Hari di awal pembukaan pameran Dewa tak menghadiri. Walau Lorna menyesalinya. Namun itu sudah menjadi keputusan Dewa. Hanya saja, Lorna harus mengantarkan Dewa mencari telepon umum untuk menghubungi Pak Parman. Lorna pun tak bisa memaksamya menggunakan hape pemberiannya, atau meminjamkan hapenya buat menghubungi Pak Parman. Barangkali Dewa hanya ingin hape mereka steril dari nomer-nomer yang dihubunginya.
Saat ini mereka dalam perjalanan menuju Plaza Senayan. Lorna minta diantar ke tempat itu ingin berbelanja pakaian, karena sudah terbiasa belanja di sana.
Di tengah perjalanan mobil mereka singgah, saat Dewa melihat sebuah wartel ditepi jalan. Kendaraan pun berhenti dan parkir di depannya. Lorna dimintanya menunggu di mobil, saat Dewa pergi menelpon Pak Parman. Hal itu berlangsung sebentar.
"Suruh saja mereka ke rumah? Mereka bisa menginap, ada kamar kosong," kata Lorna setelah mereka melanjutkan perjalanan kembali.
"Sudahlah, tidak akan mau."
"Kalau tidak mau menginap, datang saja, kita bisa makan bersama."
"Mereka sudah pesan tiket bus. Sore ini kembali ke Malang."
"Sayang sekali tidak bisa ketemu denganmu."
Di Plaza Senayan. Dewa mengantar Lorna membeli pakaian dan sepatu. Juga parfum. Lorna juga membelikan t-shirt buat Dewa, juga celana yang menjadi selera Dewa. Lorna setidaknya tahu dan memahami selera Dewa. Belanjaan yang telah mereka beli, membuat Dewa sibuk membawanya. Untuk menghilangkan kepenatan kaki Lorna. Mereka singgah ke sebuah longue, sekedar minum dan makan snack.
"Ikut ke Bali, ya?" tanya Lorna.
Mereka duduk berhadapan. Dewa melepaskan sehelai rambut yang melekat di pipi Lorna, membawanya melintasi sela atas telinganya, rambut Lorna yang berada disisi disibakkan ke atas telinganya. Bentuk telinganya bagus, dilengkapi anting emas bermata blue shapir
"Untuk beberapa saat aku akan berada di studio. Sudah lama waktuku kuhabiskan di luar. Aku mau melukis dulu."
"Bisakah setelah menemani Lorna bila jadi shooting iklan itu ke Bali?"
Dewa diam sesaat. Lorna menatap, menunggu jawaban. Kedua pandangan mata mereka berusaha menyelaraskan makna tatapan. Akhirnya Dewa tidak tega menolak keinginan itu. Mengedipkan mata tanda setuju. Lorna menyambutnya dengan bangkit dari duduknya, lalu mengecup bibir Dewa sejenak.
"Terima kasih!"
"Tapi setelah itu, Dewa masuk ke studio ya?"
"Oke...oke. Setelah itu, Lorna tak akan menelpon dan mengganggu selama Dewa melukis. Tapi janji setelah selesai cepat dihubungi Lorna ya?"
Dewa mengangguk.
"Besok acara kita ke Blok-M, ke pameran itu. Besok Lorna juga harus menelepon Pak Robi untuk meminta keputusan tentang iklan itu. Akan kutanyakan Imel dulu."
Maka ditelponnya Imelda untuk melihat perkembangan. Jawaban Imelda, mereka yang ambil keputusan dengan menyediakan pemeran pendamping Lorna.
Lorna mengangkat bahu seraya membuka tangan.
"Mereka yang menyediakan pemeran pendamping itu," kata Lorna.
Dewa mengangguk-angguk.
"Jadi, sudah beres?" tanya Dewa.
"Tinggal berangkat. Lusa kita berangkat. Dewa bersama Lorna berangkat langsung dari sini. Sebentar kuteleponnya Imel," jawab Lorna.
"Mel! Tiket pesawatku jangan dijadikan satu bersama pesawat kalian. Pesankan tiket pesawat lain buat Lorna dan Dewa, terserah berangkatnya jam berapa," kata Lorna pada manajernya.
"Menginapnya?"
"Urusan penginapan dan jemputan biar Lorna urus sendiri. Oke?"
"Baik, Mbak."
"Makasih, Mel!"
Lorna menatap Dewa.
"Sekarang Dewa yang bicara pada Komang. Kita butuh jemputan dan tempat menginap. Lorna ingin tempat itu," kata Lorna mengingatkan Dewa agar memilih penginapan yang pernah dipesannya tempo hari bersama orangtuanya.
Lorna lantas menghubungi Komang. Setelah terhubung, hape tersebut diserahkan kepada Dewa. Lalu Dewa berbicara dengan Komang agar dipesankan penginapan seperti yang diinginkan Lorna.
"Jemput aku lusa. Jamnya belum tahu. Nanti kukabari setelah ada konfirmasi tiket pesawatnya. Hanya berdua, aku dan Lorna. Boking saja tak masalah!" kata Dewa menjelaskan.
Lorna tersenyum senang. Semua persoalan nampak teratasi dengan baik. Keinginan Dewa agar wajah itu kembali ceria pun terwujud.
"Terima kasih, De!" kata Lorna setelah menerima kembali hapenya.
"Tapi ingat ya, Lorna yang membayar semua biaya disana. Janji?" kata Lorna kemudian.
Dewa mengangguk.
"Kamu bosnya!"
Lorna tertawa renyah.
"Kutelepon Rahma, ya?"
"Teleponlah!" jawab Dewa pendek.
Dewa menunggu.
"Hai, sudah mandi?" tanya Lorna.
"Belum! Disini, di sekretariat penuh teman-teman," Rahma menjelaskan singkat.
"Wow, seru dong!"
"Tapi tak ada Grace. Iklan-iklanmu bikin seru mereka. Tivinya terpaksa kutukar dengan layar yang lebih besar. Aku sudah kirimkan email materi iklan reuni."
"Sudah kubaca. Sekarang sedang diproses. Paling cepat besok lusa sudah tayang."
"Trims ya. Bagaimana kabar kekasihmu?"
"Maksudmu Dewa?"
"Memang ada kekasihmu yang lain?"
Lorna tertawa. Tawanya renyah. Enak di telinga.
"Baik, dia bersamaku."
"Di mana?"
"Plaza Senayan. Mau bicara?"
"Nggah ah! Ntar mengganggu keasyikanmu."
"Aku tak keberatan."
"Tak ada bahan yang kuomongin."
Lorna tertawa.
"Ada, bilang saja, kalau dulu kamu pernah suka padanya."
"Jangan ngawur! Nanti kalau beneran bagaimana?"
"Aku tak keberatan!"
"Benar nih?"
"Tapi tunggu aku mati dulu!"
Rahma tertawa.
"Ada Ronal disini...." kata Rahma berbisik.
"Biarkan saja!"
"Juga Saras!"
"Biarkan saja!"
"Tari!"
"Biarkan saja!"
"Dini!"
"Jangan bakar hatiku lagi!"
Rahma tertawa.
"Salam ke Grace kalau dia datang. Sudah ya? Lorna hanya ingin ngasih tahu iklan reuni itu sudah diproses. Kasih tahu juga ke Beni. Selamat malam. Ra!"
"Oke, gadis cantik. Selamat malam juga!"
Di Plaza Senayan tempat para artis biasa terlihat dan berbelanja. Menjadi hal yang biasa bila berpapasan dengan mereka. Penampilan Dewa dan Lorna tak bedanya dengan mereka itu. Lorna mengajak Dewa berputar-putar sekedar berbelanja yang perlu. Keberadaan mereka di tempat itu tidak lama, sebab di luar gedung hari sudah mulai gelap. Tubuh Lorna pun sudah terasa tak nyaman setelah sejak pagi tadi dibawa Dewa berjalan-jalan di Kebun Binatang Ragunan.
Oleh karenanya, sesampai di rumah. Lorna berendam dalam bak mandi lama sekali, setelah terlebih dahulu Dewa membersihkan badan.