90. Risau.

Granados-Oriental From 12 Danzas Espanolas, mengalun lembut. Dari balik kacamata hitamnya Dewa melihat wajah Lorna nampak terbebani masalah yang baru saja dilaporkan Imelda. Dan tidak ingin mencampuri urusan pekerjaannya. Sebaliknya tak tahu apa harus dilakukannya menghadapi situasi seperti ini yang menurutnya terasa tak menyenangkan, diam tanpa melakukan apa-apa.
Lorna menghidupkan ipadnya. Dewa memperhatikan tak langsung dengan tangan dilipat seakan pandangannya melihat ke depan, ke jalanan yang sedang dilewati. Sementara Granados-Oriental From 12 Danzas Espanolas sudah berganti Sonata No.17 [D Minor] I. Largo-Allegro 'Tempest'.
Lorna membuka email dari Rahma. Mengunduh data untuk dibuatkan iklan reuni. Setelah itu mengirimkan ke email Imel setelah diberinya beberapa catatan untuk ditindaklanjuti.
Lorna lalu menelpon Imel.
"Mel, Lorna kirim data ke emailmu. Minta tolong Burhan untuk membuatkan iklan layanan masyarakat. Di dalamnya sudah kuberi beberapa catatan stasiun tv yang bisa kamu urus pemuatannya. Terima kasih, Mel."
Setelah itu Lorna menutup ipadnya dan memasukkan kembali ke dalam tas. Saat itu Dewa telah memejamkan mata bersandar pada punggung kursi menengadah. Lorna memperhatikan wajah Dewa. Merasa bersalah mengabaikan. Lalu dilepaskannya kacamata yang menutupi mata Dewa. Mata Dewa terpejam.
"De!" panggil Lorna perlahan.
Namun Dewa tak bergeming. Dia sedang menikmati alunan Sonata No.26 II. Abwesenheit (L'Absence) Andante espressivo, Beethoven.
"De!" Lorna mengulangi panggilannya.
Dewa lantas membuka kelopak mata. Tapi kacamatanya sudah pindah menutup mata Lorna.
"Penginapan apa yang mau kita cari?" tanya Lorna suaranya terasa berat.
"Tentu Pak Parman dan Darso sudah tak ada di penginapan, dan ada di tempat pameran."
"Jadi kita langsung ke sana?"
"Pak Karyo bisa membawa kita ke Ragunan?" tanya Dewa pada supir.
"Baik, Mas. Ragunannya dimana?"
"Kebon Binatang!"
Lorna memandang Dewa dengan kacamata Dewa masih menutupi matanya. Dewa lantas menarik kacamata itu. Dilihatnya mata Lorna. Dewa tahu ada yang merisaukan hati Lorna. Tak heran bila mata itu berkaca-kaca. Dari nada suaranya Dewa sudah mengetahui suasana perasaan hati Lorna sejak tadi.
"Kenapa ke Ragunan? Bagaimana dengan pameran itu?"
"Pameran itu sudah banyak yang menjaga. Banyak yang melayani. Lebih baik kita menenangkan pikiranmu."
Dewa mengusap pelupuk mata Lorna. Menatapnya lembut.
"Maafkan Lorna, ya? Seharusnya Lorna tak membawamu ke kantor."
"Sudahlah... nyatanya kita baru saja dari sana."
"Dewa jadi ikut mendengar persoalan yang Lorna hadapi."
"Mendengar tak berarti mencampuri."
"Tapi Lorna tak ingin merusak pembukaan pameranmu?"
"Pameran itu tak perlu dicemaskan. Kamu yang aku cemaskan."
Lorna lalu melingkarkan tangannya memeluk pinggang Dewa sambil merebahkan wajahnya ke dada Dewa.
"Ini semua gara-gara pekerjaan iklan yang tak bisa dipenuhi oleh orang-orangku."
"Jangan salahkan mereka. Mereka sudah berusaha sebaiknya. Ini hanya masalah perbedaan selera yang tak bisa dipaksakan."
"Oh, Dewa. Kamu pantas menjadi penasihat."
"Selama ini aku sudah menjadi penasihatmu."
"Oh, Dewa, tapi aku sering mengabaikanmu."
Dewa membelai rambutnya dan mencium keharumannya.
"Apakah sebaiknya iklan itu dibatalkan?"
"Itu akan menunjukkan kelemahanmu. Cobalah berbicara dengan pak Robi. Persoalannya ada dimana? Bukankah gagasan dan aspek pendukung kalian yang menentukan. Mereka kan hanya menerima hasil akhir."
Saat mereka berada dalam kawasan Kebun Binatang. Langit di atas bersih berwarna biru. Awan putih bertumpuk di horison. Dewa menggandeng Lorna melangkah menuju sebuah situ. Terlebih dulu mereka membeli minuman kaleng.
Lorna menggelayut pada lengan Dewa. Keduanya melenggang di tengah jalanan beraspal yang lengang. Di sekitar tempat itu tak banyak pengunjung berkeliaran, karena di tempat itu tak banyak satwanya, hanya banyak pepohonan. Ada hamparan situ yang luas, airnya tenang tanpa riak. Bayangan gumpalan awan putih berlatar belakang langit biru memantul di permukaan situ. Angin bertiup perlahan. Daunan pohon yang rimbun membuat udara terasa sejuk. Dewa dan Lorna mengambil tempat duduk yang tersedia yang menghadap ke situ.
"Jadi bagaimana menurut Dewa?"
"Soal itu awalnya kan aku terlibat. Cobalah menelpon pak Robi."
"Itu yang akan Lorna lakukan bila usaha terakhir Imelda gagal lagi. Karena tiga hari lagi semua kru sudah harus berangkat ke Bali bila jadi."
"Bukankah proyek yang kalian kerjakan tak hanya iklan tayang itu saja?"
"Yang lain sudah berjalan, tak ada masalah. Website nya juga belum lama di upload."
"Artinya sudah bagus. Bila Lorna ikut berperan, adakah nilai kontrak tersendiri buat pemerannya?"
"Tentu, De. Perjanjian kontrak untuk setiap pemeran sudah dipersiapkan."
"Artinya Lorna, juga meneken kontrak terlepas sebagai direktur?"
"Ya, De. Itulah kenapa kuambil Imelda sebagai manajerku, dia yang mengurusi hal yang berkaitan dengan kontrak iklan dan promosi."
"Berarti Lorna semakin sibuk nanti?"
Lorna menatap Dewa sayu. Dewa menatap awan putih di kejauhan yang bergerak perlahan, yang menipu mata.
"Lorna hanya membintangi iklan, tak lebih."
Dewa mengangguk-angguk tanpa menatap Lorna yang serius memandanginya.
"Lorna tak ingin dikenal banyak orang."
"Aku tahu!" balas Dewa, masih tetap memandangi gumpalan awan putih seperti salju.
"Banyak tawaran tampil untuk berbagai acara promosi dan tivi, tapi Lorna menolak. Lorna juga tak mau diwawancarai."
"Aku paham!" jawab Dewa, masih memandang ke kejauhan.
Lorna menjelaskan itu, agar Dewa tidak memiliki pikiran macam-macam perihal dirinya dengan kesibukkan itu. Meski Dewa tak melarang kegiatannya, namun Lorna tetap merasa tak yakin bahwa Dewa merelakan dirinya terlibat acara entertainment. Perasaan itu kini yang dihadapinya. Karenanya, dia memandangi Dewa sejak tadi, untuk melihat ekspresi wajahnya. Tapi ekspresi wajah Dewa terasa sulit dimengerti.
Lorna melingkarkan tangannya memeluk pinggang Dewa. Wajahnya direbahkan ke atas bahunya seraya berbisik lembut.
"Kita melihat pameran itu, yuk?" ajak Lorna tak ingin mengecewakan Dewa yang tak jadi datang di awal pembukaan pameran.
Dewa menolak.
"Datang sekarang, atau nanti atau besok, kalau sudah terlambat sama saja."
"Semua ini gara-gara Lorna."
"Sudahlah!"
"Aku mencintaimu, De."
"Aku juga mencintaimu."
"Terima kasih telah mengajak Lorna bercinta semalam."
Dewa merengkuh sisi bahu Lorna agar lebih erat dipeluknya.
"Lorna bahagia Dewa menjaga kesucian Lorna."
"Kita harus menjaga itu."
"Ya, De. Lorna menjaganya."
Dewa kemudian berbisik lembut ditelinganya.
"Itu milikku."
Lorna membalas seraya mencium pipinya.
"Itu milikmu. Berbuatlah sesukamu," ucapnya dengan suara tak kalah lirih.
Dewa mencium kening Lorna. Nampaknya hati Lorna sudah tak gundah lagi akibat pekerjaan yang dihadapi. Kemudian keduanya beranjak dari tempat itu. Berjalan berkeliling. Menyelusuri jalanan yang di hari Sabtu kian ramai dikunjungi.
Sekelompok anak-anak bersama keluarganya nampak bersuka cita berlarian bermain bola di lapangan berumput. Ada yang sibuk memperhatikan gajah yang sedang diberi makan.
Dewa mengajak Lorna naik kereta odong-odong. Kereta yang ditarik mesin diesel mengelilingi jalanan yang ada di Kebun Bintang Ragunan. Kereta itu berangkat bila semua kursi sudah terisi penuh. Karena hari Sabtu selalu ramai, maka kursi-kursi itu cepat terisi. Dan kereta pun berangkat berkeliling.
Wajah Lorna ceria sekali. Rambutnya yang coklat berkibar-kibar dihembus angin. Matanya yang biru yang indah, memukau setiap orang yang melihatnya. Anak-anak kecil melambai-lambaikan tangan kepadanya.
"Hai, bule!" teriak mereka.
"Hai, mereka meneriakiku bule, Dewa!" kata Lorna menatap Dewa dengan tertawa, memperlihatkan barisan giginya yang putih, bagus sekali.
Dewa mengangkat bahu dan tertawa pula. Senang melihat gadis yang dicintainya bergembira. Tak malu naik kereta permainan anak-anak. Yang naik odong-odong pun, ada yang berusaha mengambil foto mereka berdua. Lorna tertawa riang. Wajahnya cerah sekali, secerah langit di atas. Dewa senang membuat wajah itu kembali ceria.
"Lorna belum pernah kemari?" tanya Dewa.
"Dewa sudah pernah?"
"Dulu... dulu sekali. Tapi tempat ini sekarang sudah banyak berubah. Di depan sudah dilengkapi halte busway, membuat tempat ini mudah dijangkau. Kandang-kandang hewan sudah banyak yang dipugar. Tempat hewan primata juga sudah diisolasi di tempat tersendiri oleh sebuah Yayasan. Kita bisa kesana kalau Lorna tertarik."
"Nggah, ah. Lorna ingin berkeliling melihat lingkungannya. Lorna ingin menikmati berkeliling dengan Dewa. Sayang kamera tidak dibawa."
"Lain kali kemari lagi."
Maka mereka kemudian melanjutkan berkeliling. Keduanya selalu menjadi pusat perhatian, apalagi tangan Lorna tak pernah lepas menggandengnya. Maka saat siang dan ketika rasa lapar mulai terasa. Lalu membeli makanan siap saji yang dijual pada sebuah kios. Kemudian berdua menikmati sambil duduk pada sebuah bangku di bawah sebuah pohon di tepi jalan.
Keduanya saling menyuapi. Dewa melihat wajah Lorna ceria sekali. Wajah itu nampak berkeringat. Tapi dia tak bisa mengusapnya, karena tangannya berminyak akibat ayam goreng yang mereka makan.
"Ada tisumu?"
Lorna mengangguk.
"Air putih itu kita pakai buat cuci tangan. Kalau ada yang berjualan lewat, kita beli lagi."
Lorna menyuapi Dewa, dan Dewa menyuapi Lorna. Pengunjung yang kebetulan melewatinya, menikmati pemandangan romantis itu. Beberapa anak muda, gadis dan laki-laki mencoba mengambil foto keduanya. Lorna melambaikan tangan, tak keberatan fotonya diambil. Dan itu membuat mereka semakin ingin berfoto bersama menggunakan kamera hape.
Karena yang mengerubuti semakin banyak. Dewa dan Lorna pun menyudahi acara makannya. Dewa dan Lorna membasuh tangan. Lorna membersihkan dengan tisu pelembab, jemari, tangan lalu wajahnya dibersihkan dari keringat yang terbit.
Dewa lantas mengajak Lorna beranjak dari tempat itu, lantaran kewalahan kian banyak anak muda mengerumuni untuk minta berfoto bersama.
"Yah, pergi...." ujar mereka kecewa.
"Bye!" kata Lorna.
"Bye. Cantik dan ganteng!" ujar mereka lagi.
Lorna merengkuh pinggang Dewa, dan Dewa merengkuh bahu Lorna. Keduanya lantas melangkah menjauhi mereka yang masih berusaha mengambil foto.