lorna.
"Are you artist? Painter?"
Dewa hanya mengangguk.
"Lebih dari artis, Burt. Oke, Burt? Sudah? Bisa tinggalkan kami berdua?" kata Lorna.
Maka Burt kemudian meninggalkan mereka, keluar ruangan. Dewa memperhatikan Lorna yang kini duduk di kursi seberangnya.
"Kenapa, De?"
"Kamu ada kesulitan dengan iklan resort Om Robi?"
"Kita yang salah."
"Salahnya dimana?"
"Waktu pengajuan artwork. Mereka sudah setuju bahwa ilustrasi pemeran dalam iklan sepasang sejoli yang menikmati fasilitas yang ada di lingkungan resort. Mereka memilih Lorna memerankan untuk gadisnya, Dewa tahu itu, kan Dewa ada disana. Tapi pemeran laki-laki selalu gagal diajukan, alasannya masih belum pas jadi pasanganku. Sampai kini belum mendapatkan orangnya, seperti yang Dewa dengar dari Imelda tadi. Untuk menarik draft dan menggantikan tanpa pasangan, kita tak berani mengambil resiko, nanti akan timbul penilaian kita tidak konsisten. Sudahlah, De. Tugas mereka untuk memecahkannya. Kalau memang harus batal, ya apa boleh buat."
Dewa tak mau memberi komentar. Sebab job itu, dia ikut terlibat mendapatkannya.
"Bagaimana kalau kita berangkat sekarang, De?" tanya Lorna berusaha mengalihkan pikirannya.
Dewa mengangkat bahu.
Keduanya lantas meninggalkan ruangan. Di bawah pak Karyo sudah duduk menunggu. Karyawan yang dilintasi keduanya berusaha mencuri pandang. Ingin tahu siapakah gerangan lelaki yang berjalan bersama bos perempuan mereka.
Tia, gadis resepsionis yang kemarin penuh percaya diri menghadapi Dewa, kini nampak segan dan takut menatap Dewa, padahal Dewa menyapanya dengan suara lembut. Demikian pula Imelda yang sedang menerima tamu di ruang tunggu, beranjak sebentar mengantar Lorna hingga pintu.
"Aku keluar dulu, Mel."
"Ya, Mbak. Bisa kutelpon kalau aku perlu sekali?" tanya Imel.
"Teleponlah..."
"Jadwal pertemuan yang sudah direncanakan bagaimana?"
"Tolong digeser dulu."
"Kepastiannya?"
"Aku belum bisa memastikan."
"Baiklah. Mau berangkat ke pameran sekarang?"
"Ya, Mel!"
Imelda sebenarnya ingin menyapa Dewa, tapi tangan Dewa keburu disambar Lorna meninggalkan gedung itu.